Kamis, 03 Desember 2015

Uji Materi PPN Buku

Uji Materi PPN Buku

Agus M Irkham  ;  Pegiat Literasi
                                                      KOMPAS, 03 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai 10 persen untuk beberapa jasa hiburan. Di antaranya, bioskop, diskotek, tempat karaoke, pergelaran kesenian, kontes kecantikan, dan pergelaran busana.

Pembebasan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 yang dikeluarkan pada pertengahan Agustus 2015 lalu.

Regulasi itu menuai banyak protes dari masyarakat perbukuan. Mulai dari pembaca, penulis, pegiat budaya baca, maupun penerbit buku.Jika alasan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah dalam rangka menghindaripengambilan pajak dua kali, mengapa tidak berlaku pula atas buku?

Karena selain harus menanggung PPN 10 persen, penerbit juga masih harus mengeluarkan pajak usaha senilai 1 persen dari total omzet.

Konsumen tanggung PPN

Alasan penghapusan PPN karena menghilangkan dua kalipengenaan pun tidak tepat, karena hakikatnya yang menanggung PPN adalah konsumen (end user). Produsen hanya ”ditugasi” pemerintah untuk memungut. Artinya alasan penghapusan PPN tersebut tidak relevan. Belum lagi dilihat dari bobot kepentingan dan kemendesakan (sense of urgency)pemenuhan kebutuhan.

Konsumen tontonan, diskotek, dan pergelaran busana sangat berbeda dengan karakteristik konsumen buku. Yang pertama disebut tidak memerlukan edukasi sementara yang terakhir membutuhkan strategi social marketing yang rumit.

Buat kebanyakan orang, untuk sampai pada aktivitas membeli buku, memerlukan serentetan sebab yang panjang. Mulai dari kemampuan membaca, minat membaca, daya beli, keragaman ketersediaan bahan bacaan, sampai keterjangkauan buku.

Dengan demikian, penghapusan PPN buku lebih punya landasan sosiologis dan ekonomis. Terlebih (membaca) buku menjadi salah satu pilar kemajuan peradaban suatu bangsa.

Protes para pekerja buku, terutama penulis,berupa penghapusan pula atas PPN buku nonpelajaran dan royalti buku (PPh penulis) melalui penandatanganan petisi di laman www.change.org. Tak kurang dari 2.900 orang telah ”menandatangani” petisi ini.

Namun, di luar dugaan saya, petisi berakhir dengan ketidakjelasan. Suara-suara lantang yang menuntut penghapusan PPN buku lambat laun melemah dan kini hilang, baik di timeline social media maupun di ruang-ruang diskusi komunitas buku. Heran juga, para pekerja buku dan pegiatbudaya baca yang dilekati sebagai bagian dari masyarakat yang berpikir mendalam dan tuntas, menjadi latah dan semangatnya hangat-hangat tahi ayam.

Apakah ini menjadi semacam afirmasi saja atas sangkaan bahwa para pekerja buku di Indonesia tidak bisa bersatu karena masing-masing memiliki kepentingan?Ataukah sekadar soal bagaimana memilih saluran yang efektif untuk mengajukan pendapat dan keberatan?

Dari dua kemungkinan penyebab di atas, entah mana yang lebih dominan. Yang pasti, penandatanganan petisi ternyata tidak efektif. PPN buku tetap berlaku. Oleh karena itu, harus dicari terobosan lain yang lebih efektif, dan hasil akhirnya terukur, baik dari sisi waktu maupun segi output dan impact.

Uji materi

Salah satu terobosan tersebut misalnya melalui pengajuan uji materi ke MahkamahKonstitusi (MK) terhadap pasal undang-undang yang menyatakan buku menjadi obyek yang dikenai PPN.Secara empiris, buku memang termasuk obyek PPN, karena dalam proses produksinya ada penambahan nilai.

Namun, untuk tujuan yang lebih besar—meningkatkan kualitas dan karakter bangsa (revolusi mental)—mengapa PPN buku umum tidak dihapus saja, sebagaimana yang berlaku pada buku pelajaran dan kitab suci.Karena jika merujuk pada keuntungan ekonomi atau besaran PPN, dua kategori(industri buku perbukuan dan kitab suci) tersebut justru memiliki irisan besar dalam kue industri perbukuan.

Selain itu secara empiris, industri perbukuan kita memerlukan campur tangan negara, terutama melalui regulasi fiskal. Baik terhadap penulis, maupun rantai bisnis yang terlibat di industri perbukuan. Logika sederhananya—yang dalam beberapa kesempatan sering saya utarakan—jika orang pergi ke diskotek, tempat karaoke, menonton film, yang merupakan aktivitas just leisure time dan mendapat keringanan pembebasan PPN, maka konsumen buku, mestinya lebih berhak bebas PPN.

Kegiatan membeli (dan membaca) buku tidak saja menggerakkan sektor riil, tetapi juga bagian dari upaya membangun karakter bangsa. Jika PPN buku nonpelajaran dihapus, penerbit bisa mengurangi harga buku sebesar nilai PPN. Konsumen mendapat harga 10 persen lebih murah dibandingkan saat dikenai PPN.Harapannya volume penjualan buku akan meningkat. Industri perbukuan di Tanah Air menjadi bergairah.

Bagaimana jika ikhtiar uji materi hasilnya ditolakMK?

Pertama, tidak perlu berandai-andai, dicoba dulu.Kedua, selalu ada hikmat (manfaat) yang bakal didapat dari suatu usaha. Posisikan pula uji materisebagai upaya untuk merebut perhatian publik dan pemerintah atas kondisi industri perbukuan kita. Karena secara faktual, meskipun pemain di industri mulia (noble industry)ini banyak, pemain sebenarnya hanya beberapa. Pasar yang terbentuk lebih bersifat oligopolis ketimbang pasar persaingan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar