Jumat, 04 Desember 2015

Mempersoalkan Surat Edaran Kapolri

Mempersoalkan Surat Edaran Kapolri

Edi Saputra Hasibuan  ;  Anggota Kompolnas;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur
                                               KORAN SINDO,  28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Surat Edaran (SE) Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) masih memunculkan silang pendapat di tengah masyarakat. Bagi yang pro, SE Kapolri hanya mengingatkan aparatnya agar lebih peka terhadap semua hal yang berkaitan dengan ujaran kebencian.

Sebagai aparat hukum, memang sudah seharusnya melaksanakan semua hukum positif yang berlaku di Tanah Air. Jadi, tidak ada hal baru dalam SE Kapolri dilihat dari hukum positif. Sementara itu pendapat yang kontra menilai, SE Kapolri merupakan bentuk baru pengekangan berekspresi atau kebebasan berpendapat. Setiap bentuk pengekangan dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan mengingkari kehendak demokrasi.

Jadi, SE Kapolri dinilai sebagai bentuk represif terhadap setiap warga negara dan berpotensi membangun rasa takut publik untuk mengkritik, khususnya terhadap pemerintah. Kalau dicermati dua kelompok pendapat tersebut, gaung pendapat yang kontra tampak lebih menggema daripada yang pro. Hal itu terlihat dari pendapat di berbagai media massa, termasuk di media sosial, yang banyak menolak SE Kapolri. Persoalannya, kenapa lebih banyak yang menolak?

Salah Pengertian

Memang banyak argumentasi yang dikemukakan pihak yang kontra terhadap SE Kapolri. Namun dari banyaknya pendapat tersebut, ada di antaranya yang cenderung disebabkan salah pengertian terhadap SE Kapolri. Salah satunya SE Kapolri dinilai seolah-olah produk hukum.

Seperti dikemukakan pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf, surat edaran mengenai ujaran kebencian (hate speech) berpotensi menjadi pasal karet karena tafsirnya hanya dilakukan polisi. Menurutnya, ini pasal model zaman Orde Baru, ketika kritik bagi penguasa dianggap sebagai kebencian bagi para pejabat.

Atas pemahaman seperti itu, menurut Asep Warlan Yusuf, setiap pendapat kritis akan dikategorikan sebagai penghinaan. Penanganannya pun sangat represif karena para pengkritik akan langsung ditahan dulu, baru urusan lainnya belakangan. Ia khawatir jika ada yang mengkritik Presiden Jokowi ke depannya akan ditangani sebagai penghinaan, seperti halnya yang dilakukan pemerintahan Orde Baru.

Menanggapi pendapat tersebut, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan pendapat negatif tentang SE Penanganan Ujaran Kebencian menunjukkan ketidakpahaman. Ada orang hukum bilang, SE ini harus dicabut. Menurut Kapolri, orang ini tidak memahami hal tersebut. Bahkan ada juga yang bilang, SE bisa ngalahin hukum yang berlaku. Orang ini, menurut Kapolri juga tidak mengerti hukum.

Jadi, memang banyak yang menolak SE Kapolri disebabkan pemahaman keliru tentang produk hukum. Apalagi kalau dilihat dari hierarki hukum, tentu SE Kapolri sudah dapat dipastikan bukanlah produk hukum. Karena itu, SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian tidak akan berubah menjadi pasal karet, termasuk kategori kritik tidak akan berubah menjadi penghinaan.

Dalam pertemuan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kapolri, Kompolnas mengapresiasi apa yang telah dilakukan Kapolri membuat dan menyosialisasi SE sehingga dengan SE ini diharapkan agar anggota Polri tidak gamang dalam menangani tindakan hate speech. Kompolnas juga memberikan apresiasi yang besar kepada masyarakat yang memberikan tanggapan pro maupun kontra atas munculnya SE ini. Apalagi SE ini merupakan hasil inisiasi dari Kompolnas mengingat banyaknya pengaduan masyarakat mengenai hate speech.

Perlu Diperjelas

Penanganan ujaran kebencian sebenarnya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidar, yang mendukung upaya kepolisian untuk menangani masalah ujaran kebencian dan penghasutan yang menyinggung SARA karena membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman dan dapat menimbulkan konflik.

Hanya saja SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian terlalu luas. Pada nomor 2 huruf (f) SE Kapolri disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lain di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong.

Cakupan yang luas tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan multitafsir tentang ujaran kebencian. Bahkan ada yang berpendapat, bila pencemaran nama baik dimasukkan sebagai bentuk ujaran kebencian, yang mengacu pada Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, hal itu dapat menghambat kebebasan berpendapat. Jadi, banyak elemen masyarakat yang sesungguhnya mendukung penanganan ujaran kebencihan.

Sebab, ujaran kebencian itu nyata ditemui di banyak tempat, termasuk yang marak di media sosial. Ujaran kebencian seolah-olah mendapat tempat dan dengan bebasnya bermunculan kapan saja dikehendaki. Namun dukungan itu diiringi dengan catatan agar penanganannya tidak memberangus kebebasan berpendapat, termasuk pencemaran nama baik.

Catatan ini dimaksudkan agar lingkup ujaran kebencihan dibatasi sehingga dapat dirumuskan batasannya yang lebih konkret dan tidak multitafsir. Kalau SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian mengacu pada batasan yang jelas, tentu peluang penolakan yang begitu besar tidak akan terjadi. Hanya saja, hal itu memang sulit dilakukan mengingat hingga saat ini belum ada batasan yang jelas tentang ujaran kebencian. Jadi, para pembuat undangundang harus merespons persoalan mendasar yang terkait dengan ujaran kebencian.

Batasan yang tidak multitafsir harus segera dirumuskan agar polemik tentang ujaran kebencian dapat mereda dan polisi dan melaksanakannya tanpa ragu-ragu. Tentu ditunggu respons dari pemerintah dan DPR secepatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar