Kepakaran dan Media
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 29 November 2015
Saya beberapa kali
diminta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, baik untuk kasus perdata
(rebutan anak antara suami istri yang bercerai) maupun pidana (termasuk
pengadilan Abu Bakar Baasyir). Setiap kali duduk di kursi saksi setelah
diambil sumpah, pertanyaan hakim yang pertama adalah tentang identitas diri,
termasuk tentang latar belakang pendidikan saya. Di bagian pendidikan, hakim
bertanya rinci tentang saya dan yang terpenting adalah bagaimana hubungan
pendidikan saya dengan kasus yang sedang diadili.
Saya yakin hakim sudah
tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya itu (di seminar-seminar, sering
kali moderator tidak membacakan riwayat hidup saya lagi, karena dianggap
semua orang sudah tahu), tetapi jawaban saya penting untuk dicatat oleh
panitera sebagai pertanggungjawaban atas kesahihan (validitas) keterangan-keterangan
yang akan saya berikan.
Buat pengadilan
kesahihan informasi adalah harga mati agar pengadilan tetap projustisia.
Berbeda sekali dengan media massa, baik media cetak seperti koran dan
majalah, apalagi media elektronik yaitu radio dan terutama sekali TV. Dalam
berbagai talk show di TV, misalnya,
banyak pembicara yang diundang tanpa dicek dulu kepakarannya atau minimal
kaitannya dengan kasus yang sedang dibahas.
Saya pernah tampil di
TV dalam sebuah talk show tentang
bom-terorisme dengan seorang yang mengaku, dan diklaim dibenarkan oleh
penyiar, sebagai pakar psikologi dan ahli hipnotisme yang sudah menghipnotis
para narapidana teroris dalam rangka program deradikalisasi.
Saya yang sudah sejak
zaman Bom Bali I meneliti tentang terorisme dan sudah menerbitkan beberapa
buku (dalam tiga bahasa) tentang terorisme di Indonesia, cukup mengenal
secara pribadi para petugas Densus maupun BNPT, para rekan pakar se-Indonesia
yang meneliti tentang terorisme (jumlahnya hanya beberapa belas orang saja),
dan para terpidana kasus terorisme yang ada di lembaga-lembaga pemasyarakatan.
Ketika kemudian saya
cek kepada mereka apakah mereka kenal dengan pakar psikologi yang ahli
hipnotis ini (saya tidak mau sebutkan namanya di sini, tidak etis), ternyata
sama sekali tidak ada yang kenal. Dugaan saya benar, tokoh ini adalah pakar
bodong yang diangkat oleh media massa untuk mengisi acara-acara mereka, dan
cara media massa memilih pakar juga tidak dilandasi oleh riset yang serius,
cukup nanya dari mulut ke mulut.
Pihak produser acara
TV tampaknya tidak peduli, pokoknya talk
show-nya ramai dan rating naik terus. Tetapi akibatnya, masyarakat jadi
bingung, atau kalau tidak mau ikut-ikutan kebingungan, mereka langsung ikut
saja pendapat yang sudah digulirkan ke media sosial, sehingga terkesan dialah
yang benar, walaupun sebenarnya salah.
Lebih parahnya lagi,
kecenderungan yang sama juga terjadi di sektor agama. Di agama-agama
non-Islam, untuk menjadi pemuka agama atau rohaniwan diperlukan pendidikan
formal (ada sekolahnya) dan pengalaman kerja tertentu, yang terkait dengan
berbagai kedudukan dan jabatan formal tertentu dalam organisasi keagamaan
yang diakui oleh umat masingmasing. Di dalam lingkungan Islam, tidak ada
pendidikan khusus untuk menjadi rohaniwan.
Universitas Islam
Negeri yang dulunya bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah
perguruan tinggi biasa yang mengajarkan ilmu umum dan ilmu agama, bukan
mengajarkan skill untuk melayani umat. Kalaupun ada tokoh- tokoh ulama Islam
yang hebat seperti KH Ahmad Dahlan dan HAMKA, semuanya adalah karena
kepercayaan dari masyarakat dan peer group sendiri, karena sudah terbukti
selama bertahun-tahun, bahwa orang-orang tersebut patut dijadikan ulama, atau
ustad.
Jadi pemberian
predikat ulama, rohaniwan atau ustad di lingkungan umat Islam Indonesia hanya
diberikan secara informal. Pengakuan informal ini jaman dulu fine-fine saja, karena hanya satu-dua
yang berlevel nasional, dan itu pun pengaruhnya terbatas pada sektor agama
saja, karena yang bergabung dengan politik tidak lagi menyebut dirinya ulama
melainkan politikus.
Lagi pula di jaman
dulu belum ada media massa, apalagi media sosial secanggih seperti sekarang.
Tetapi dengan makin didorongnya nilai-nilai keagamaan yang dianggap bisa
membuat masyarakat makin baik, makin banyak masyarakat membutuhkan rohaniwan
atau ulama yang bisa memberi petunjuk mana yang salah dan mana yang benar
menurut agama.
Kebutuhan akan
rohaniwan yang makin meninggi ini tidak bisa dipenuhi dari sektor pendidikan
formal, sehingga harus mengambil dari jalur informal. Padahal, jalur informal
sudah dipenuhi oleh media massa dan media sosial, yang malas bersusah payah
untuk menelusuri rekam jejak seseorang sebelum mengakuinya sebagai pakar
agama. Karena itu dunia perulamaan diisi oleh rohaniwan dan ulama dadakan,
yang menjadi ulama atau rohaniwan karena dulunya artis, yang kebetulan pernah
belajar mengaji semasa kecil, sehingga pandai berkhotbah dengan gaya yang
ngepop sambil nyanyi atau sambil melawak, sementara wajahnya pun enak
dipandang.
Maka dalam waktu
singkat honorarium ustad karbitan untuk berceramah, bisa puluhan kali lebih
tinggi dari pada honorarium ceramah seorang profesor. Tetapi ulama-ulama
seperti ini sudah barang tentu tidak bisa mendorong umat untuk berbuat baik,
karena kelakuannya sendiri tidak baik (masuk politik dan ikut korupsi,
merangkap dukun yang kemudian menipu pasiennya, dsb).
Bahkan yang lebih
mengerikan adalah orang-orang radikal yang baru balik dari Suriah dan
kemudian bergabung dengan kelompok militan di Indonesia. Mereka langsung
dianggap ulama dan mengajarkan ajaran-ajaran radikal dan saling membenci
antara sesama umat sendiri, sehingga memecah belah umat yang selama ini sudah
baik-baik saja.
Kalau kita tidak
segera selesaikan masalah keresmian pimpinan agama Islam di negara kita,
bukan tidak mungkin suatu saat nanti ISIS sudah ber-Assalamualaikum di teras rumah kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar