Demokrasi di Bawah Tirani Uang
Yudi Latif ; Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila
Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
08 Desember 2015
Demokrasi Garuda
Pancasila, yang bisa membawa bangsa terbang tinggi menuju langit harapan,
mestinya bergerak dengan sepasang sayap: sayap kebebasan dan sayap keadilan.
Namun, kenyataan menunjukkan, surplus kebebasan yang menyertai Orde Reformasi
tidak serta-merta membawa tatanan kehidupan yang lebih adil. Demokrasi
dirayakan dengan pesta pora makelar kasus dan megaskandal korupsi, sebagai
hanyutan dari pendalaman dan perluasan penetrasi uang dalam kekuasaan. Di
bawah kendali pedagang dan makelar pemburu rente, demokrasi mengabaikan demos
(rakyat); menjadi perisai kekebalan hukum bagi penguasa-pengusaha korup kelas
atas, tetapi kejam merajam kelas bawah.
Terbukti pula
kebebasan saja tidak bisa mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman
kekuasaan). Dalam demokrasi sehat, relasi kuasa mestinya bersifat timbal
balik, saling memengaruhi. Mengikuti pandangan Michel Foucault, ”kuasa”
adalah sesuatu yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup masyarakat sejauh
relasi kuasa itu merupakan ”permainan strategis di antara pihak-pihak yang
merdeka” (strategic games between
liberties). Relasi kuasa menjadi destruktif ketika pola relasinya
bersifat dominatif. Dominasi adalah relasi kuasa bersifat asimetris, saat
pihak yang tersubordinasikan memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena
ruang kebebasan mereka untuk bertindak sangat terbatas.
Dalam permainan
strategis di antara pihak-pihak yang merdeka, sumber kuasa bisa berasal dari
modal budaya (pengetahuan, kekuatan simbolik), modal politik (partai,
jaringan sosial), dan modal uang. Ketiga jenis modal itu memiliki pengaruh
sendiri dalam relasi kuasa sebagai prasyarat keadilan dalam alokasi sumber
daya strategis dalam masyarakat.
Orde Reformasi yang
melambungkan demokrasi dengan biaya tinggi mengubah relasi-relasi kuasa
secara mendasar. Pergeseran ke arah politik padat modal menjadikan demokrasi
sebagai kuda tunggangan pemilik modal uang. Sejauh para konglomerat pemilik
uang itu memperoleh akumulasi kapitalnya dengan cara-cara tidak sehat, maka
lewat prosedur demokrasi pengusaha hitam itu mendikte urusan publik, menutupi
persekongkolan jahatnya dengan makelar kasus dan mafia hukum, dan menjadikan
urusan publik (republic) menjadi urusan privat.
Dengan demikian, meski
perangkat keras institusi dan prosedur politik kita seolah-olah demokratis,
perangkat lunaknya berwatak tirani, bahkan lebih berbahaya daripada tirani
militeristik. Dalam tirani militeristik, militer hanya mengendalikan modal
politik, tidak menguasai modal budaya dan modal uang. Namun, tirani modal
uang, para pengusaha hitam tidak saja memonopoli sektor-sektor perekonomian,
tetapi juga bisa mengintervensi politik dan mengontrol kuasa budaya lewat
media massa dan kekuatan-kekuatan simbolik di ruang publik.
Lebih dari itu, banjir
uang yang mengalir ke politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala
nilai dikonversikan dalam nilai uang. Hubungan politik digantikan hubungan
konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan
konsumerisasi, branding recognition
lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan
privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan ”aku di atas kita”
yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.
Gejala moneterisasi
yang kita saksikan tak terbatas pada masyarakat politik, tetapi merembes ke
kehidupan masyarakat sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai
keberadaban dan kesukarelaan jebol ketika uang menjadi penentu, bahkan dalam
pemilihan pemimpin ormas keagamaan.
Ketika uang menjadi
bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dalam
keserakahan orang kaya baru, keampuhan demokrasi elektoral lekas ambruk.
Suara bisa dibeli. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas KPU dihancurkan.
Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran efektif,
kepentingan investor mendikte kebijakan politik.
Di bawah kendali
pengusaha hitam dan penguasa kejar setoran, demokrasi cuma mengenal bahasa
”politik dan ekonomi pragmatik”. Bahasa ”politik pragmatik” selalu bertanya
”siapa yang menang?” Bahasa ekonomi pragmatik selalu bertanya ”di mana
untungnya?” Demokrasi melupakan satu bahasa lagi yang sangat penting, yakni
bahasa hikmah-kebijaksanaan yang mempertanyakan ”apa yang benar?”
Bahasa inilah yang
dipersyaratkan sila ke-empat Pancasila. Bahwa, kerakyatan (demokrasi) harus
dipimpin; tak boleh berkem- bang jadi ajang avonturisme kepentingan
perseorangan dan golongan. Dipimpin oleh hikmah (kearifan yang mencerahkan
dan membebaskan) dan kebijaksanaan (kelapangan keadilan dan
pertanggungjawaban). Yang direngkuh lewat fusi antarhorizon, dalam wahana
permusyawaratan perwakilan.
Dengan hilangnya
bahasa hikmah-kebijaksanaan, gerak demokrasi menjauh dari cita-cita keadilan
sosial. Saatnya mempertimbangkan penghayatan nilai-nilai Pancasila, yang
memperhadapkan tirani bukan hanya dengan kebebasan, melainkan juga dengan
keadilan. Dalam perspektif ini, masalah Indonesia saat ini bukanlah defisit
kebebasan, melainkan defisit keadilan.
Akhirnya, seperti
diingatkan Socrates, ”Kebajikan
tidaklah datang dari uang, tetapi dari kebajikanlah uang dan hal baik lainnya
datang kepada manusia, baik kepada individu maupun negara.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar