Jumat, 04 Desember 2015

Jalur Etika dan Hukum

Jalur Etika dan Hukum

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                               KORAN SINDO,  28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Melalui media dan rubrik ini saya sudah pernah menulis tentang jalur penyelesaian kasus pelanggaran etika dan hukum serta makna asas praduga tak bersalah yang sering kali disalahartikan.

Setelah mencuatnya kasus perpanjangan kontrak Freeport, masalah tersebut menjadi bahan perdebatan lagi yang isinya cenderung keliru atau dikelirukan. Misalnya, ada yang mengatakan, proses dugaan pelanggaran hukum oleh Setya Novanto harus menunggu keputusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di DPR. Ada juga usul agar Menteri ESDM Sudirman Said diproses secara hukum karena telah melanggar UU. Tapi ada yang mengatakan, Sudirman baru bisa diproses hukum jika ”peradilan” etika atas Novanto atau atas dirinya sudah diputus oleh Dewan Etik atau Majelis Kehormatan.

Haruslah dipahami, jalur peradilan etika dan peradilan pidana tak saling bergantung. Keduanya bisa dilakukan secara simultan. Pelanggaran etika yang berhimpit dengan pelanggaran pidana tidak harus diselesaikan salah satunya lebih dulu melainkan bisa diproses secara bersamaan. Sebab produk vonisnya berbeda. Produk terburuk vonis peradilan etika dan peradilan disiplin adalah pemberhentian tidak dengan hormat, sedangkan produk vonis peradilan pidana adalah hukuman pidana seperti penjara, denda, hukuman mati, dan pencabutan hak-hak tertentu.

Ketentuan ini berlaku bagi semua profesi, bukan hanya pada politisi. Untuk pejabat negara dan pegawai negeri hal ini berlaku berdasar Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 dan No VIII/MPR/2001. Kalau pejabat negara dan pegawai negeri melakukan pelanggaran etika dan disiplin, maka bisa ditindak secara administratif lebih dulu tanpa harus menunggu vonis pengadilan. Bisa juga dijatuhi mereka hukuman pidana sebelum dijatuhi sanksi administratif atau etik.

Dalam kasus Freeport, Novanto dan Sudirman oleh publik dinilai patut diduga melakukan pelanggaran etika dan hukum yang tak perlu saling digantungkan. Keduanya bisa diadili melalui pengadilan etik dan pengadilan pidana secara simultan, ”tanpa harus” menunggu selesai salah satunya.

Sudirman diduga melakukan pelanggaran hukum karena membuat izin ekspor konsentrat yang jelas-jelas dilarang oleh UU No 4 Tahun 2009. Sementara Novanto diduga melakukan pelanggaran hukum karena menegosiasikan perpanjangan kontrak Freeport sambil meminta bagian saham dan fasilitas lain.

Menurut UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 butir a, pegawai negeri atau penyelenggara negara diancam dengan hukuman penjara atau denda yang lumayan berat apabila menerima hadiah atau janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya atau patut diduga begitu. Menjanjikan sesuatu (ikut mengurus perpanjangan kontrak) sambil mengusulkan pembagian saham atau fasilitas lain adalah melanggar ketentuan UU No 20 Tahun 2001 tersebut.

Hal yang sama bisa dikenakan Sudirman Said karena dengan jabatannya, melalui surat resmi tertanggal 7 Oktober 2015, dia menjanjikan, bahkan menjamin, perpanjangan kontrak dengan Freeport begitu peraturan perundang-undangan selesai direvisi. Seharusnya Sudirman tidak memberi jaminan seperti itu, melainkan cukup menyatakan akan mempertimbangkan kembali jika hasil revisi peraturan perundang-undangan memungkinkan untuk itu. Isi surat itu memberi kesan, peraturan perundang-undangan akan diubah agar bisa langsung memperpanjang kontrak Freeport.

Dalam hal memberi janji perpanjangan otomatis yang digantungkan pada rencana diubahnya peraturan perundang-undangan itu Sudirman patut diduga telah melakukan pelanggaran yang berhimpit yakni pelanggaran hukum (menggunakan kewenangan untuk mengubah peraturan perundang-undangan untuk bisa memperpanjang kontrak Freeport) dan pelanggaran etika (karena memihak Freeport dengan nada memberi jaminan perpanjangan).

Adapun Novanto diduga kuat melakukan pelanggaran etika karena menegosiasi masalah kontrak Freeport, menyerobot tugas pihak eksekutif. Alasan bahwa hal itu dilakukan demi rakyat Papua tetaplah tak bisa diterima, sebab kalau nego-nego seperti itu bisa dia lakukan, maka Ketua MA, Ketua DPD, Ketua BPK, Ketua MK, Ketua MPR bisa juga melakukannya. Padahal secara etika hal itu salah.

Harap dimengerti, jika ada orang menganalisis dan berkesimpulan bahwa Sudirman dan Novanto telah melanggar etika dan hukum, janganlah dicap melanggar asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah bukanlah asas yang melarang orang untuk menganalisis, beropini, bahkan berkesimpulan bahwa seseorang berdasar fakta lapangan telah bersalah. Orang diproses secara hukum pun, menurut hukum, harus didahului dugaan dan kemudian sangkaan.

Jadi sebenarnya, menduga orang bersalah itu bukan hanya boleh melainkan ”harus”. Tak mungkin ada proses hukum tanpa diduga lebih dulu tentang kesalahannya. Asas praduga tak bersalah hanya berarti seseorang tak boleh diperlakukan sebagai orang yang ”seolah-olah” sudah divonis bersalah secara inkracht oleh pengadilan, padahal belum divonis. Misalnya, belum boleh dipecat, belum boleh disebut terpidana, hartanya belum boleh dilelang, belum harus ditahan, dan sebagainya. Kalau hanya menganalisis dan beropini berdasar fakta umum bahwa seseorang itu bersalah maka hal itu bukan melanggar asas praduga tak bersalah. Itu boleh saja dan selalu terjadi di mana-mana di seluruh dunia.

Tapi, tentu saja Novanto dan Sudirman mempunyai hak penuh untuk membela diri agar nantinya tidak sampai benar-benar dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan maupun oleh Dewan Etik. Itu juga adalah hak konstitusional keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar