Jumat, 04 Desember 2015

Kepakaran dan Media

Kepakaran dan Media

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                               KORAN SINDO,  29 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya beberapa kali diminta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, baik untuk kasus perdata (rebutan anak antara suami istri yang bercerai) maupun pidana (termasuk pengadilan Abu Bakar Baasyir). Setiap kali duduk di kursi saksi setelah diambil sumpah, pertanyaan hakim yang pertama adalah tentang identitas diri, termasuk tentang latar belakang pendidikan saya. Di bagian pendidikan, hakim bertanya rinci tentang saya dan yang terpenting adalah bagaimana hubungan pendidikan saya dengan kasus yang sedang diadili.

Saya yakin hakim sudah tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya itu (di seminar-seminar, sering kali moderator tidak membacakan riwayat hidup saya lagi, karena dianggap semua orang sudah tahu), tetapi jawaban saya penting untuk dicatat oleh panitera sebagai pertanggungjawaban atas kesahihan (validitas) keterangan-keterangan yang akan saya berikan.

Buat pengadilan kesahihan informasi adalah harga mati agar pengadilan tetap projustisia. Berbeda sekali dengan media massa, baik media cetak seperti koran dan majalah, apalagi media elektronik yaitu radio dan terutama sekali TV. Dalam berbagai talk show di TV, misalnya, banyak pembicara yang diundang tanpa dicek dulu kepakarannya atau minimal kaitannya dengan kasus yang sedang dibahas.

Saya pernah tampil di TV dalam sebuah talk show tentang bom-terorisme dengan seorang yang mengaku, dan diklaim dibenarkan oleh penyiar, sebagai pakar psikologi dan ahli hipnotisme yang sudah menghipnotis para narapidana teroris dalam rangka program deradikalisasi.

Saya yang sudah sejak zaman Bom Bali I meneliti tentang terorisme dan sudah menerbitkan beberapa buku (dalam tiga bahasa) tentang terorisme di Indonesia, cukup mengenal secara pribadi para petugas Densus maupun BNPT, para rekan pakar se-Indonesia yang meneliti tentang terorisme (jumlahnya hanya beberapa belas orang saja), dan para terpidana kasus terorisme yang ada di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

Ketika kemudian saya cek kepada mereka apakah mereka kenal dengan pakar psikologi yang ahli hipnotis ini (saya tidak mau sebutkan namanya di sini, tidak etis), ternyata sama sekali tidak ada yang kenal. Dugaan saya benar, tokoh ini adalah pakar bodong yang diangkat oleh media massa untuk mengisi acara-acara mereka, dan cara media massa memilih pakar juga tidak dilandasi oleh riset yang serius, cukup nanya dari mulut ke mulut.

Pihak produser acara TV tampaknya tidak peduli, pokoknya talk show-nya ramai dan rating naik terus. Tetapi akibatnya, masyarakat jadi bingung, atau kalau tidak mau ikut-ikutan kebingungan, mereka langsung ikut saja pendapat yang sudah digulirkan ke media sosial, sehingga terkesan dialah yang benar, walaupun sebenarnya salah.

Lebih parahnya lagi, kecenderungan yang sama juga terjadi di sektor agama. Di agama-agama non-Islam, untuk menjadi pemuka agama atau rohaniwan diperlukan pendidikan formal (ada sekolahnya) dan pengalaman kerja tertentu, yang terkait dengan berbagai kedudukan dan jabatan formal tertentu dalam organisasi keagamaan yang diakui oleh umat masingmasing. Di dalam lingkungan Islam, tidak ada pendidikan khusus untuk menjadi rohaniwan.

Universitas Islam Negeri yang dulunya bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah perguruan tinggi biasa yang mengajarkan ilmu umum dan ilmu agama, bukan mengajarkan skill untuk melayani umat. Kalaupun ada tokoh- tokoh ulama Islam yang hebat seperti KH Ahmad Dahlan dan HAMKA, semuanya adalah karena kepercayaan dari masyarakat dan peer group sendiri, karena sudah terbukti selama bertahun-tahun, bahwa orang-orang tersebut patut dijadikan ulama, atau ustad.

Jadi pemberian predikat ulama, rohaniwan atau ustad di lingkungan umat Islam Indonesia hanya diberikan secara informal. Pengakuan informal ini jaman dulu fine-fine saja, karena hanya satu-dua yang berlevel nasional, dan itu pun pengaruhnya terbatas pada sektor agama saja, karena yang bergabung dengan politik tidak lagi menyebut dirinya ulama melainkan politikus.

Lagi pula di jaman dulu belum ada media massa, apalagi media sosial secanggih seperti sekarang. Tetapi dengan makin didorongnya nilai-nilai keagamaan yang dianggap bisa membuat masyarakat makin baik, makin banyak masyarakat membutuhkan rohaniwan atau ulama yang bisa memberi petunjuk mana yang salah dan mana yang benar menurut agama.

Kebutuhan akan rohaniwan yang makin meninggi ini tidak bisa dipenuhi dari sektor pendidikan formal, sehingga harus mengambil dari jalur informal. Padahal, jalur informal sudah dipenuhi oleh media massa dan media sosial, yang malas bersusah payah untuk menelusuri rekam jejak seseorang sebelum mengakuinya sebagai pakar agama. Karena itu dunia perulamaan diisi oleh rohaniwan dan ulama dadakan, yang menjadi ulama atau rohaniwan karena dulunya artis, yang kebetulan pernah belajar mengaji semasa kecil, sehingga pandai berkhotbah dengan gaya yang ngepop sambil nyanyi atau sambil melawak, sementara wajahnya pun enak dipandang.

Maka dalam waktu singkat honorarium ustad karbitan untuk berceramah, bisa puluhan kali lebih tinggi dari pada honorarium ceramah seorang profesor. Tetapi ulama-ulama seperti ini sudah barang tentu tidak bisa mendorong umat untuk berbuat baik, karena kelakuannya sendiri tidak baik (masuk politik dan ikut korupsi, merangkap dukun yang kemudian menipu pasiennya, dsb).

Bahkan yang lebih mengerikan adalah orang-orang radikal yang baru balik dari Suriah dan kemudian bergabung dengan kelompok militan di Indonesia. Mereka langsung dianggap ulama dan mengajarkan ajaran-ajaran radikal dan saling membenci antara sesama umat sendiri, sehingga memecah belah umat yang selama ini sudah baik-baik saja.

Kalau kita tidak segera selesaikan masalah keresmian pimpinan agama Islam di negara kita, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ISIS sudah ber-Assalamualaikum di teras rumah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar