Pilkada dan Trauma Demokrasi
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 09 Desember 2015
Pemilihan kepala
daerah (pilkada) hari ini adalah sebuah ujian bagi beberapa asumsi yang
mendasari kebijakan pilkada dilakukan secara serentak. Pilkada hari ini juga
menjadi momentum untuk mengevaluasi tidak hanya pelaksanaan prosedur
demokrasi, tetapi juga makna yang ada di dalam konsep demokrasi. Seperti kita
ketahui, secara positif, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang dalam
pengertian sederhana berarti pemerintahan oleh rakyat.
Namun, demokrasi dapat
juga kita definisikan secara negatif dalam pengertian pemerintahan oleh
rakyat, yang berarti bukan pemerintahan oleh penguasa tunggal (monarki),
bukan atas dasar keturunan dan status (aristokrasi), bukan oleh segelintir
orang (oligarki), bukan atas dasar agama atau keyakinan tertentu (teokrasi),
dan terakhir bukan oleh segelintir orang yang memerintah dengan kekerasan
(otoritarianisme).
Apakah kemudian
demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang sempurna? Apakah
demokrasi di Indonesia semakin baik atau justru semakin mundur?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan ribuan tahun yang telah
dipikirkan oleh para ahli filsafat seperti Plato. Ada banyak persoalan
metodologi untuk mengevaluasi jalannya demokrasi.
Namun sayangnya,
sebagai manusia, kita tidak dapat menunggu jawaban yang sempurna karena
sebagai masyarakat kita berkembang biak dan berevolusi. Masyarakat harus
memutuskan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, untuk memilih jalan
demokrasi apa yang harus dilakukan untuk membentuk sebuah
pemerintahanyangadil. Pilkada serentak adalah salah satu contohnya.
Pilkada yang akan
dilakukan tahun ini menjadi istimewa, karena terjadi di 269 daerah di
Indonesia. Atau tepatnya di 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten untuk
tahap pertama; dan sisanya pada tahap kedua dan ketiga di Februari 2016 dan
Juni 2018. Pilkada ini tidak lebih untuk menguji apakah makna-makna demokrasi
seperti yang telah digambarkan di atas telah terpenuhi.
Dari sisi asumsi
pembiayaan, komisioner KPU mengatakan bahwa pilkada serentak 2015 ini
ternyata tidak lebih murah, bahkan lebih mahal dibandingkan lima tahun lalu.
Salah satu penyebabnya adalah karena kenaikan jumlah petugas dengan honornya.
Waktu penyelenggaraan makin panjang, biaya untuk keamanan dari Polri, honor
linmas, biaya untuk Bawaslu, panwaslu dan termasuk program-program yang
dibuat oleh satuan kerja pemda yang berkaitan dengan pilkada, serta ada
penambahan daerah pemilu.
Asumsi bahwa biaya
pilkada serentak akan mengurangi 50% pembiayaan ternyata tidak tercapai.
Selain biaya, risiko keamanan juga menjadi lebih besar karena kemungkinan
terjadinya gejolak atau konflik yang disebabkan oleh pasangan yang tidak
mendapat suara. Kejadian semacam ini kerap terjadi dalam beberapa kali
pilkadak hususnya di daerah-daerah yang memiliki potensi konflik besar.
Alokasi sumber daya
tenaga keamanan akibatnya menjadi semakin besar. Dalam pilkada yang tidak
serentak, sumber daya keamanan dapat dimobilisasi dari satu wilayah ke
wilayah lain. Selain tenaga keamanan, tenaga dari dalam partai pun sangat
terbatas. Setiap partai atau pasangan perlu menurunkan jumlah kader atau
relawan yang menjadi saksi di tiap tempat pemungutan suara (TPS).
Pada umumnya,
pendelegasian ini juga menuntut biaya operasional yang tidak murah. Pasangan
atau partai-partai yang besar dan memiliki logistik serta keuangan yang besar
mungkin tidak akan memiliki masalah untuk mengawal suara di tiap-tiap TPS.
Namun, untuk pasangan atau partai yang keuangannya terbatas akan sulit
menghadirkan saksi-saksi di setiap TPS.
Kekurangan saksi
inilah yang berpotensi dimanfaatkan atau memberikan ruang negosiasi pembelian
suara pemilih yang dapat terjadi saat penghitungan suara mulai dari tingkat
TPS hingga nasional. Selain dari sisi prosedural, pilkada tahun ini menjadi
lebih istimewa karena bertepatan dengan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) yang sedang menyelidiki kemungkinan terjadinya pelanggaran etika yang
dilakukan oleh pimpinan DPR akibat dugaan penyalahgunaan kekuasaan publiknya
untuk kepentingan pribadi.
Sidang yang dapat
diikuti masyarakat melalui media massa akhirnya menjadi pembelajaran bagi
masyarakat tentang politik dan demokrasi. Sayangnya, salah satu hasil dari
pembelajaran itu adalah rasa kecewa dan marah. Yang menarik bagi saya adalah
apakah rasa kecewa dan marah masyarakat hanya terbatas pada pejabat yang
menyalahgunakan kekuasaannya tersebut, atau masyarakat mulai tidak
mempercayai sistem demokrasi yang sedang kita jalankan pada hari ini melalui
pilkada?
Apabila pimpinan DPR
yang diduga menyalahgunakan kekuasaan diganti atau diturunkan, rasa kecewa
dan marah itu akan hilang atau akan terus menetap hingga mereka bisa
dikatakan trauma terhadap demokrasi? Dalamkonteksini, saya mencoba
menghubungkan antara mekanisme demokrasi yang disediakan melalui pilkada atau
anggota DPR dengan hasilnya.
Mekanisme demokrasi
yang baik ternyata tidak serta-merta menghasilkan perwakilan yang baik dan
hal ini bisa menimbulkan rasa trauma para pemilih. Dalam pemilihan beberapa
tahun yang lalu, masyarakat harus memilih calon yang tidak mereka kenal.
Masyarakat merasa ”dipaksa” untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Dipaksa karena
masyarakat hanya bisa memilih dari pilihan calon yang sudah ada; terlepas
orang itu dikenal atau tidak, punya catatan gelap atau tidak, disukai ataupun
tidak. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan
demokrasi berupaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang enggan
datang ke TPS dengan berbagai program kampanye. Mereka memberikan sejumlah
argumen atau rasionalitas agar dapat memotivasi pemilih untuk datang.
Fenomena ini
sebetulnya juga terjadi di banyak negara. Namun bagi kita yang tengah menuju
transisi demokratis, hal ini tantangan yang serius. Secara internasional,
demokrasi Indonesia menjadi contoh negara-negara di Asia Tenggara yang masih
dalam proses membuka sistem politiknya lebih terbuka.
Indonesia sudah
dikenal sebagai identitas bangsa yang membawa negeri ini ke tempat yang
terhormat. Terhormat karena demokrasi menghargai pilihan masyarakat, membuka
peluang bagi siapa pun untuk mencalonkan diri dan menang melalui pemilu, dan
menghormati cara-cara nirkekerasan dalam mengubah pimpinan politik.
Dalam pilkada serentak
hari ini, kita diberikan kesempatan untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi
dalam sistem demokrasi kita. Rasa kecewa kita sebagai masyarakat tentu tidak
dapat dipulihkan dengan segera, namun tidak menggunakan hak kita pada hari
ini untuk memilih calon pasangan yang tersedia juga tidak akan membantu
menyelesaikan masalah.
Paling sedikit, hari
ini kita dapat menghukum untuk tidak memilih calon pasangan dari partai yang
bermasalah dan partai yang jelas tidak mendorong demokrasi ke arah yang lebih
baik. Di sisi lain, para politisi harus menyadari bahwa kekecewaan masyarakat
dapat menjadi dorongan tumbuhnya aliran radikal, baik ekstrem kanan maupun
kiri.
Tumbuhnya paham itu
secara alamiah sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia yang selalu menuntut
perubahan yang lebih baik. Sistem pilkada serentak pada hari ini tentu akan
memiliki sejumlah kelemahan, namun itu masih lebih baik daripada sistem
politik terdahulu yang pernah kita lalui.
Kita juga harus ingat
bahwa demokrasi tidak berhenti di tempat pemungutan suara, tetapi terus
berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, kita harus
terus mengawalnya dalam segala bentuk partisipasi yang dapat kita lakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar