Rakyat Dikemanakan?
Budi Santosa ; Guru Besar Teknik Industri ITS
|
KOMPAS,
12 Desember 2015
Dikisahkan dalam novel
Max Havelaar, rakyat Lebak, Banten, pada
pertengahan abad ke-19 hidup miskin, sementara tanah dan sawah
sekelilingnya sangat subur, di bawah pemerintah kolonial yang memungut pajak
yang memberatkan bagi mereka.
Hal ini diperparah
dengan sikap Bupati Lebak sebagai penguasa langsung yang ikut memperberat
penderitaan rakyat. Bupati Lebak bernama Adipati Karta bertahun-tahun menambah
penderitaan dengan pungutan yang lain
dan memaksa rakyat Lebak harus bekerja untuknya tanpa upah. Tanah
ditanami padi, tetapi hasil diambil oleh bupati dan juga untuk Pemerintah
Hindia Belanda. Kerbau milik penduduk yang menjadi modal dasar mengolah sawah pun bisa diambil sesuka hati oleh bupati.
Bupati Adipati Karta
adalah pribumi yang licik. Yang akhirnya membela rakyat Banten adalah Douwes
Dekker. Asisten Residen Lebak ini ingin mengungkap kesengsaraan hidup rakyat
Lebak akibat perilaku pejabat yang korup. Bupati Adipati Karta berkolaborasi
dengan Residen Lebak-orang Belanda-melanggengkan pemerasan pada rakyat.
Sebelum itu, Asisten
Residen Lebak, Slottering, yang beristri orang pribumi juga ingin mengungkap
praktik kejam ini. Sayang dia keburu dibunuh secara keji dengan cara diracun
saat diundang jamuan makan di rumah bupati. Nyatalah bahwa penderitaan rakyat
Lebak terjadi karena peran aktif sang bupati, orang yang sebangsa dengan
kita. Cerita sejenis mungkin banyak terjadi di daerah lain saat itu.
Yang mengungkap kisah
di atas justru orang berkulit putih, yang pada awal abad ke-20 menjadi
penggerak utama perjuangan modern bangsa kita melawan penjajahan, yang
dilakukan bangsanya lewat Indische
Partij.
160 tahun kemudian
Kisah pada abad
kolonial pada kira-kira tahun 1855 itu terjadi lagi di bumi Indonesia kini.
Kisah di mana orang pribumi berkolaborasi dengan asing untuk melanggengkan
kekuasaan asing atas bangsa ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Gaduh transkrip rekaman pembicaraan tentang Freeport yang dilakukan Ketua DPR
Setya Novanto (SN), pengusaha Muhammad Reza Chalid (MR), dan Presiden
Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (MS), membuktikan itu.
Sungguh menyedihkan bahwa dari transkrip pembicaraan antara SN, MR, dan MS yang
sedang membicarakan perpanjangan kontrak itu tidak sekalipun terdengar kata
"rakyat". Pelaku yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sudah
lupa akan posisinya. Kepentingan rakyat jauh dari orbit pemikirannya. Yang
menjadi topik justru dugaan bagi-bagi saham ke beberapa pihak tanpa
menyertakan rakyat.
Ini menyedihkan karena
yang sedang dibicarakan dalam transkrip tersebut adalah soal kekayaan alam
besar di perut bumi Indonesia. Membicarakan kekayaan alam tanpa menyebut
rakyat jelas mengingkari amanat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 tegas
menyatakan "Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Jelaslah bahwa rakyat menjadi
tujuan utama pengelolaan kekayaan alam. Bukan untuk para elite partai atau negara.
Sejak awal perjanjian
kontrak, manfaat Freeport memang jauh dari kepentingan rakyat. Memang benar
bahwa pajak dan royalti yang dibayarkan Freeport sebagian untuk kepentingan
rakyat. Namun, ketika pembicaraan sampai pada persoalan divestasi (pelepasan)
saham Freeport yang menjadi bagian Pemerintah Indonesia, maka kepentingan
rakyat diabaikan. Sebagai contoh pada divestasi 9,36 persen saham Freeport
1991 ketika kontrak kerja diperpanjang untuk 20 tahun ke depan, pemilik
sahamnya justru bukan pemerintah atau BUMN, tetapi PT Indocopper milik Bakrie
Brothers. Bagaimana bisa kepemilikan saham pemerintah begitu mudah dikuasai
swasta? Bagaimana Ginandjar Kartasasmita waktu itu bisa memberikan kepada
Bakrie?
Sisa kepemilikan saham
hingga 20 persen yang mestinya dikuasai Pemerintah Indonesia, kemudian tidak
diberikan. Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
1994 yang membolehkan kepemilikan saham oleh penanaman modal asing hingga 100
persen. Jika dilogika, aturan ini sangat aneh: membiarkan asing menguasai
saham 100 persen. Tidak sedikit pun dari aturan itu memihak kepentingan
rakyat.
Pelecehan lembaga negara
Peran Ketua DPR dalam
pembicaraan tersebut seperti peran makelar. Barangkali peran sejenis makelar
masih akan dihargai orang seandainya kata rakyat menjadi bagian dari
pembicaraan itu. Namun, yang terjadi sungguh sangat tidak pantas. Tindakan
Ketua DPR membawa pengusaha swasta dalam pertemuan itu sudah sangat
merendahkan martabat lembaga DPR dan sekaligus bangsa ini. Jabatan Ketua
Dewan yang begitu mulia direduksi perannya hanya sebagai makelar. Selanjutnya
peran sebagai makelar pun tak ada niat untuk membela rakyat. Lengkaplah sudah
pelecehan terhadap jabatan mulia ketua dan lembaga tinggi DPR dan pengabaian
kepentingan rakyat.
Dari transkrip itu
juga bisa diketahui tidak ada upaya sedikitpun dari Ketua Dewan untuk
mengusahakan pembagian keuntungan atau royalti atau kepemilikan saham
Freeport yang lebih menguntungkan bagi kepentingan bangsa. Seakan justru
Ketua Dewan ingin memelihara keadaan yang sekian lama merugikan kepentingan
rakyat atau bangsa. Urusan kekayaan alam ternyata memang hanya milik para
elite politik dan penguasa. Rakyat hanya dibicarakan saat pemilu atau
pilkada. Setelah itu, tidak ada kata rakyat di kamus sebagian besar anggota
DPR dan juga para elite politik.
Sangat disayangkan
bahwa para elite yang membicarakan kekayaan itu lebih berpihak pada
kepentingan asing dan kelompoknya daripada mengusahakan kemakmuran untuk bangsanya.
Mungkin Freeport hanya salah satu. Bagaimana dengan kekayaan bumi Indonesia
yang lain, misalnya Newmont?
Kini Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) melengkapi kebusukan itu dengan menutupi apa yang
disampaikan Ketua Dewan dari pantauan publik. MKD secara tidak langsung telah
mendukung tindakan Ketua Dewan yang lebih mementingkan pribadi dan kelompok
serta asing daripada memikirkan rakyatnya.
Kita masih berharap
bahwa Freeport akan memberikan saham ke pemerintah hingga 20 persen. Mestinya
sudah diwujudkan pada Oktober 2015.
Namun, belum terwujud hingga kini. Pemerintah merencanakan kali ini
saham tidak akan dikuasai swasta, seperti masa lalu, melainkan akan diberikan
kepada BUMN, seperti PT Aneka Tambang atau Inalum. Ini baru keputusan yang
tepat. Walaupun belum tentu juga penguasaan oleh BUMN akan menjamin
kemakmuran rakyat, tetapi dari sisi keadilan itu sudah suatu kemajuan. Kita
tunggu hasilnya. Setidaknya sudah ada usaha perbaikan dari sisi eksekutif.
Kisah Ketua Dewan
dalam hal Freeport ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus di mana
rakyat tidak menjadi tujuan utama dari sepak terjang para elite politik yang
sedang menjalankan amanat rakyat pemilihnya. Kita berharap perilaku para
elite politik bisa berubah. Kalau tidak, bangsa ini akan semakin terjerumus
dalam kangkangan pihak-pihak yang hanya memikirkan kepentingan sempit pribadi
dan kelompoknya, bisa asing bisa bangsa sendiri. Jangan kisah rakyat Lebak
diisap bupatinya sendiri berlangsung terus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar