Kamis, 10 Desember 2015

Demokrasi di Bawah Tirani Uang

Demokrasi di Bawah Tirani Uang

Yudi Latif  ;  Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila
                                                      KOMPAS, 08 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Demokrasi Garuda Pancasila, yang bisa membawa bangsa terbang tinggi menuju langit harapan, mestinya bergerak dengan sepasang sayap: sayap kebebasan dan sayap keadilan. Namun, kenyataan menunjukkan, surplus kebebasan yang menyertai Orde Reformasi tidak serta-merta membawa tatanan kehidupan yang lebih adil. Demokrasi dirayakan dengan pesta pora makelar kasus dan megaskandal korupsi, sebagai hanyutan dari pendalaman dan perluasan penetrasi uang dalam kekuasaan. Di bawah kendali pedagang dan makelar pemburu rente, demokrasi mengabaikan demos (rakyat); menjadi perisai kekebalan hukum bagi penguasa-pengusaha korup kelas atas, tetapi kejam merajam kelas bawah.

Terbukti pula kebebasan saja tidak bisa mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman kekuasaan). Dalam demokrasi sehat, relasi kuasa mestinya bersifat timbal balik, saling memengaruhi. Mengikuti pandangan Michel Foucault, ”kuasa” adalah sesuatu yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup masyarakat sejauh relasi kuasa itu merupakan ”permainan strategis di antara pihak-pihak yang merdeka” (strategic games between liberties). Relasi kuasa menjadi destruktif ketika pola relasinya bersifat dominatif. Dominasi adalah relasi kuasa bersifat asimetris, saat pihak yang tersubordinasikan memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena ruang kebebasan mereka untuk bertindak sangat terbatas.

Dalam permainan strategis di antara pihak-pihak yang merdeka, sumber kuasa bisa berasal dari modal budaya (pengetahuan, kekuatan simbolik), modal politik (partai, jaringan sosial), dan modal uang. Ketiga jenis modal itu memiliki pengaruh sendiri dalam relasi kuasa sebagai prasyarat keadilan dalam alokasi sumber daya strategis dalam masyarakat.

Orde Reformasi yang melambungkan demokrasi dengan biaya tinggi mengubah relasi-relasi kuasa secara mendasar. Pergeseran ke arah politik padat modal menjadikan demokrasi sebagai kuda tunggangan pemilik modal uang. Sejauh para konglomerat pemilik uang itu memperoleh akumulasi kapitalnya dengan cara-cara tidak sehat, maka lewat prosedur demokrasi pengusaha hitam itu mendikte urusan publik, menutupi persekongkolan jahatnya dengan makelar kasus dan mafia hukum, dan menjadikan urusan publik (republic) menjadi urusan privat.

Dengan demikian, meski perangkat keras institusi dan prosedur politik kita seolah-olah demokratis, perangkat lunaknya berwatak tirani, bahkan lebih berbahaya daripada tirani militeristik. Dalam tirani militeristik, militer hanya mengendalikan modal politik, tidak menguasai modal budaya dan modal uang. Namun, tirani modal uang, para pengusaha hitam tidak saja memonopoli sektor-sektor perekonomian, tetapi juga bisa mengintervensi politik dan mengontrol kuasa budaya lewat media massa dan kekuatan-kekuatan simbolik di ruang publik.

Lebih dari itu, banjir uang yang mengalir ke politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan dalam nilai uang. Hubungan politik digantikan hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan ”aku di atas kita” yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Gejala moneterisasi yang kita saksikan tak terbatas pada masyarakat politik, tetapi merembes ke kehidupan masyarakat sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai keberadaban dan kesukarelaan jebol ketika uang menjadi penentu, bahkan dalam pemilihan pemimpin ormas keagamaan.

Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dalam keserakahan orang kaya baru, keampuhan demokrasi elektoral lekas ambruk. Suara bisa dibeli. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas KPU dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran efektif, kepentingan investor mendikte kebijakan politik.

Di bawah kendali pengusaha hitam dan penguasa kejar setoran, demokrasi cuma mengenal bahasa ”politik dan ekonomi pragmatik”. Bahasa ”politik pragmatik” selalu bertanya ”siapa yang menang?” Bahasa ekonomi pragmatik selalu bertanya ”di mana untungnya?” Demokrasi melupakan satu bahasa lagi yang sangat penting, yakni bahasa hikmah-kebijaksanaan yang mempertanyakan ”apa yang benar?”

Bahasa inilah yang dipersyaratkan sila ke-empat Pancasila. Bahwa, kerakyatan (demokrasi) harus dipimpin; tak boleh berkem- bang jadi ajang avonturisme kepentingan perseorangan dan golongan. Dipimpin oleh hikmah (kearifan yang mencerahkan dan membebaskan) dan kebijaksanaan (kelapangan keadilan dan pertanggungjawaban). Yang direngkuh lewat fusi antarhorizon, dalam wahana permusyawaratan perwakilan.

Dengan hilangnya bahasa hikmah-kebijaksanaan, gerak demokrasi menjauh dari cita-cita keadilan sosial. Saatnya mempertimbangkan penghayatan nilai-nilai Pancasila, yang memperhadapkan tirani bukan hanya dengan kebebasan, melainkan juga dengan keadilan. Dalam perspektif ini, masalah Indonesia saat ini bukanlah defisit kebebasan, melainkan defisit keadilan.

Akhirnya, seperti diingatkan Socrates, ”Kebajikan tidaklah datang dari uang, tetapi dari kebajikanlah uang dan hal baik lainnya datang kepada manusia, baik kepada individu maupun negara.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar