Minggu, 13 Desember 2015

Pilkada dan Trauma Demokrasi

Pilkada dan Trauma Demokrasi

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 09 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemilihan kepala daerah (pilkada) hari ini adalah sebuah ujian bagi beberapa asumsi yang mendasari kebijakan pilkada dilakukan secara serentak. Pilkada hari ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi tidak hanya pelaksanaan prosedur demokrasi, tetapi juga makna yang ada di dalam konsep demokrasi. Seperti kita ketahui, secara positif, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dalam pengertian sederhana berarti pemerintahan oleh rakyat.

Namun, demokrasi dapat juga kita definisikan secara negatif dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat, yang berarti bukan pemerintahan oleh penguasa tunggal (monarki), bukan atas dasar keturunan dan status (aristokrasi), bukan oleh segelintir orang (oligarki), bukan atas dasar agama atau keyakinan tertentu (teokrasi), dan terakhir bukan oleh segelintir orang yang memerintah dengan kekerasan (otoritarianisme).

Apakah kemudian demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang sempurna? Apakah demokrasi di Indonesia semakin baik atau justru semakin mundur? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan ribuan tahun yang telah dipikirkan oleh para ahli filsafat seperti Plato. Ada banyak persoalan metodologi untuk mengevaluasi jalannya demokrasi.

Namun sayangnya, sebagai manusia, kita tidak dapat menunggu jawaban yang sempurna karena sebagai masyarakat kita berkembang biak dan berevolusi. Masyarakat harus memutuskan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, untuk memilih jalan demokrasi apa yang harus dilakukan untuk membentuk sebuah pemerintahanyangadil. Pilkada serentak adalah salah satu contohnya.

Pilkada yang akan dilakukan tahun ini menjadi istimewa, karena terjadi di 269 daerah di Indonesia. Atau tepatnya di 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten untuk tahap pertama; dan sisanya pada tahap kedua dan ketiga di Februari 2016 dan Juni 2018. Pilkada ini tidak lebih untuk menguji apakah makna-makna demokrasi seperti yang telah digambarkan di atas telah terpenuhi.

Dari sisi asumsi pembiayaan, komisioner KPU mengatakan bahwa pilkada serentak 2015 ini ternyata tidak lebih murah, bahkan lebih mahal dibandingkan lima tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah karena kenaikan jumlah petugas dengan honornya. Waktu penyelenggaraan makin panjang, biaya untuk keamanan dari Polri, honor linmas, biaya untuk Bawaslu, panwaslu dan termasuk program-program yang dibuat oleh satuan kerja pemda yang berkaitan dengan pilkada, serta ada penambahan daerah pemilu.

Asumsi bahwa biaya pilkada serentak akan mengurangi 50% pembiayaan ternyata tidak tercapai. Selain biaya, risiko keamanan juga menjadi lebih besar karena kemungkinan terjadinya gejolak atau konflik yang disebabkan oleh pasangan yang tidak mendapat suara. Kejadian semacam ini kerap terjadi dalam beberapa kali pilkadak hususnya di daerah-daerah yang memiliki potensi konflik besar.

Alokasi sumber daya tenaga keamanan akibatnya menjadi semakin besar. Dalam pilkada yang tidak serentak, sumber daya keamanan dapat dimobilisasi dari satu wilayah ke wilayah lain. Selain tenaga keamanan, tenaga dari dalam partai pun sangat terbatas. Setiap partai atau pasangan perlu menurunkan jumlah kader atau relawan yang menjadi saksi di tiap tempat pemungutan suara (TPS).

Pada umumnya, pendelegasian ini juga menuntut biaya operasional yang tidak murah. Pasangan atau partai-partai yang besar dan memiliki logistik serta keuangan yang besar mungkin tidak akan memiliki masalah untuk mengawal suara di tiap-tiap TPS. Namun, untuk pasangan atau partai yang keuangannya terbatas akan sulit menghadirkan saksi-saksi di setiap TPS.

Kekurangan saksi inilah yang berpotensi dimanfaatkan atau memberikan ruang negosiasi pembelian suara pemilih yang dapat terjadi saat penghitungan suara mulai dari tingkat TPS hingga nasional. Selain dari sisi prosedural, pilkada tahun ini menjadi lebih istimewa karena bertepatan dengan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang menyelidiki kemungkinan terjadinya pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan DPR akibat dugaan penyalahgunaan kekuasaan publiknya untuk kepentingan pribadi.

Sidang yang dapat diikuti masyarakat melalui media massa akhirnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang politik dan demokrasi. Sayangnya, salah satu hasil dari pembelajaran itu adalah rasa kecewa dan marah. Yang menarik bagi saya adalah apakah rasa kecewa dan marah masyarakat hanya terbatas pada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut, atau masyarakat mulai tidak mempercayai sistem demokrasi yang sedang kita jalankan pada hari ini melalui pilkada?

Apabila pimpinan DPR yang diduga menyalahgunakan kekuasaan diganti atau diturunkan, rasa kecewa dan marah itu akan hilang atau akan terus menetap hingga mereka bisa dikatakan trauma terhadap demokrasi? Dalamkonteksini, saya mencoba menghubungkan antara mekanisme demokrasi yang disediakan melalui pilkada atau anggota DPR dengan hasilnya.

Mekanisme demokrasi yang baik ternyata tidak serta-merta menghasilkan perwakilan yang baik dan hal ini bisa menimbulkan rasa trauma para pemilih. Dalam pemilihan beberapa tahun yang lalu, masyarakat harus memilih calon yang tidak mereka kenal. Masyarakat merasa ”dipaksa” untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Dipaksa karena masyarakat hanya bisa memilih dari pilihan calon yang sudah ada; terlepas orang itu dikenal atau tidak, punya catatan gelap atau tidak, disukai ataupun tidak. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan demokrasi berupaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang enggan datang ke TPS dengan berbagai program kampanye. Mereka memberikan sejumlah argumen atau rasionalitas agar dapat memotivasi pemilih untuk datang.

Fenomena ini sebetulnya juga terjadi di banyak negara. Namun bagi kita yang tengah menuju transisi demokratis, hal ini tantangan yang serius. Secara internasional, demokrasi Indonesia menjadi contoh negara-negara di Asia Tenggara yang masih dalam proses membuka sistem politiknya lebih terbuka.

Indonesia sudah dikenal sebagai identitas bangsa yang membawa negeri ini ke tempat yang terhormat. Terhormat karena demokrasi menghargai pilihan masyarakat, membuka peluang bagi siapa pun untuk mencalonkan diri dan menang melalui pemilu, dan menghormati cara-cara nirkekerasan dalam mengubah pimpinan politik.

Dalam pilkada serentak hari ini, kita diberikan kesempatan untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi dalam sistem demokrasi kita. Rasa kecewa kita sebagai masyarakat tentu tidak dapat dipulihkan dengan segera, namun tidak menggunakan hak kita pada hari ini untuk memilih calon pasangan yang tersedia juga tidak akan membantu menyelesaikan masalah.

Paling sedikit, hari ini kita dapat menghukum untuk tidak memilih calon pasangan dari partai yang bermasalah dan partai yang jelas tidak mendorong demokrasi ke arah yang lebih baik. Di sisi lain, para politisi harus menyadari bahwa kekecewaan masyarakat dapat menjadi dorongan tumbuhnya aliran radikal, baik ekstrem kanan maupun kiri.

Tumbuhnya paham itu secara alamiah sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia yang selalu menuntut perubahan yang lebih baik. Sistem pilkada serentak pada hari ini tentu akan memiliki sejumlah kelemahan, namun itu masih lebih baik daripada sistem politik terdahulu yang pernah kita lalui.

Kita juga harus ingat bahwa demokrasi tidak berhenti di tempat pemungutan suara, tetapi terus berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, kita harus terus mengawalnya dalam segala bentuk partisipasi yang dapat kita lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar