Merusak Kehormatan DPR
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
12 Desember 2015
Sebagai salah satu
institusi publik dengan status "yang terhormat", anggota DPR
memiliki kewajiban moral, etik, dan hukum untuk menjaga dan melindungi
institusi mereka. Semakin tinggi posisi politik yang dipegang seorang
anggota, kian tinggi pula tanggung jawab menjaga kehormatan institusi.
Sadar dengan segala
kemungkinan yang dapat merusak makna hakiki status "yang terhormat"
itu, DPR berupaya mengantisipasinya dengan membuat kode etik. Dalam Peraturan
DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik dinyatakan, kode etik adalah norma
yang wajib dipatuhi setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga
martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas institusi DPR.
Dengan ditahbiskannya
kewajiban menjaga status yang terhormat itu, bagi yang terbukti melakukan
pelanggaran, anggota DPR dapat diberi sanksi berat berupa pemberhentian
sementara minimal tiga bulan. Tidak hanya itu, merujuk UU No 17/2014 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), jika terbukti melakukan pelanggaran kode
etik, sanksi berat bisa berujung pada pemberhentian sebagai anggota DPR.
Indikasi pelanggaran
Kasus (secara bobot
lebih tepat disebut "skandal") rekaman pembicaraan Ketua DPR Setya
Novanto yang terindikasi mencatut nama Presiden Joko Widodo dan nama Wakil
Presiden Jusuf Kalla dalam proses perpanjangan kontrak Freeport tentu saja
menjadi ujian sesungguhnya penegakan kode etik DPR. Dalam batas penalaran
wajar, apabila rekaman yang beredar luas di masyarakat benar adanya, sulit
mengatakan bahwa tindakan itu bukan merupakan pelanggaran kode etik.
Menelisik substansi
Peraturan DPR No 1/2015, pertemuan Novanto dengan Freeport sangat terkait
dengan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan anggota DPR. Bahkan, dengan
posisi sebagai Ketua DPR, kasus "papa minta saham" ini berpotensi
menggerus martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas institusi DPR. Dalam
posisi tersebut, sulit mengatakan bahwa Novanto tidak menunggangi
institusinya untuk kepentingan yang sama sekali jauh dari kepentingan DPR.
Pertama, tindakan yang
dilakukan Novanto berkait dengan soal integritas sebagaimana termaktub dalam
Pasal 3 Kode Etik DPR. Dalam hal ini, anggota dilarang meminta dan menerima
pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak diterima sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kondisi kian buruk karena, dalam
posisi sebagai Ketua DPR, sulit mengatakan bahwa tindakan tersebut bukan
merupakan bentuk nyata dari memperdagangkan pengaruh (trading influence).
Kedua, tindakan
Novanto keluar dari tugas yang seharusnya dilakukan sebagai anggota DPR.
Dalam konteks fungsi konstitusional DPR, keterkaitan fungsi yang dapat
membenarkan pertemuan dengan pihak Freeport adalah fungsi pengawasan. Namun,
yang terjadi, upaya Novanto tidak mungkin dikategorikan sebagai tindakan
institusi DPR karena jauh berada di luar pakem pelaksanaan fungsi pengawasan.
Artinya, ketika
Novanto datang dengan seseorang yang bukan menjadi bagian dari struktur DPR,
tindakan tersebut sangat bisa dipersoalkan secara etik karena melakukan
hubungan dengan maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
Bagaimanapun, tindakan
tersebut sangat jauh dari profesionalisme dalam melakukan hubungan kerja.
Larangan melakukan kontak dengan mitra yang tidak profesional dan berpotensi
KKN tersebut diatur eksplisit di dalam Pasal 4 Peraturan DPR No 1/2015.
Ketiga, secara
kasatmata, kasus "papa minta saham" sangat mudah dilihat dari
larangan konflik kepentingan sebagai salah satu bentuk pelanggaran kode etik.
Dalam hal ini, Pasal 6 Peraturan DPR No 1/2015 menyatakan bahwa anggota DPR
dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan
pribadi, keluarga, sanak famili, dan golongan. Dalam kasus Novanto, yang
disandang di dalam pertemuan dengan pihak Freeport bukan hanya status sebagai
anggota DPR, melainkan juga jabatan tertinggi di Senayan, yaitu sebagai Ketua
DPR.
Kewajiban MKD
Sebagaimana diatur
dalam UU MD3, indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR menjadi kewajiban
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk menelisik ada tidaknya pelanggaran
tersebut. Dalam hal ini, Pasal 119 Ayat (2) UU MD3 menyatakan, MKD bertujuan
menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat.
Sesuai dengan amanat
Pasal 119 Ayat (2) UU MD3, kemampuan MKD menjaga serta menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat DPR hanya mungkin diwujudkan apabila anggota MKD
memiliki keinginan kuat menempatkan tujuan tersebut dan posisi institusi DPR
di atas gumpalan kepentingan jangka pendek. Salah satu kata kunci yang memungkinkan
MKD berhasil: semua anggota MKD harus membuktikan diri terlepas dari kendali
fraksi dan partai politik masing-masing.
Berkaca dari beberapa
kali proses persidangan MKD, tujuan luhur membentuk MKD sangat sulit
diwujudkan. Meski mereka muncul dengan jubah kebesaran (mirip hakim) dan
wajib dipanggil dengan sebutan "yang mulia", sebagian dari mereka
dapat dikatakan gagal menempatkan dan menunjukkan diri sebagai figur yang
bisa menjaga kehormatan dan keluhuran martabat DPR.
Bahkan, tanpa rasa
malu, sebagian mereka menjadikan MKD sebagai arena untuk menghakimi pelapor
dan kemudian sengaja membelokkan substansi laporan ke arah yang berbeda.
Selain itu, selama
persidangan berlangsung, di antara anggota MKD secara kasatmata menunjukkan
kepada masyarakat bahwa mereka bukan wakil rakyat, tetapi menjadi badut-badut
elite partai politik. Misalnya, proses sidang tertutup bagi Novanto lebih
dari cukup untuk menjadi indikasi awal bahwa mayoritas anggota MKD sulit
diharapkan mampu mewujudkan gagasan dasar pembentukan MKD. Desakan masyarakat
agar semua persidangan berlangsung secara terbuka tak ubahnya bagai teriakan
di tengah gurun pasir.
Membentuk panel
Melihat perkembangan
yang terjadi, sulit berharap MKD mampu menyelesaikan kasus yang menimpa
Novanto secara baik dan benar. Yang dikhawatirkan banyak kalangan, jangankan
menjaga dan menegakkan martabat DPR, hasil akhir sangat mungkin berujung pada
kesimpulan bahwa tidak terjadi pelanggaran kode etik yang serius. Apabila
demikian, MKD dan DPR berubah menjadi sebuah proses dan tempat yang
melindungi Novanto.
Di tengah kekhawatiran
tersebut, MKD harus segera membentuk panel sidang. Merujuk Pasal 148 Ayat (1)
UU MD3, dalam hal MKD menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat
berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk panel
sidang pelanggaran kode etik anggota DPR.
Dengan menempatkan
kebutuhan menyelamatkan DPR, pembentukan panel menjadi semacam keniscayaan.
Paling tidak, dengan membentuk panel yang empat dari tujuh anggotanya berasal
dari luar DPR, kelanjutan kasus Novanto akan menjadi lebih obyektif.
Dengan membaca
indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan Novanto dan dengan bukti
permulaan yang terungkap serta ditambah dengan krisis kepercayaan kepada
MKD, menunda-nunda pembentukan panel
sidang pelanggaran kode etik sama saja membiarkan DPR terperosok lebih dalam
dan jauh ke titik nadir.
Artinya, dengan
membentuk panel, MKD dapat dikatakan telah meneroka jalan menuju penyelamatan
DPR. Tanpa itu, MKD akan berubah menjadi "menghancurkan kehormatan
DPR". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar