Rabu, 09 Desember 2015

Musibah bagi Kewarasan Berdemokrasi

Musibah bagi Kewarasan Berdemokrasi

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
                                           MEDIA INDONESIA, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DENGAN gagah, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan dalam orasinya bahwa parlemen sangat berperan strategis dan vital dalam upaya menyukseskan pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari upaya mewujudkan good governance dan demokrasi di Indonesia. Hal itu disampaikannya pada Kamis (8/10), di Yogyakarta, saat terpilih sebagai Presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) periode 2015– 2018, menggantikan Ricardo Garcia Cervantes dari Meksiko.

Namun, seiring berjalannya waktu, pidato tersebut tinggal pepesan kosong. Pertama, karena dalam waktu nyaris bersamaan, pada 6 Oktober, DPR justru mengajukan rancangan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdiri atas 73 pasal dan 12 bab. Publik pun geram terhadap rencana tersebut karena dengan sengaja berikhtiar mengamputasi kewenangan KPK. Kedua, santernya kabar pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto yang merupakan penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) tidak menjadi ancaman korektif bagi DPR, tapi justru menuai reaksi ‘politis’ dari pimpinan DPR seperti Fadli yang blakblakan menganggap tak ada masalah dengan permintaan saham oleh Setya Novanto di dalam rekaman pembicaraan tersebut, karena saham itu untuk negara.

Nampaknya, ia tersesat oleh kekaburan peta kognisi (cognitive maps)-nya, yang mestinya menjadi panduan prinsipil politisi untuk mengarahkan sikap dan perilakunya pada basis norma, etik, dan moral. Jika memang buat negara, Novanto jelas tidak dalam kapasitasnya melobi ‘saham haram’ itu. Juga menganggap Novanto ‘dijebak’ lewat rekam an berdurasi 17 menit-18 menit tersebut, sesuatu yang aneh, seolah-olah nalar publik mau digiring untuk menggeser substansi skandal pencatutan, dari wilayah otonom moral pribadi ke hal yang bersifat eksternal.

Tidak serius

Kalau memang merasa bersih, lebih elegan jika Novanto membiarkan saja proses persidangan etik berjalan untuk menemukan kebenaran sesungguhnya dengan kontestasi argumen yang meyakinkan.Bukan buru-buru introver, membiarkan pimpinan DPR bersama Koalisi Merah Putih (KMP) `pasang badan' membelanya. Padahal, `pakta integritas' KMP di dalam berpemerintahan sepanjang lima tahun bukanlah untuk membela kepentingan individu, melainkan membela urusan vital rakyat banyak.

Logika dan sikap di atas semakin melestarikan tesis; DPR memang tak pernah serius mengawal eliminasi korupsi di bangsa ini. Di internal, mereka sebaliknya ngotot `memblokade' petak umpet kejahatan koruptif, termasuk perdagangan pengaruh dari penetrasi penegakan etika dan yudisial.

Sebagai Presiden GOPAC dan wakil yang dipilih langsung rakyat, publik negara luar juga pasti bertanya di mana konsistensi moral dan ucapan Fadli Zon? Bukankah aksi pencatutan telah menggulingkan etika publik dan prinsip hukum? Modus vivendi melebarkan sayap kepentingan pribadi di balik `roh' transkrip rekaman yang dimaksud, tak mungkin terbantahkan. Belakangan, giliran legal standing pengaduan oleh Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dipersoalkan.
Padahal, di dalam suasana politik turbulentif, motif, dan intensi luhur menguak kejahatan, jauh lebih penting dari sekadar prosedural. Isu soal ada oknum DPR yang ‘dibanting’ suap Rp20 miliar terkait dengan proses persidangan etik Novanto, kian mengentalkan kecurigaan bahwa ada jejaring sistemik yang diskenariokan untuk menyedot energi perlawanan terhadap kepentingan koruptif di Senayan, misalnya menuduh Sudirman Said mencemarkan nama baik Novanto padahal persidangan etik saja masih berlangsung.
Alih-alih menunjukkan sportivitas politik kepada publik, cara tersebut sejatinya tak lebih dari sebuah infantilisme politik tak mendidik. Kalaupun kelak Novanto ‘terbukti tak bersalah’, dengan melihat dinamika kerja MKD selama ini saja, publik tentu tak akan semudah itu mau menggeser sikap dan vonis moralnya. Kenapa? Karena preseden selalu memperlihatkan bahwa institusi yang berisi kelompok politik akan selalu berkecenderungan abadi mempertahankan kepentingan parsial dan pribadi (Bdk David Humme, 1963).
Bukan merit system
MKD sudah diprediksi sejak awal bakal tidak efektif fungsinya sebagai pengadilan etik wakil rakyat karena dosis dan representasi politiknya sangat kuat, tidak saja terkait keanggotaan, tapi juga kadar profesionalismenya (Haris, 2012). MKD lebih layak disebut sebagai `pengadilan politis' peng genap institusi DPR.
Namun, kelemahan itu tak membuat rakyat menoleransi begitu saja kinerja MKD. Skandal pencatutan jelas telah mereduksi muruah pemerintah dan negara. MKD tidak boleh terjebak ‘politik petasan’ yang hanya menggegerkan rakyat karena ledakan komit men sesaat, tapi setelah itu hilang tak berbekas. MKD wajib membuktikan bahwa kebenaran dan moralitas berpolitik DPR harus menjadi vital interest (kepentingan utama) yang dijunjung luhur, bukan soal kepentingan ‘papa dapat saham atau tidak’.
Skandal pencatutan ini sebenarnya merupakan implikasi patologis dari pola rekrutmen dan penempatan politisi pada kursi/jabatan yang tak berbasis merit system sehingga potensi untuk melahirkan politisi medioker, tak berintegritas, lemah cognitive maps, dan selalu menganga. Di negara lain, jenjang karier politik akan menentukan layak atau tidaknya seseorang duduk sebagai wakil rakyat. Di negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat, Ketua House of Representative-nya tak bisa langsung diangkat atau dipilih jika jam terbang karier kepemimpinannya lemah.
Paling tidak, dia harus pernah memimpin komisi, fraksi, atau pernah menjadi wakil ketua DPR, baru orang tersebut dipilih menjadi ketua DPR agar jejak integritas dan kecakapan intelektualnya teruji. Di kita, unsur patron dan barter kepentinganlah yang mengalahkan absolutisme merit system dalam politik. Akibatnya, nasib dan perjalanan demokrasi dikorbankan. Sudah begitu, kekuatan suara rakyat selalu mati kutu dalam mengimbangi sentralisasi jabatan pada ‘ orang kuat’.
Andai saja sensitif, desakan Forum Komunikasi Masyarakat Flores, Sumba Timur dan Alor (FKM Flobamora) yang notabene wilayah konstituen Novanto untuk mendorongnya mundur, sudah seharusnya dibaca secara jernih sebagai ‘legitimasi’ awal runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap (pemimpin) DPR saat ini. Itu berarti pimpinan DPR, khususnya Novanto sudah kehilangan posisi moral-politiknya; dari dan untuk siapa ia merepresentasikan diri dan bekerja. Sayangnya, kewarasan berpikir ini diabaikan.
Kalau dulu, runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya negara komunisme di Uni Soviet merupakan bagian dari ‘evolusi’ sejarah untuk mengawali sebuah titik peradaban baru, yakni demokrasi, tetapi –yang dikhawatirkan-di kita, runtuhnya tembok (moral) DPR menjadi musibah bagi kewarasan berdemokrasi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar