Tiada Kemewahan untuk tidak Bekerja Keras di 2016
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 30 November 2015
Tahun 2015 tinggal
tersisa 31 hari lagi. Tentu banyak sekali peristiwa sepanjang tahun ini, baik
yang menyenangkan maupun menyedihkan. Harian Media Indonesia mengajak pembaca
untuk merefleksikan berbagai peristiwa sekaligus menyambut 2016 dengan penuh
harapan. Kami akan menurunkan tulisan dari sejumlah pakar untuk membahas
berbagai persoalan dan juga harapan ke depan. Semoga refleksi peristiwa 2015
bisa menjadi pembelajaran untuk menjadi modal optimisme tahun depan. Selamat
membaca. Redaksi
JUJUR saja, saya tidak pernah membayangkan
bahwa 2015 begitu dinamis, begitu banyak elemen kejutan yang tak terduga. Saya
semula hanya mengira bahwa pemerintahan Presiden Jokowi bakal diuntungkan
oleh penurunan harga minyak, dari di atas US$100 per barel menjadi sekitar
separuhnya pada 2015. Dengan demikian, ada anggaran pemerintah yang pada 2014
dipakai untuk subsidi energi Rp350 triliun (terdiri atas Rp250 triliun untuk
subsidi BBM dan Rp100 triliun untuk subsidi listrik), bisa dialokasikan untuk
stimulus fiskal, terutama pembangunan infrastruktur. Ini bakal dahsyat untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi 2015, yang ditargetkan mencapai 5,7%.
Namun, apa yang terjadi? Skenario ternyata
tidak semulus perkiraan. Harga minyak dunia memang rendah di kisaran US$50
per barel (bahkan pernah turun ke level terendah US$38 per barel pada Agustus
2015), hanya saja ada peristiwa lain yang memorakporandakan skenario kita.
Peristiwa itu adalah, di luar perkiraan, terjadi aliran modal besarbesaran
dari seluruh dunia `termasuk Indonesia' ke Amerika Serikat (AS). Penyebabnya
ialah pereknomian AS bergerak impresif sehingga investor di seluruh dunia
berhasrat ingin `memegang' aset bernenominasi USD.
Keadaan makin runyam
Penemuan minyak mentah (crude oil) yang nonkonvensional oleh AS (disebut shale gas) dalam skala besar sehingga
AS menggeser Venezuela dan Arab Saudi sebagai pemilik cadangan minyak
terbesar di dunia, semakin memperunyam keadaan.Sentimen positif terhadap AS
menjadi semakin besar. Ujung-ujungnya dua hal; (1) mata uang USD menguat
terhadap hampir seluruh mata uang dunia, dan (2) harga saham di bursa New
York meroket tajam, bahkan mencapai rekor baru 18.300, atau dua kali lipat
level saat krisis 2009, yakni hanya 9.000-an.
Situasi ini bukan cuma mengagetkan kita di
Indonesia, bahkan AS sendiri terkejut dan bingung mesti berbuat apa. Apa
buktinya? Bank Sentral AS, The Fed, sejak 2014 berencana menaikkan suku
bunganya secara bertahap. Semula mereka memasang target pada akhir 2015 suku
bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) akan mencapai 1,25%. Artinya, di setiap
triwulan akan terjadi kenaikan suku bunga 25 basis poin.
Hal ini perlu dilakukan agar likuiditas US$
yang sudah terlanjur dipompa selama rezim kebijakan quantitative easing (2009, 2011, dan 2013) sejumlah US$4,2
triliun tidak mendorong para investor finansial melakukan `akrobat' atau
berspekulasi, sehingga kurs bisa naik-turun seperti roller coaster. Untuk mengurangi risiko tersebut, The Fed ingin
menetralisasikannya dengan absorpsi likuiditas melalui kenaikan suku bunga.
Namun apa daya, rencana itu tak kunjung bisa
dilaksanakan. Hingga hari ini, 30 November 2015, suku bunga The Fed tetap
0,25%. The Fed seakan-akan tak kuasa tersandera oleh aliran modal dari
seluruh dunia menuju ke New York. Jika suku bunga dinaikkan juga, The Fed
khawatir kurs USD akan kian menguat. Ini bakal tidak menguntungkan karena
terlalu kuatnya US$ akan menyebabkan melemahnya daya saing (competitiveness) produk-produk AS. Terlebih
lagi, dengan cerdik pemerintah Tiongkok, `lawan dagang utama yang menyebabnya
defisit perdagangan AS bengkak', dengan sengaja mendevaluasikan mata uang
yuan atau renminbinya.
Situasi ini telah menyandera rupiah, yang terus
mengalami depresiasi hingga level terendah 14.700 per US$ (Oktober 2015).
Dampak selanjutnya, baik produsen maupun konsumen, menjadi sama-sama lesu.
Produsen enggan untuk menambah kapasitas produksinya karena takut tak terserap,
sedangkan konsumen enggan berbelanja karena ditikam trauma krisis 1998, yang
menghilangkan selera mereka untuk berbelanja. Dalam situasi seperti ini,
konsumen pun memilih menunda belanja dan memilih mengamankan uangnya untuk
disimpan di bank. Itulah sebabnya dana pihak ketiga (DPK) di bank cenderung
meningkat pesat, sementara ekspansi kredit bank melambat. Ujungnya, kemampuan
bank untuk mendapatkan laba jadi menurun atau setidaknya melambat.
Blessing in disguise
Penurunan harga minyak dunia juga diikuti
dengan anjloknya harga komoditas primer lainnya, yang telah menyebabkan
ekspor kita melemah. Pada saat yang sama, gairah impor kita juga menurun
lebih tajam lagi sehingga posisi neraca perdagangan mencapai surplus. Namun
harus diingat, surplus kali ini tidak bermakna positif alias tidak sehat.
Semua kondisi yang tidak serba tidak ideal tersebut
telah memaksa Presiden Jokowi untuk menempuh banyak jurus deregulasi. Dalam
situasi tertekan, biasanya memang akan timbul kreativitas yang merupakan blessing in disguise. Selalu ada
hikmah di saat krisis, turbulensi, ataupun tekanan. Enam paket deregulasi
yang sudah diluncurkan pemerintah (Presiden Jokowi menyebutkan akan ada paket
ketujuh pada awal Desember 2015) tersebut tidak mungkin lahir jika kondisi
perekonomian normal, alias baik-baik saja.
Meski sebagian besar kebijakan deregulasi baru
akan berdampak dalam jangka menengah dan panjang (misalnya kemudahan
investasi, bebas visa bagi 100 negara, dan seterusnya), pelan-pelan hal ini
sudah mulai terbaca secara positif oleh para pelaku ekonomi. Rupiah yang
nyaris ambruk melampaui batas psikologis 15.000 per US$, mulai terkoreksi ke
level 13.600 per US$. Jika paket-paket deregulasi tersebut mulai bisa
diimplementasikan dengan baik, saya yakin rupiah bakal menemukan ekuilibrium
barunya di level yang lebih masuk akal, misalnya Rp13.500 atau bahkan Rp13.000
per US$.
Apa yang harus dikerjakan pada 2016? Tahun ini
akan menjadi momentum konsolidasi bagi pemerintahan Jokowi. Pada 2015 berlalu
dengan pertumbuhan ekonomi 4,8%, atau meleset sekitar 1% daripada target.
Namun, itu memang tak bisa dihindari. Banyak hal yang tak terprediksikan dan
di luar kemampuan kita untuk mengelolanya. Berikut ini agenda prioritas pada
2016.
Pertama, selain memproduksi paket-paket
deregulasi lanjutan, Presiden Jokowi harus memastikan dan memonitor, apakah
deregulasi sebelumnya sudah dapat diimplementasikan.Apakah deregulasi hanya
ramai di level atas (presiden dan para menteri), ataukah memang benar-benar
dapat dilaksanakan pada level operasional? Bila tidak terimplementasi dengan
baik, apa kendalanya?
Deregulasi akan menjadi kunci pembaruan
struktural (structural reform),
yakni mengubah struktur perekonomian untuk tidak bias ke arah sektor primer.
Kita harus mendorong industrialisasi sehingga ketergantungan kepada komoditas
primer (yang ternyata rentan terhadap gejolak harga global) bisa dihindari.
Selanjutnya, kita juga harus giat melaku kan penghiliran, yakni mendorong
ekspor produk-produk yang berada di sisi hilir daripada sisi hulu seperti
selama ini terjadi. Kita harus mengolah bahan mentah (raw materials) menjadi barang setengah jadi dan barang jadi,
dalam rangka menggalang nilai tambah (value
added).
Kedua, pembangunan infrastruktur harus terus
digenjot dan dimonitor kemajuannya. Pada APBN 2016, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat menganggarkan Rp104 triliun, yang berarti lebih
tinggi daripada tahun sebelumnya Rp80 triliun. Namun, ini pun belum cukup. Diharapkan
nanti pada APBN-P 2016 angkanya lebih besar lagi. Kesungguhan dan tekad besar
pemerintah harus tercermin dari anggaran kementerian ini yang terus membesar.
Namun, saya harus mengakui bahwa hasrat besar
pemerintah untuk membangun banyak waduk untuk mengairi persawahan serta
membangun jalan dan rel kereta api di Papua merupakan hal yang unik dan tidak
pernah saya temukan dalam pemerintahan sebelumnya. Jika ini terus dipantau
kemajuannya dan dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan, itu akan
menumbuhkan optimisme dan sentimen positif di kalangan investor. Ini modal
besar yang menjadi ikon bagi pemerintahan Presiden Jokowi, yang harus
dipelihara dan dijaga momentumnya.
Ketiga, tahun ini inflasi akan mencapai titik
yang rendah. Bank Indonesia memprediksikan hanya 2,87%, sedangkan saya
menduga sekitar 3%. Ini akan menjadi modal besar bagi Bank Indonesia untuk
menurunkan BI rate pada awal tahun depan. Suku bunga acuan bisa diturunkan
secara bertahap, mulai ke 7,25% dulu. Ini akan menjadi tenaga bagi upaya
mendorong ekspansi kredit yang pada 2015 cenderung `macet' di level 10%. Ini
level ekspansi terendah dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kondisi normal,
ekspansi kredit bank ialah 20% ke atas.
Meski masih banyak kelemahan pada tahun
pertamanya, saya masih menaruh banyak asa pada Presiden Jokowi pada tahun
keduanya di 2016. Upaya kerasnya dalam mempercepat pembangunan infrastruktur
karena kita sudah terlalu terlambat dalam hal ini--mendorong industrialisasi
dan hilirisasi, sesungguhnya merupakan modal kuat untuk meyakinkan para
investor untuk menanamkan modalnya. Memang itu perlu waktu, dan pemerintah
tidak punya kemewahan untuk tidak bekerja keras untuk mengejarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar