Mempersoalkan Surat Edaran Kapolri
Edi Saputra Hasibuan ;
Anggota Kompolnas;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum
Universitas Borobudur
|
KORAN
SINDO, 28 November 2015
Surat Edaran (SE)
Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) masih memunculkan silang pendapat di tengah
masyarakat. Bagi yang pro, SE Kapolri hanya mengingatkan aparatnya agar lebih
peka terhadap semua hal yang berkaitan dengan ujaran kebencian.
Sebagai aparat hukum,
memang sudah seharusnya melaksanakan semua hukum positif yang berlaku di
Tanah Air. Jadi, tidak ada hal baru dalam SE Kapolri dilihat dari hukum
positif. Sementara itu pendapat yang kontra menilai, SE Kapolri merupakan
bentuk baru pengekangan berekspresi atau kebebasan berpendapat. Setiap bentuk
pengekangan dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan mengingkari
kehendak demokrasi.
Jadi, SE Kapolri
dinilai sebagai bentuk represif terhadap setiap warga negara dan berpotensi
membangun rasa takut publik untuk mengkritik, khususnya terhadap pemerintah.
Kalau dicermati dua kelompok pendapat tersebut, gaung pendapat yang kontra
tampak lebih menggema daripada yang pro. Hal itu terlihat dari pendapat di
berbagai media massa, termasuk di media sosial, yang banyak menolak SE
Kapolri. Persoalannya, kenapa lebih banyak yang menolak?
Salah Pengertian
Memang banyak
argumentasi yang dikemukakan pihak yang kontra terhadap SE Kapolri. Namun
dari banyaknya pendapat tersebut, ada di antaranya yang cenderung disebabkan
salah pengertian terhadap SE Kapolri. Salah satunya SE Kapolri dinilai
seolah-olah produk hukum.
Seperti dikemukakan
pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat,
Asep Warlan Yusuf, surat edaran mengenai ujaran kebencian (hate speech) berpotensi menjadi pasal
karet karena tafsirnya hanya dilakukan polisi. Menurutnya, ini pasal model
zaman Orde Baru, ketika kritik bagi penguasa dianggap sebagai kebencian bagi
para pejabat.
Atas pemahaman seperti
itu, menurut Asep Warlan Yusuf, setiap pendapat kritis akan dikategorikan
sebagai penghinaan. Penanganannya pun sangat represif karena para pengkritik
akan langsung ditahan dulu, baru urusan lainnya belakangan. Ia khawatir jika
ada yang mengkritik Presiden Jokowi ke depannya akan ditangani sebagai
penghinaan, seperti halnya yang dilakukan pemerintahan Orde Baru.
Menanggapi pendapat
tersebut, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan pendapat negatif tentang
SE Penanganan Ujaran Kebencian menunjukkan ketidakpahaman. Ada orang hukum
bilang, SE ini harus dicabut. Menurut Kapolri, orang ini tidak memahami hal
tersebut. Bahkan ada juga yang bilang, SE bisa ngalahin hukum yang berlaku.
Orang ini, menurut Kapolri juga tidak mengerti hukum.
Jadi, memang banyak
yang menolak SE Kapolri disebabkan pemahaman keliru tentang produk hukum.
Apalagi kalau dilihat dari hierarki hukum, tentu SE Kapolri sudah dapat
dipastikan bukanlah produk hukum. Karena itu, SE Kapolri tentang Penanganan
Ujaran Kebencian tidak akan berubah menjadi pasal karet, termasuk kategori
kritik tidak akan berubah menjadi penghinaan.
Dalam pertemuan Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kapolri, Kompolnas mengapresiasi apa yang
telah dilakukan Kapolri membuat dan menyosialisasi SE sehingga dengan SE ini
diharapkan agar anggota Polri tidak gamang dalam menangani tindakan hate
speech. Kompolnas juga memberikan apresiasi yang besar kepada masyarakat yang
memberikan tanggapan pro maupun kontra atas munculnya SE ini. Apalagi SE ini
merupakan hasil inisiasi dari Kompolnas mengingat banyaknya pengaduan
masyarakat mengenai hate speech.
Perlu Diperjelas
Penanganan ujaran
kebencian sebenarnya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya
Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidar, yang mendukung upaya kepolisian
untuk menangani masalah ujaran kebencian dan penghasutan yang menyinggung
SARA karena membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki
keberagaman dan dapat menimbulkan konflik.
Hanya saja SE Kapolri
tentang Penanganan Ujaran Kebencian terlalu luas. Pada nomor 2 huruf (f) SE
Kapolri disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lain di
luar KUHP, yang berbentuk antara lain: penghinaan, pencemaran nama baik,
penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan
menyebarkan berita bohong.
Cakupan yang luas
tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan multitafsir tentang ujaran kebencian.
Bahkan ada yang berpendapat, bila pencemaran nama baik dimasukkan sebagai
bentuk ujaran kebencian, yang mengacu pada Pasal 310 dan 311 KUHP tentang
pencemaran nama baik, hal itu dapat menghambat kebebasan berpendapat. Jadi,
banyak elemen masyarakat yang sesungguhnya mendukung penanganan ujaran
kebencihan.
Sebab, ujaran
kebencian itu nyata ditemui di banyak tempat, termasuk yang marak di media
sosial. Ujaran kebencian seolah-olah mendapat tempat dan dengan bebasnya
bermunculan kapan saja dikehendaki. Namun dukungan itu diiringi dengan
catatan agar penanganannya tidak memberangus kebebasan berpendapat, termasuk
pencemaran nama baik.
Catatan ini dimaksudkan
agar lingkup ujaran kebencihan dibatasi sehingga dapat dirumuskan batasannya
yang lebih konkret dan tidak multitafsir. Kalau SE Kapolri tentang Penanganan
Ujaran Kebencian mengacu pada batasan yang jelas, tentu peluang penolakan
yang begitu besar tidak akan terjadi. Hanya saja, hal itu memang sulit
dilakukan mengingat hingga saat ini belum ada batasan yang jelas tentang
ujaran kebencian. Jadi, para pembuat undangundang harus merespons persoalan
mendasar yang terkait dengan ujaran kebencian.
Batasan yang tidak
multitafsir harus segera dirumuskan agar polemik tentang ujaran kebencian
dapat mereda dan polisi dan melaksanakannya tanpa ragu-ragu. Tentu ditunggu
respons dari pemerintah dan DPR secepatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar