Rabu, 09 Desember 2015

Tiada Kemewahan untuk tidak Bekerja Keras di 2016

Tiada Kemewahan untuk tidak Bekerja Keras di 2016

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                           MEDIA INDONESIA, 30 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 tinggal tersisa 31 hari lagi. Tentu banyak sekali peristiwa sepanjang tahun ini, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan. Harian Media Indonesia mengajak pembaca untuk merefleksikan berbagai peristiwa sekaligus menyambut 2016 dengan penuh harapan. Kami akan menurunkan tulisan dari sejumlah pakar untuk membahas berbagai persoalan dan juga harapan ke depan. Semoga refleksi peristiwa 2015 bisa menjadi pembelajaran untuk menjadi modal optimisme tahun depan. Selamat membaca.  Redaksi

JUJUR saja, saya tidak pernah membayangkan bahwa 2015 begitu dinamis, begitu banyak elemen kejutan yang tak terduga. Saya semula hanya mengira bahwa pemerintahan Presiden Jokowi bakal diuntungkan oleh penurunan harga minyak, dari di atas US$100 per barel menjadi sekitar separuhnya pada 2015. Dengan demikian, ada anggaran pemerintah yang pada 2014 dipakai untuk subsidi energi Rp350 triliun (terdiri atas Rp250 triliun untuk subsidi BBM dan Rp100 triliun untuk subsidi listrik), bisa dialokasikan untuk stimulus fiskal, terutama pembangunan infrastruktur. Ini bakal dahsyat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 2015, yang ditargetkan mencapai 5,7%.

Namun, apa yang terjadi? Skenario ternyata tidak semulus perkiraan. Harga minyak dunia memang rendah di kisaran US$50 per barel (bahkan pernah turun ke level terendah US$38 per barel pada Agustus 2015), hanya saja ada peristiwa lain yang memorakporandakan skenario kita. Peristiwa itu adalah, di luar perkiraan, terjadi aliran modal besarbesaran dari seluruh dunia `termasuk Indonesia' ke Amerika Serikat (AS). Penyebabnya ialah pereknomian AS bergerak impresif sehingga investor di seluruh dunia berhasrat ingin `memegang' aset bernenominasi USD.

Keadaan makin runyam

Penemuan minyak mentah (crude oil) yang nonkonvensional oleh AS (disebut shale gas) dalam skala besar sehingga AS menggeser Venezuela dan Arab Saudi sebagai pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, semakin memperunyam keadaan.Sentimen positif terhadap AS menjadi semakin besar. Ujung-ujungnya dua hal; (1) mata uang USD menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia, dan (2) harga saham di bursa New York meroket tajam, bahkan mencapai rekor baru 18.300, atau dua kali lipat level saat krisis 2009, yakni hanya 9.000-an.

Situasi ini bukan cuma mengagetkan kita di Indonesia, bahkan AS sendiri terkejut dan bingung mesti berbuat apa. Apa buktinya? Bank Sentral AS, The Fed, sejak 2014 berencana menaikkan suku bunganya secara bertahap. Semula mereka memasang target pada akhir 2015 suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) akan mencapai 1,25%. Artinya, di setiap triwulan akan terjadi kenaikan suku bunga 25 basis poin.

Hal ini perlu dilakukan agar likuiditas US$ yang sudah terlanjur dipompa selama rezim kebijakan quantitative easing (2009, 2011, dan 2013) sejumlah US$4,2 triliun tidak mendorong para investor finansial melakukan `akrobat' atau berspekulasi, sehingga kurs bisa naik-turun seperti roller coaster. Untuk mengurangi risiko tersebut, The Fed ingin menetralisasikannya dengan absorpsi likuiditas melalui kenaikan suku bunga.

Namun apa daya, rencana itu tak kunjung bisa dilaksanakan. Hingga hari ini, 30 November 2015, suku bunga The Fed tetap 0,25%. The Fed seakan-akan tak kuasa tersandera oleh aliran modal dari seluruh dunia menuju ke New York. Jika suku bunga dinaikkan juga, The Fed khawatir kurs USD akan kian menguat. Ini bakal tidak menguntungkan karena terlalu kuatnya US$ akan menyebabkan melemahnya daya saing (competitiveness) produk-produk AS. Terlebih lagi, dengan cerdik pemerintah Tiongkok, `lawan dagang utama yang menyebabnya defisit perdagangan AS bengkak', dengan sengaja mendevaluasikan mata uang yuan atau renminbinya.

Situasi ini telah menyandera rupiah, yang terus mengalami depresiasi hingga level terendah 14.700 per US$ (Oktober 2015). Dampak selanjutnya, baik produsen maupun konsumen, menjadi sama-sama lesu. Produsen enggan untuk menambah kapasitas produksinya karena takut tak terserap, sedangkan konsumen enggan berbelanja karena ditikam trauma krisis 1998, yang menghilangkan selera mereka untuk berbelanja. Dalam situasi seperti ini, konsumen pun memilih menunda belanja dan memilih mengamankan uangnya untuk disimpan di bank. Itulah sebabnya dana pihak ketiga (DPK) di bank cenderung meningkat pesat, sementara ekspansi kredit bank melambat. Ujungnya, kemampuan bank untuk mendapatkan laba jadi menurun atau setidaknya melambat.

Blessing in disguise

Penurunan harga minyak dunia juga diikuti dengan anjloknya harga komoditas primer lainnya, yang telah menyebabkan ekspor kita melemah. Pada saat yang sama, gairah impor kita juga menurun lebih tajam lagi sehingga posisi neraca perdagangan mencapai surplus. Namun harus diingat, surplus kali ini tidak bermakna positif alias tidak sehat.

Semua kondisi yang tidak serba tidak ideal tersebut telah memaksa Presiden Jokowi untuk menempuh banyak jurus deregulasi. Dalam situasi tertekan, biasanya memang akan timbul kreativitas yang merupakan blessing in disguise. Selalu ada hikmah di saat krisis, turbulensi, ataupun tekanan. Enam paket deregulasi yang sudah diluncurkan pemerintah (Presiden Jokowi menyebutkan akan ada paket ketujuh pada awal Desember 2015) tersebut tidak mungkin lahir jika kondisi perekonomian normal, alias baik-baik saja.

Meski sebagian besar kebijakan deregulasi baru akan berdampak dalam jangka menengah dan panjang (misalnya kemudahan investasi, bebas visa bagi 100 negara, dan seterusnya), pelan-pelan hal ini sudah mulai terbaca secara positif oleh para pelaku ekonomi. Rupiah yang nyaris ambruk melampaui batas psikologis 15.000 per US$, mulai terkoreksi ke level 13.600 per US$. Jika paket-paket deregulasi tersebut mulai bisa diimplementasikan dengan baik, saya yakin rupiah bakal menemukan ekuilibrium barunya di level yang lebih masuk akal, misalnya Rp13.500 atau bahkan Rp13.000 per US$.

Apa yang harus dikerjakan pada 2016? Tahun ini akan menjadi momentum konsolidasi bagi pemerintahan Jokowi. Pada 2015 berlalu dengan pertumbuhan ekonomi 4,8%, atau meleset sekitar 1% daripada target. Namun, itu memang tak bisa dihindari. Banyak hal yang tak terprediksikan dan di luar kemampuan kita untuk mengelolanya. Berikut ini agenda prioritas pada 2016.

Pertama, selain memproduksi paket-paket deregulasi lanjutan, Presiden Jokowi harus memastikan dan memonitor, apakah deregulasi sebelumnya sudah dapat diimplementasikan.Apakah deregulasi hanya ramai di level atas (presiden dan para menteri), ataukah memang benar-benar dapat dilaksanakan pada level operasional? Bila tidak terimplementasi dengan baik, apa kendalanya?
Deregulasi akan menjadi kunci pembaruan struktural (structural reform), yakni mengubah struktur perekonomian untuk tidak bias ke arah sektor primer. Kita harus mendorong industrialisasi sehingga ketergantungan kepada komoditas primer (yang ternyata rentan terhadap gejolak harga global) bisa dihindari. 

Selanjutnya, kita juga harus giat melaku kan penghiliran, yakni mendorong ekspor produk-produk yang berada di sisi hilir daripada sisi hulu seperti selama ini terjadi. Kita harus mengolah bahan mentah (raw materials) menjadi barang setengah jadi dan barang jadi, dalam rangka menggalang nilai tambah (value added).

Kedua, pembangunan infrastruktur harus terus digenjot dan dimonitor kemajuannya. Pada APBN 2016, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menganggarkan Rp104 triliun, yang berarti lebih tinggi daripada tahun sebelumnya Rp80 triliun. Namun, ini pun belum cukup. Diharapkan nanti pada APBN-P 2016 angkanya lebih besar lagi. Kesungguhan dan tekad besar pemerintah harus tercermin dari anggaran kementerian ini yang terus membesar.

Namun, saya harus mengakui bahwa hasrat besar pemerintah untuk membangun banyak waduk untuk mengairi persawahan serta membangun jalan dan rel kereta api di Papua merupakan hal yang unik dan tidak pernah saya temukan dalam pemerintahan sebelumnya. Jika ini terus dipantau kemajuannya dan dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan, itu akan menumbuhkan optimisme dan sentimen positif di kalangan investor. Ini modal besar yang menjadi ikon bagi pemerintahan Presiden Jokowi, yang harus dipelihara dan dijaga momentumnya.

Ketiga, tahun ini inflasi akan mencapai titik yang rendah. Bank Indonesia memprediksikan hanya 2,87%, sedangkan saya menduga sekitar 3%. Ini akan menjadi modal besar bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate pada awal tahun depan. Suku bunga acuan bisa diturunkan secara bertahap, mulai ke 7,25% dulu. Ini akan menjadi tenaga bagi upaya mendorong ekspansi kredit yang pada 2015 cenderung `macet' di level 10%. Ini level ekspansi terendah dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kondisi normal, ekspansi kredit bank ialah 20% ke atas.

Meski masih banyak kelemahan pada tahun pertamanya, saya masih menaruh banyak asa pada Presiden Jokowi pada tahun keduanya di 2016. Upaya kerasnya dalam mempercepat pembangunan infrastruktur karena kita sudah terlalu terlambat dalam hal ini--mendorong industrialisasi dan hilirisasi, sesungguhnya merupakan modal kuat untuk meyakinkan para investor untuk menanamkan modalnya. Memang itu perlu waktu, dan pemerintah tidak punya kemewahan untuk tidak bekerja keras untuk mengejarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar