Rabu, 09 Desember 2015

Punished by Rewards(?)

Punished by Rewards(?)

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 30 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENDIDIKAN dan pengajaran merupakan masalah sepanjang hayat yang dihadapi setiap manusia, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam lembaga pendidikan. Ada banyak teori psikologi kependidikan yang menjelaskan makna hukuman yang diperbolehkan ketika anak-anak melakukan kesalahan. Ada yang memercayai bahwa memberikan anak hukuman fisik akan membawa dampak psikis yang tidak ringan bagi seorang anak ketika tumbuh dewasa. Karena itu, sebaliknya ada juga yang meyakini hukuman tidak boleh diberikan sama sekali dan cenderung membiarkan anak belajar dengan sendirinya tentang sebuah kesalahan.

Alfie Kohn dalam Punished by Rewards (1993) ialah penentang proses belajar yang mengedepankan pentingnya imbalan (rewards). Baginya, imbalan akan tidak memiliki efek kedisiplinan yang terus-menerus, bahkan akan memperlonggar ketergantungan seseorang terhadap setiap kesalahan. Meskipun pendapat ini banyak yang menentang, setidaknya pola pikir Kohn itu menunjukkan jenis hukuman ataupun imbalan dalam sebuah proses pendidikan karena kedua tindakan tadi memiliki pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan kejiwaan seorang anak.

Kohn menyatakan bahwa imbalan hanya dapat membuat kepatuhan sementara, bukan perubahan mendasar dalam kinerja. Pasalnya, ketika imbalan habis, orang cenderung kembali ke perilaku lama mereka. Ini sama halnya dengan kasus atau masalah lainnya, seperti kebiasaan merokok, menurunkan berat badan, dan menggunakan sabuk pengaman, ketika diberikan insentif sama sekali tidak mengubah sikap yang mendasari perilaku mereka serta tidak membuat komitmen abadi untuk setiap nilai atau tindakan. Artinya, insentif hanya akan mengubah apa yang kita lakukan, tapi bersifat sementara. “(Kohn, 1993, p 110)

Perspektif Islam

Bagi proses pendidikan, dua pendapat tadi dalam praktiknya masih terus terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya isu tentang hukuman yang mungkin diberikan kepada setiap anak sambil tak melupakan bahwa proses belajar anak masih akan terus berlangsung. Sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, Islam tentu saja memiliki pandangan yang menarik tentang isu ini. Misalnya, dalam sebuah hadis sebagaimana diceritakan Muawiyah bin Salih, ada lelaki datang menemui Rasulullah Muhammad SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ahli keluargaku tidak taat kepadaku. Apakah yang patut aku gunakan untuk menghukum mereka?” Lalu Rasulullah berkata, “Maafkanlah saja”. Kemudian Rasulullah SAW menyebut hal yang sama kali kedua bahkan juga kali ketiga. Seterusnya Rasulullah mengatakan, “Jika kamu perlu menghukum, hukumlah mengikuti kadar kesalahan yang dilakukannya dan jauhilah dari memukul pada bagian muka” (Hadis riwayat at-Tabrani).

Hadis ini jelas menginginkan bahwa proses pendidikan harus berlangsung tanpa kekerasan, baik fisik maupun lisan. Jika penggunaan imbalan memiliki dampak yang juga kurang baik dalam jangka panjang, apalagi penggunaan kekerasan. Itu pasti akan memiliki dampak yang jauh lebih besar pada pertumbuhan jiwa seorang anak. Menghindari kekerasan dengan melakukan permaafan jelas merupakan solusi generative dari fitrah kemanusiaan kita yang harus menghargai tumbuh kembang fisik dan kejiwaan setiap anak.

Berisiko tinggi

Sejalan dengan hadis di atas, Daily Mail edisi Oktober 2013 pernah menurunkan berita menarik tentang dampak buruk memukul anak. Para peneliti menemukan bukti bahwa anak-anak yang dipukul orangtua mereka pada usia 5 tahun cenderung menjadi lebih agresif dan tidak mematuhi aturan ketika mereka memasuki usia sekolah. Penelitian yang dilakukan Micheal Mackenzi dari Columbia University juga menemukan bukti bahwa anak yang dipukul orangtuanya di usia 5 tahun akan lebih nakal dan agresif daripada ketika dipukul pada usia 3 tahun.

Jelas sekali penggunaan kekerasan dalam proses pendidikan, di keluarga maupun di sekolah, berisiko tinggi terhadap agresivitas anak di kemudian hari. Jika kembali kepada hadis di atas, jelas Nabi meminta umatnya untuk mengedepankan praktik sabar dalam mendidik dan harus sesering mungkin mengenalkan kata maaf kepada anak-anak kita. Kalaupun harus mengingatkan mereka dengan cara memukulnya, lakukan itu secara perlahan dan sambil bercanda, tidak memukul wajah atau muka anak, serta tidak memperlakukan anak-anak di depan orang lain atau teman-teman sekolahnya.

Mungkin ada baiknya kita harus senantiasa waspada bahwa problem kekerasan terhadap anak, baik di rumah tangga maupun sekolah, seolah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Modus kekerasan terhadap anak sangat beragam, mulai problem psikologis orangtua hingga kerusakan struktural masyarakat karena hilangnya rasa saling memiliki. Pendek kata, bisa jadi kekerasan terhadap anak saat ini sudah menjadi epidemi keempat setelah kemiskinan, kekurangan gizi, serta rendahnya kesempatan belajar anak. Seperti kita ketahui, saat ini lebih dari 200 juta anak di bawah usia 5 tahun di negara berkembang berisiko tidak mencapai potensi penuh pembangunan mereka karena menderita konsekuensi negatif dari kemiskinan, kekurangan gizi, dan kesempatan belajar yang tidak memadai (Lancet 2007). Apakah kita akan menambahkannya dengan praktik kekerasan?

Selain itu, 165 juta anak-anak (satu dari empat) yang terhambat, dengan 90% dari anak-anak, ialah mereka yang tinggal di Afrika dan Asia (UNICEF et al, 2012). Jika data kematian anak diakumulasi secara acak, dalam 6 juta kematian anak per tahun, itu ialah anak-anak yang belum mencapai usia 5 tahun. Tragedi kemanusiaan ini harus segera dihentikan. Jika kekerasan seperti ini ikut menyumbang angka kematian anak seperti beberapa kasus terakhir yang terjadi di Indonesia, sudah saatnya negara, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membuat strategi pembelajaran berbentuk mass-education dalam rangka menekan dan mengurangi angka kematian anak, terutama kematian yang disebabkan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar