Sabtu, 12 Desember 2015

Papua, Riwayatmu Kini

Papua, Riwayatmu Kini

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 12 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu butir perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus-2 November 1949, menyebutkan Irian Barat bagian dari Belanda. KMB melemahkan kita lewat Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 15 provinsi boneka Belanda plus sejumlah provinsi yang sejak proklamasi sukarela bergabung dengan republik.

Kita telah merdeka, tetapi Belanda berupaya kembali menjajah lewat provinsi-provinsi boneka. Kita ingin merebut Irian Barat yang saat itu berpeluang menjadi bagian dari Belanda, atau merdeka, atau menjadi bagian dari Federasi Melanesia.

Sepanjang dekade 1950, kita memperjuangkan pembebasan Irian Barat melalui resolusi Sidang Umum (SU) PBB, pertama kalinya tahun 1954. Isi resolusi meminta Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Tetapi, lanskap politik global di PBB kurang menguntungkan, membuat resolusi gagal disahkan. Dan, suka atau tidak, Presiden Amerika Serikat (AS) Dwight Eisenhower (1953-1961) membantu kita menekan Belanda, antara lain mengancam pembatalan Marshall Plan untuk ”negeri kincir angin” itu.

Kita tidak pernah kapok memperjuangkan pembebasan Irian Barat. Hampir tiap tahun kita mengajukan resolusi, tetapi sia-sia. Sebaliknya, Belanda makin provokatif, antara lain membangun pos-pos militer di Irian Barat dalam rangka mempersiapkan perang. Pos militer pertama dibangun di Lembah Baliem, Wamena, tahun 1957, dan diteruskan di tempat-tempat lain bertahun-tahun setelah itu. Bung Karno geram dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda pada 17 Agustus 1960.

AS juga mulai berubah. Eisenhower lebih tertarik mendongkel Bung Karno dengan mendanai pemberontakan PRRI/Permesta 1956-1958 daripada menekan Belanda.

Sebaliknya, pengganti Eisenhower, John F Kennedy (1961-1963), mau membantu. Pertimbangan dia, Indonesia yang strategis berada di antara dua samudra jangan sampai jatuh ke tangan ”the Bloc” (Uni Soviet dan Tiongkok).

Pertimbangan lain, investasi AS di Indonesia, khususnya oleh dua korporasi migas, Caltex dan Stanvac, berada dalam bahaya. Bung Karno membekukan konsesi migas melalui Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 1960 yang menegaskan, ”Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara”.

Kennedy merasa ”the Bung”, panggilan dia untuk Bung Karno, dapat dibujuk keluar dari pengaruh ”the Bloc”. Sebagai imbalan, Kennedy menggelontorkan bantuan senilai 800 juta dollar AS—jumlah yang masih kurang dari separuh dari yang diberikan Uni Soviet.

Hubungan Indonesia-Belanda makin panas pada tahun pertama pemerintahan Kennedy. Belanda membentuk sebuah dewan persiapan kemerdekaan ”Nieuw-Guinea”, yang dibalas Bung Karno dengan mengumumkan Trikora 19 Desember 1961.

Saat operasi militer Trikora baru dimulai, Kennedy mengirimkan adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy, ke Jakarta menemui Bung Karno. Dari Jakarta, Robert Kennedy langsung melawat ke Den Haag mendesak Belanda segera menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Misi lanjutan Robert Kennedy, yang dipimpin diplomat senior Ellsworth Bunker, menyiapkan teknis penyelenggaraan plebisit di Irian Barat yang akhirnya terjadi tahun 1969. Sejak itulah, Irian Barat yang dilimpahi kekayaan berbagai sumber daya alam resmi menjadi bagian dari Indonesia.

Tahun 1961 Bung Karno telah menyiapkan Rencana Pembangunan Delapan Tahun yang tergolong ”neolib” karena melibatkan pula IMF di bawah pengawasan Kennedy. Sayang, Kennedy tewas ditembak di Dallas, Texas, 22 November 1963.

Nasib Bung Karno selesai tak lama setelah pecahnya peristiwa 30 September 1965. Rapat Bung Karno dan para menteri ekonomi di Istana Cipanas, Januari 1966, membahas nasionalisasi Caltex dan Stanvac serta berbagai properti AS lainnya.

Tiba-tiba Jenderal Soeharto mendarat dengan helikopter dan langsung menuju ruang rapat untuk menegaskan nasionalisasi tidak boleh dilakukan. Ketika itu, Soeharto bahkan masih Menteri Panglima Angkatan Darat, belum mendapat penugasan Supersemar.

Awal November 1966, ada pengumuman penting dari Menteri Pertambangan Slamet Bratanata bahwa Freeport Sulphur Company mendapat hak eksploitasi dan eksplorasi endapan bijih tembaga di Ertsberg, Pegunungan Tengah, di barat Puncak Soekarno. Penyelenggaraan plebisit di Irian Barat masih dua tahun lagi.

Entah sudah berapa kali rezim berganti, Freeport tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dalam bahasa gaul, Freeport itu, setelah nyaris setengah abad di Indonesia, ”hebat bingits”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar