Radio
dan Singkong
Eddy Koko ; Mantan
SM & Pimred Radio Trijaya FM
|
KORAN
SINDO, 16 Februari 2015
Asal tahu, media radio siaran di Indonesia itu nasibnya
ibarat singkong. Tumbuh di semua daerah, dan pernah dimakan oleh hampir semua
orang, dari rakyat jelata sampai presiden.
Kecuali penyandang cacat pendengaran (maaf), semua pernah
mendengarkan radio, walau hanya sekilas. Tetapi seberapa banyak orang
menghargai atau bangga terhadap singkong dan radio? Orang lebih bangga makan
keju (nonton TV) dibandingkan singkong (dengar radio), padahal singkong dan
radio punya sejarah panjang di negeri ini. Itu sekedar bermisal-misal dan
analogi pribadi dari pengalaman mengelola radio dan usaha warung makan
serbasingkong.
Seperti petani singkong, mengelola radio pun cukup
melelahkan dan hasilnya sering tidak sebanding. Banyak pengelola radio harus
merengek, berebut kue iklan yang mayoritas dikuasai media bergambar. Tentu
ada perusahaan radio yang sukses, tetapi tetap tidak banyak jumlahnya. Tidak
perlu jauh melihat ke daerah, cermati saja usaha radio di Ibu Kota, ada
pemilik radio yang gemah ripah, tetapi lebih banyak yang susah.
Begitu pun petani singkong. Ada yang kaya, tetapi lebih
banyak hanya mengenakan kolor dengan kulit hitam legam terbakar matahari.
Jika ingin tahu kenyataan kondisi usaha radio siaran lebih banyak yang
semaput, bisa lihat di daerah. Hari ini siaran meriah, boleh jadi karena
empunya radio baru dapat bayaran iklan, tetapi lusa yang terdengar hanya
desis mirip ular derik alias tidak siaran. Sepi! Setelah diam tidak jelas
alasannya, tibatiba radio berkumandang lagi.
Tidak ada pendengar protes, seakan sama-sama paham. Lalu
bagaimana radio bisa terus hidup dan ada? Semua itu semata-mata karena
kecintaan pemilik dan karyawan kepada radio. Radio siaran, sejatinya,
merupakan media paling murah dan cukup efektif. Seharusnya radio mendapat
perhatian banyak pihak, terutama pejabat pemerintah.
Hanya media radio yang mampu menjangkau dengan cepat
wilayah di mana media lain tidak bisa segera hadir. Melihat sifatnya, maka
memanfaatkan radio sebagai media penyampai informasi, terkait sosialisasi dan
kampanye atas kebijakan atau program pemerintah yang mendesak akan cukup
efektif. Hal itu pula yang mendorong Badan PBB untuk Pendidikan, Organisasi,
dan Kebudayaan (UNESCO) mencanangkan tanggal 13 Februari sebagai Hari Radio
Se-dunia .
UNESCO menilai radio adalah salah satu instrumen penting
dalam perubahan sosial dunia. Peringatan hari radio dimaksudkan UNESCO
sebagai upaya menyadarkan para pembuat kebijakan tentang pentingnya aliran
informasi radio. Sayangnya, di Indonesia pemahaman masyarakat dan pejabat terhadap
radio sebagai media efektif sangat kurang, bahkan semakin merosot.
Sebagian besar birokrat enggan berakrab- akrab dengan
radio, tetapi lebih memilih tampil di media lain. Kondisi tersebut diperparah
dengan jajaran pemerintahan yang bertugas melakukan sosialisasi ke
masyarakat, tentang kebijakan departemen atau lembaganya, dengan
menomorsekiankan media radio dalam kegiatannya.
Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan, antara lain
tidak paham karakter radio, menganggap radio sebagai media murahan dan tidak
sedikit terkait urusan “proyek”. Pengalaman mengundang menteri untuk hadir
dalam acara talkshow radio membuktikan, pada dasarnya banyak pejabat suka
berbicara di media yang satu ini. Tetapi mereka terkesan tidak mendapat
masukan dari stafnya, terutama bagian komunikasi, mengenai perlunya
memanfaatkan media radio.
Buktinya, ketika pejabat pamit pulang selalu mengatakan,
puas bisa bicara di radio karena waktu yang relatif panjang sehingga leluasa
menjelaskan programnya. Juga mengaku terhibur bisa berinteraksi langsung
dengan pendengar baik melalui short message service (SMS) maupun telepon.
Mereka mengungkapkan keinginannya bisa kembali diberi ruang di radio untuk
bicara.
Kurang Percaya Diri
Radio sebagai media memiliki perjalanan panjang. Radio
yang mengabarkan peristiwa dan memopulerkan penyanyi melintas benua. Lewat
radio pejuang Indonesia mengetahui Jepang kalah perang dan menyerah menyusul
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Dulu, masyarakat nun jauh “menonton”
pertandingan bulu tangkis atau sepak bola melalui siaran radio.
Saat kerusuhan Mei 1998, berujung pada jatuhnya Suharto
sebagai presiden Indonesia, peran radio begitu besar menyampaikan informasi
pergerakan kerusuhan di berbagai kota dan masyarakat menyimak antusias.
Begitu besar peran radio, tetapi seberapa banyak masyarakat mengingat dan
menyadari pentingnya radio? Bagaimana radio yang semula begitu populer
kemudian terkesan menjadi media kurang penting? Berkurangnya pamor radio di
Indonesia, harus diakui, salah satunya karena awak radio itu sendiri tidak
percaya diri dan lemah kreativitas.
Orang radio sering merasa minder dengan media televisi dan
cetak, bahkan dengan media online. Fatalnya, banyak awak radio tidak paham
tentang karakter radio, sehingga tidak mampu membuat program siaran yang baik
serta gagal “menjual” produknya. Akibat semua itu, gagal pula meraih
pendengar dan iklan, sehingga berdampak kepada kehidupan radio itu sendiri.
Gempuran terhadap kehidupan radio, memang, tidak bisa dihindari seiring
dengan kemajuan zaman.
Tetapi orang radio harus bangga dan percaya diri, faktanya
radio tidak mati karena kehadiran internet seperti terjadi pada sebagian
media cetak. Kehadiran internet justru membantu perkembangan radio dalam
memperluas siarannya, terutama pada radio berjaringan. Minatkepada
siaranradiojuga bisa diamati dengan munculnya ribuan radio komunitas melalui
frekuensi analog maupun digital (streaming).
Perlu diketahui, sistem produksi audio radio streaming
juga sama dengan radio konvensional, setidaknya ada mikrofondan mixer audio,
hanya beda media siarnya. Mungkin ada pengelola radio yang kecut ketika
mengetahui jajak pendapat Kompas bahwa posisi radio sebagai tempat mencari
informasi nilainya hanya 1,8% di bawah media sosial (2,9%) dan jauh dari
televisi (41,9%), surat kabar (26,6%) dan situs berita (25,9%).
Tetapi coba simak survei American Press Institute pada Maret 2014 di Amerika. Dilaporkan,
masyarakat mengikuti berita melalui televisi sebanyak 87%, laptop/ komputer
69%, radio 65% dan koran cetak atau majalah 61%. Tentu tempat dan karakter masyarakat
dari kedua tempat survei tersebut berbeda, sehingga hasilnya pun tidak sama.
Tetapi perlu diingat, masyarakat di Amerika yang sudah sangat melek internet,
pada kenyataannya tetap mendengarkan radio.
Penelitian Kompas berdasarkan temuan di 12 kota, sementara
di perdesaan masyarakat masih banyak yang setia dengan radio sebagai teman
bekerja menoreh karet, di pasar dan lainnya. Percaya diri dan kreativitas
sangat diperlukan dalam mengelola radio. Bukti bahwa radio bisa berada pada
posisi sejajar dengan media lain adalah talkshow “Polemik” Radio Trijaya FM,
setiap Sabtu pagi di Warung Daung, Cikini, Jakarta Pusat.
Acara radio yang selalu diliput media cetak, televisi, dan
online sebagai rujukan dan sumber berita mereka. Pada masanya, acara ini mendapat
kepercayaan dari kalangan politisi, akademisi, tokoh masyarakat, LSM,
birokrat, pengamat dan lain. Mereka mengaku senang diundang sebagai
narasumber talkshow ini.
Tidak sedikit mereka yang semula belum terkenal menjadi
kesohor setelah tampil di Polemik, kemudian rutin menjadi pembicara di
televisi. Hal itu membuktikan radio bukan media pinggiran selama digarap
dengan serius. Mengelola radio sama dengan mengolah bahan singkong menjadi
berbagai bentuk makanan seperti getuk, tiwul, keripik, dan sebagainya.
Enak di lidah atau enak di kuping pendengar radio
tergantung kreativitas, kecintaan, dan keseriusan mengelola radio itu
sendiri. Perlu diingat, acara talkshow Polemik selalu menyajikan makanan
singkong olahan kepada narasumber, meskipun dia seorang menteri dan wartawan
yang meliput acara ini sendiri.
Koki Warung Daun mengolah dan mengemas sajian singkong
dengan apik, resik, menarik, dan enak. Jadi, jika radio dikelola secara asal,
tidak beda dengan singkong yang hanya dikupas kemudian dijemur menjadi
gaplek. Rasanya pahit dan apek. Selamat
Hari Radio Sedunia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar