Kamis, 03 Desember 2015

Membenahi Data Pangan

Membenahi Data Pangan

Toto Subandriyo  ;  Pengamat Sosial Ekonomi Pertanian
Lulusan IPB Universitas Jenderal Soedirman
                                                      KOMPAS, 02 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Akurasi data pangan kembali mendapat sorotan publik. Ada indikasi data pangan direkayasa untuk kepentingan justifikasi keberhasilan program.
Keluhan terkait kredibilitas data pangan sudah muncul sejak lama, tetapi tak pernah ada upaya serius membenahinya. Akibatnya fatal. Gejolak harga pangan yang terjadi sepanjang 2015 adalah juga akibat tidak akuratnya data yang masuk karena kesalahan dalam mengumpulkan dan mengolah data di lapangan (Kompas, 27/11).

Mau tak mau, suka tidak suka, pemerintah harus secepatnya melakukan pembenahan data pangan nasional. Semua pemangku kepentingan duduk bersama satu meja untuk mencari solusi, bukan malah saling menyalahkan seperti yang terlihat secara kasatmata dalam pemberitaan media beberapa hari terakhir.

Konvensional

Memang hingga kini pola pengumpulan data produksi yang merupakan hasil kali antara luas panen dan produktivitas per satuan luas masih konvensional. Dalam praktik di lapangan, data menyangkut luas tanam, luas panen, dan luas gagal panen (puso) dikumpulkan oleh petugas dinas pertanian. Sementara data menyangkut produktivitas dikumpulkan petugas kantor statistik.

Pengumpulan data luas panen masih dengan perkiraan pandangan mata (eye estimate). Begitu pula pengumpulan data produktivitas dilakukan dengan cara ubinan petak sampel 2,5 meter x 2,5 meter dengan keterbatasan sarana dan peralatan. Ketersediaan alat ukur kadar air gabah bisa dihitung dengan jari. Ketiadaan alat ukur ini membuat angka kadar air sering ditentukan melalui perkiraan saja. Akibatnya, tonase hasil ubinan setelah dikonversi ke dalam kuintal/hektar bisa di atas atau di bawah estimasi kondisi sebenarnya.

Bias data hasil pengukuran ini secara berantai berimbas pada data produksi nasional. Oleh karena itu, pemerintah harus segera memperbaiki cara pengumpulan data. Pada era digital seperti sekarang, petugas pertanian dan statistik harus sudah dibekali peralatan-peralatan modern dan diajari cara penggunaannya.

Peralatan seperti alat ukur kadar air gabah, global positioning system (GPS), serta peralatan penting lain harus tersedia dalam jumlah cukup dan dapat beroperasi dengan baik. Penggunaan pesawat tanpa awak (drone) dan penginderaan jauh melalui satelit akan sangat membantu memperoleh data pangan yang lebih akurat.

Di masa lalu, pengukuran luas tanam, luas panen, ataupun pengukuran produktivitas sering ditumpangi berbagai kepentingan dan kental nuansa asal bapak senang (ABS). Dalam penentuan luas baku sawah di suatu hamparan antara dinas pertanian dan dinas pekerjaan umum/pengairan, misalnya, terjadi perbedaan. Dinas pertanian akan mencatat luas lahan sawah yang bisa ditanami secara riil, sedangkan dinas pekerjaan umum/pengairan lebih melihat dari status lahan. Semua orang tahu, makin luas lahan irigasi teknis, makin besar pula biaya eksploitasi dan pemeliharaannya (E & P).

Ada kejadian lucu yang pernah penulis alami saat jadi anggota tim teknis program Iuran Pelayanan Irigasi (Ipair) pada pertengahan 1990-an. Di atas surat tagihan Ipair masih tertulis status lahan sawah irigasi teknis. Namun, ketika didatangi, ternyata di atas lahan tersebut sudah berdiri bangunan sekolah.

Kasus seperti ini sangat mungkin terjadi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Banyak pemerintah kabupaten/kota/provinsi yang menindaklanjutinya dengan membuat Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara fisik banyak sawah sudah berubah peruntukan jadi rumah, sekolah, jalan, serta fasilitas umum/sosial lain. Namun, karena belum ada izin perubahan penggunaan tanah, status lahan tersebut masih tertulis sawah irigasi teknis dan tetap mendapatkan biaya E & P.

Kita berharap pembenahan data pangan dilakukan secara menyeluruh, termasuk data konsumsi beras. Perbedaan data konsumsi beras per kapita yang mencolok antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) akan menyulitkan dalam menghitung neraca beras. Data konsumsi beras per kapita per tahun versi Kementan 139,15 kilogram, sedangkan versi BPS 113,48 kilogram. Jadi, sangat bisa dimaklumi kalau pemerintah mengalami kesulitan ketika akan mengeksekusi kebijakan importasi pangan.

Kita tak ingin praktik-praktik tidak terpuji model ABS di masa lalu diulangi lagi di era keterbukaan sekarang. Hanya untuk justifikasi keberhasilan sebuah program kemudian petugas berbuat curang. Cukup menambahkan beberapa genggam gabah yang diambil dari luar petak sampel 2,5 meter x 2,5 meter ke dalam timbangan gabah hasil ubinan, angka produktivitas dapat disulap sesuai keinginan.

Rencana peluncuran satelit pertanian Lisat yang merupakan kerja sama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan Institut Pertanian Bogor (Kompas, 6/2) jadi kabar baik bagi kita semua. Data statistik pangan yang akurat sangat membantu pemerintah dalam menentukan berbagai kebijakan strategis di bidang ketahanan dan kedaulatan pangan. Sebutlah kebijakan apa saja yang harus segera ditempuh untuk pengamanan produksi dan cadangan pangan, perlu atau tidak dilakukan impor, kapan waktu paling tepat impor dilakukan, berapa jumlahnya, dan sebagainya.

Pertanyaan publik seperti itu wajar mengemuka karena pada 2 November lalu BPS baru saja merilis angka ramalan (aram) II produksi padi nasional. Data aram II ini merupakan realisasi produksi Januari-Agustus dan angka ramalan produksi September-Desember berdasarkan luas tanaman akhir Agustus 2015.

Menurut aram II BPS, produksi padi nasional tahun ini akan mencapai 74,99 juta ton gabah kering giling. Terjadi peningkatan produksi 5,85 persen dibandingkan dengan 2014. Setelah dikurangi angka kehilangan hasil dan untuk kebutuhan lain (benih dan kebutuhan nonpangan lain), angka produksi tersebut setara dengan 43,5 juta ton beras.

Untuk mengetahui neraca beras nasional, harus dihitung besar kebutuhan beras nasional yang merupakan perkalian antara angka konsumsi beras per kapita per tahun dan total jumlah penduduk. Untuk menghitung neraca beras, kita menggunakan data konsumsi beras versi Kementan, yakni 139,15 kilogram per kapita per tahun dan asumsi jumlah penduduk Indonesia saat ini 253 juta orang.

Berdasarkan data tersebut, jumlah kebutuhan beras nasional mencapai 35,2 juta ton per tahun. Jadi, di atas kertas, tahun ini produksi beras surplus 8,2 juta ton. Data konsumsi beras versi Kementan dipilih karena angkanya paling besar dibandingkan versi BPS (113,48 kilogram per kapita per tahun) ataupun versi Survei Sosial Ekonomi Nasional 2012 (98 kilogram per kapita per tahun). Sebab, jika digunakan dua versi data tersebut, surplus beras akan makin besar.

Dari orang awam kemudian muncul beberapa pertanyaan. Jika data produksi tersebut benar-benar valid, surplus produksi beras benar-benar nyata, mengapa harga beras di pasaran tetap stabil tinggi hingga sekarang? Mengapa pemerintah tetap mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijelaskan hanya dengan hitung-hitungan neraca beras di atas kertas, tetapi harus dijelaskan dengan kondisi sosiokultural kita yang unik serta manajemen perberasan.

Konsumen murni

Para penentu kebijakan akan mengalami sesat pikir jika hanya menggunakan data perhitungan neraca beras di atas kertas untuk mengambil keputusan strategis. Hal itu disebabkan secara sosiokultural sistem produksi beras di negeri ini memang unik, berbasis pada jutaan petani kecil dengan luas lahan yang sangat kecil. Data Sensus Pertanian 2013 menyebutkan bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem yang menggarap sawah kurang dari 0,5 hektar.

Pada musim paceklik seperti sekarang, beras tidak lagi ada di rumah tangga petani gurem. Cadangan beras yang dimiliki telah habis dikonsumsi keluarga. Pada saat seperti ini, mereka menjadi konsumen murni beras. Untuk mencukupi keluarga, mereka harus membeli beras layaknya konsumen lain. Harga beras yang tinggi saat ini hanya jadi gula-gula bagi mereka.

Kontroversi impor beras juga tidak dapat dilepaskan dari kegagalan Bulog memenuhi target pengadaan 3,2 juta ton beras. Situs Perum Bulog melaporkan, hingga 4 November 2015, realisasi pengadaan beras berdasarkan harga pembelian pemerintah baru 1,887 juta ton.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar disalurkan sebagai beras untuk rakyat miskin (raskin, sekarang beras sejahtera/rastra) kepada 15,53 juta rumah tangga. Pagu penyaluran rastra setahun mencapai 2,795 juta ton atau sekitar 232.000 ton per bulan. Hingga 4 November 2015 telah tersalurkan 2,55 juta ton rastra. Saat ini, stok beras Bulog keseluruhan tinggal 1,39 juta ton, 700.000 ton adalah beras pengadaan komersial.

Jika impor tidak dilakukan, stok beras pemerintah pada akhir tahun dipastikan tak aman. Berdasarkan kajian Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), metodologi stok beras yang cocok untuk Indonesia adalah stock to utilization ratio. Metode ini menyarankan agar cadangan beras pemerintah minimal 5 persen dari total konsumsi penduduk. Untuk kondisi saat ini, jumlah cadangan beras pemerintah minimal mencapai 1,5 juta ton.

Inilah beberapa justifikasi mengapa pemerintah tetap bersikeras melakukan impor beras. Pemerintah tidak ingin kecolongan karena bagi bangsa ini komoditas beras tidak hanya strategis, tetapi juga sensitif. Profesor Toru Yano dari Tokyo University pernah mengingatkan bahwa ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini justru datang dari dalam negeri. Cukup disulut dengan isu kelangkaan dan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, kerusuhan sosial mudah sekali terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar