Selasa, 17 Februari 2015

Jokowi, Jangan Ragu

Jokowi, Jangan Ragu

Refly Harun  ;  Pengamat dan Pengajar Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

“…jika Budi Gunawan batal diangkat sebagai Kapolri maka Presiden telah melanggar etika hubungan legislatif. Namun jika tetap dilantik maka Jokowi akan melanggar etika dengan rakyatnya.”  (Jimly Asshiddiqie, detik.com, 13 Febaruari 2015)

Saya ingin memulai tulisan ini dengan mengutip pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqe, seorang pakar hukum tata negara terkemuka yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan itu menjadi penting karena memberhadapkan antara rakyat dan wakil rakyat dan sama-sama di ranah etika. Pertanyaan Jimly kepada Presiden Jokowi, mana yang dipilih bila memang harus memilih, melanggar etika dengan wakil rakyat atau melanggar etika dengan rakyat itu sendiri?

Kewarasan publik pasti akan memilih melanggar etika dengan wakil rakyat ketimbang rakyat itu sendiri. Rakyat adalah tuan dalam demokrasi, sedangkan wakil rakyat hanya perwakilan atau corong dari kemauan rakyat. Sayangnya, dalam banyak hal corong sering menggemakan suara yang berbeda dengan suara rakyat yang memilih mereka.

Ketika wakil rakyat tidak berada dalam genderang yang sama dengan rakyat maka sangat absah dan penuh justifikasi bila rakyat meneriakkan suaranya sendiri, yang berbeda dengan wakil-wakil rakyat. Tugas rakyat tidak selesai di bilik-bilik suara pemilu saja. Rakyat tetap punya ruang dalam demokrasi untuk terus-menerus berpartisipasi dalam jalannya pemerintahan, dalam pengambilan keputusan.

Itulah hakikat dari demokrasi partisipatoris, sebuah tipologi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek. Kita mungkin masih jauh ke arah sana. Orang menyebut demokrasi kita masih demokrasi formal-prosedural. Namun, gerakan ke arah sana harus terus dijaga, diperjuangkan, dalam setiap kesempatan, dalam setiap momen.

Momen berbedanya suara (mayoritas) rakyat --- yang bisa dipastikan mewakili kewarasan dan hati nurani publik --- dengan suara (sebagian) wakil rakyat dan elite dalam hal pelantikan seorang tersangka korupsi menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) adalah momen untuk membuktikan demokrasi partisipatoris tersebut memiliki cikal bakal. Inilah saatnya bersuara nyaring untuk kewarasan dan hati nurani, untuk sebuah sikap yang pro terhadap pemberantasan korupsi, pro menghadirkan para pejabat publik yang (kalau bisa) semuanya tidak bermasalah.

Lagipula (sebagian) wakil-wakil rakyat dan elite yang tetap mendorong Budi Gunawan menjadi Kapolri tidaklah mengabsorbsi semua suara rakyat. Tidak semua rakyat memiliki suara dalam pemilu. Tidak semua pemilik suara tersebut menggunakan suaranya dalam pemilu. Pastinya pula, tidak semua rakyat yang menggunakan suaranya dalam pemilu tersebut memilih para wakil rakyat yang tidak setuju pembatalan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Dari sisi keterwakilan angka pun masih patut ditanyakan klaim sebagai representasi rakyat, apalagi dari sisi keterwakilan substantif.

Kendati Jimly menyatakan bahwa Jokowi menghadapi dilema terhadap dua pilihan tersebut, sesungguhnya pilihan yang harus dipilih Presiden hanya satu: dengarkan suara rakyat. Suara rakyat adalah suara yang genuine. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).

Masih terngiang dalam ingatan kita betapa gaduhnya para wakil rakyat meributkan pemilihan langsung kepala daerah atau cukup melalui DPRD. Sidang yang dibuka pada pagi hari tanggal 25 Sepember 2014 harus diakhiri dengan voting tanggal 26 September dini hari, ditingkahi dengan aksi jalan keluar (walk out) Fraksi Demokrasi yang memunculkan tanda tanya besar. Di media ini saya sampai perlu menulis “Khianat Demokrat” untuk mengkritik perilaku Fraksi Demokrat yang dianggap menghancurkan benih-benih baik dari demorkasi lokal.

Ketika Presiden SBY mengeluarkan perppu untuk mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat, suara pro dan kontra bersahut-sahutan. Mayoritas rakyat menghendaki pemilihan langsung, yang tercermin dari hasil survei dan penyampaian aspirasi ke DPR baik langsung maupun melalui aksi demonstrasi, tetapi suara mayoritas wakil rakyat berbeda.

Nyatanya, ketika kursi-kursi pimpinan MPR dan DPR telah terbagi untuk mayoritas yang tidak menghendaki pemilihan langsung kepala daerah, suara penolakan terhadap perppu surut. Januari lalu, perppu mulus diterima menjadi undang-undang. Catatan keberatan terhadap beberapa substansi perppu tidak menghilangkan kesan betapa mudahnya suara wakil rakyat berubah ketika insentif politik sudah tidak ada lagi lantaran target untuk menguasai semua pimpinan MPR dan DPR tercapai.

Penolakan (sebagian) wakil rakyat dan elite terhadap pembatalan pelantikan Budi Gunawan dan, terutama, pengajuan calon baru Kapolri, bisa jadi, juga akan berakhir dengan situasi antiklimaks. Penolakan keras di awal bisa jadi akan segera berubah ketika deal-deal politik sudah menemukan kata sepakat. Suara elite selalu akan berubah ketika kepentingan sudah tercapai atau kepentingan sudah tidak mungkin tercapai lagi. Bila kepentingan masih dalam jangkauan antara bisa dan tidak, elite-elite terus bermanuver. Politik memang tidak sederhana. Bukan pelajaran di atas lembaran-lembaran kertas saja, tetapi harus diselami secara riil di lapangan.

Kembali kepada kewarasan dan hati nurani publik harusnya menjadi pilihan Jokowi sampai kapan pun. Tanpa itu, Jokowi, yang notebene bukan darah biru parpol pemenang, bukanlah apa-apa. Parpol memang yang menominasikan Jokowi, tetapi rakyatlah yang memilih dan memenangkannya. Baru pada Pilpres 2014 inilah rakyat bahu membahu untuk memenangkan sosok yang tidak punya akar kuat di parpol.

Jokowi tidak boleh tercerabut dari akarnya, tetapi rakyat pun tidak boleh lalai untuk terus mengawal dan mengawasi. Bilamana Jokowi dililit oleh banyak kepentingan di sekitarnya, mulai dari pemburu rente hingga pemburu kekuasaan, rakyat harus menjadi tameng yang melindungi. Yang penting, Jokowi jangan berubah. Jokowi harus tetap memegang janji Nawa Cita-nya. Memilih Kapolri yang bersih dan bebas dari korupsi adalah sebagian dari janji di Nawa Cita. Janji adalah utang. Utang harus ditagih.

Jokowi harus melunasi semua utangnya kepada rakyat pemilih. Ia tidak bisa menghindar atau bergeser, apalagi berubah. Jangan ragu memilih kewarasan dan hati nurani publik. Abaikan yang tidak sejalan. Jangan dengarkan para elite dan sebagian pengamat yang mau menghancurkan amanat suci dari publik pemilih.

Kecuali Anda sendiri yang sudah berubah Pak Jokowi, maka jangan ragu untuk memutuskan apa pun yang terbaik bagi rakyat, terutama bagi mereka yang telah menghadirkan kehormatan kepada Anda untuk menjadi sais kereta negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar