Selasa, 17 Februari 2015

Menimbang Penghapusan Pajak Tanah

Menimbang Penghapusan Pajak Tanah

Akhmad Syakir Kurnia  ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB),
Kepala Pusat Penelitian Kajian Pembangunan LPPM Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 16 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PEMERINTAH melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan baru-baru ini mewacanakan penghapusan pajak atas tanah. Argumennya, Tuhan-lah yang menciptakan bumi (tanah) untuk manusia sehingga tidak pantas bila pemerintah tiap tahun mengenakan pajak atas tanah. Tindakan memajaki tanah berarti berbuat tidak adil, bahkan lalim. Lebih jauh bahkan Menteri Ferry membandingkan pajak dengan asuransi.

Wacana penghapusan pajak tanah menarik untuk dikaji, bukan saja karena menyangkut salah satu sumber pendapatan penting bagi pemerintah (daerah), melainkan juga menyangkut prinsip dasar hubungan antara pemerintah sebagai pengelola negara dan rakyatnya.

Pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah guna membiayai kegiatan pemerintah dalam melayani publik. Pajak juga instrumen regulasi bagi pemerintah untuk mengatur masyarakat. Fungsi regulasi inilah yang sering dilupakan ketika membahas pajak. Pajak atas tanah juga merupakan salah satu jenis pajak paling kuno. Semasa Rasulullah saw pengenaan pajak atas tanah disebut kharaj.

Sebagian besar negara mengenakan pajak atas tanah berikut bangunan di atasnya. Terkecuali antara lain Kroasia, Fiji, Israel, dan hampir sebagian negara Timur Tengah (Bahrain, Arab Saudi, UEA, Oman, Qatar, dan Kuwait). Objek pengenaan pajak tanah adalah kepemilikan orang atas sumber daya.

Sumber daya itu tersedia tidak melalui kegiatan produksi, dan berjumlah tetap. Karenanya, kepemilikan sumber daya tanah oleh sesorang akan meng-exclude orang lain (publik) atas pemanfaatan tanah tersebut. Karena itu pula pengakuan negara atas kepemilikan seseorang terhadap tanah menjadikan negara merasa berhak mengenakan pajaknya.

Berdasarkan pemahaman itu, kepemilikan tanah oleh seseorang mempunyai dasar kuat untuk dikenai pajak, yaitu sebagai pendapatan sewa atas tanah atau harga tanah tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana bila tanah itu dipakai sendiri? Bukankah pemilik tidak mendapatkan ”apa-apa”? Lebih mudah menjawab pertanyaan ini dengan membayangkan sistuasi bahwa orang yang memanfaatkan tanah harus membayar sewa kepada ”pemiliknya”.

Pajak tanah dan bangunan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah. Meskipun demikian, kontribusi pajak tanah dan bangunan masih relatif kecil. Government Financial Statistics (GFS) menyebutkan, penerimaan pajak tanah dan bangunan di negara berkembang rata-rata hanya 0,78% dari PDB atau 4,64% dari total penerimaan pajak.

Sementara di negara maju, peran pajak tanah dan bangunan terhadap penerimaan negara sedikit lebih besar, yaitu rata-rata 1,93% PDB atau 7,29% dari total penerimaan pajak. Di negara maju, pajak tanah dan bangunan/properti memainkan peran penting sebagai instrumen regulasi. Sektor properti merupakan salah satu indikator dinamika ekonomi.

Langkah Tepat

Karena itu, penerimaan pajak tanah dan bangunan berkorelasi dengan dinamika ekonomi, dan perannya yang semakin besar terhadap penerimaan. Sebaliknya, di negara berkembang, kecenderungannya peran pajak tanah dan bangunan justru makin berkurang.

Sejak awal pengenaannya, pajak tanah dan bangunan pada hampir semua negara merupakan pajak lokal. Alasan utamanya karena objek pajaknya tidak dapat berpindah tempat. Di Indonesia, mulai tahun 2013 pajak tanah (bumi) dan bangunan (PBB) menjadi kewenangan pemkab/pemkot, dari sebelumnya menjadi kewenangan pusat.

Pendelegasian kewenangan pajak tanah dan bangunan kepada pemda merupakan langkah tepat dari sisi prinsip perpajakan. Mengingat objek pajaknya tidak bisa berpindah tempat maka pemda punya kewenangan menetapkan tarif.

Termasuk memanfaatkan pajak yang diterimanya sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Penghapusan pajak tanah pasti akan mengurangi pendapatan asli daerah. Dibanding pajak penghasilan, wujud objek pajak tanah dan bangunan sudah ”jelas dan terlihat”. Objek pajaknya terkait dengan banyak aspek, karenanya kewenangan pemerintah mengenakan pajak memainkan peran regulasi dalam reformasi agraria.

Alih-alih efektivitas pajak tanah sebagai instrumen regulasi ditingkatkan dalam kontreks reformasi agraria, penghapusan pajak tanah justru kontraproduktif bagi reformasi agraria yang berkeadilan. Kembali kepada wacana Menteri Ferry, alasan yang dikemukakannya sekilas terlihat populis, bahkan idealis.

Namun bila mengkaji lebih jauh, alasannya itu menggambarkan kelemahan pemahaman mengenai prinsip-prinsip dasar perpajakan. Tentu kita tak ingin suatu saat pemerintah mewacanakan penghapusan pajak air permukaan (PAP) dan pajak air bawah tanah (PABT) dengan alasan bahwa air itu disediakan Tuhan sehingga bila ada yang memajaki berarti berbuat lalim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar