Rabu, 09 Desember 2015

Melawan Perundungan dengan MKBS

Melawan Perundungan dengan MKBS

Nadia Sabrina  ;  Konselor Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
                                           MEDIA INDONESIA, 30 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BELAKANGAN ini beberapa kasus perundungan (bullying) menjadi tajuk utama pemberitaan di media massa/media sosial. Di Serpong, Tangerang, perundungan yang menimpa seorang siswa SD mencuat saat pihak sekolah dan orangtua malah bersengketa tentang pencemaran nama baik dalam penyelesaian kasusnya. Sementara itu, di Aceh, dalam kurun dua bulan terakhir, dilaporkan terjadi setidaknya dua kasus kekerasan di sekolah.

Pertama ialah kasus perundungan dengan korban siswa kelas 6 di salah satu MIN di wilayah Kabupaten Aceh Besar dan kasus pengeroyokan siswa kelas 2 salah satu SMA favorit di Kabupaten Pidie. Kasus-kasus di atas diberitakan media massa saat korban sudah berjatuhan atau persoalannya sudah sampai ranah pengadilan (ada tuntutan hukum). Dengan kata lain, kasus yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari fakta yang sebenarnya. Sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan bahwa 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.

Bisa dikatakan hampir tidak ada sekolah yang bebas dari praktik perundungan. Namun, bisa dipastikan tidak semua sekolah berusaha dan mampu menangani kasus perundungan. Hal itu antara lain disebabkan minimnya perhatian dan pengetahuan entitas sekolah tentang perundungan itu sendiri. Banyak guru yang masih belum menyadari sepenuhnya dampak negatif perundungan di sekolah mereka. Hasil survei yang dilakukan organisasi nonprofit Semai Jiwa Amini (Sejiwa) pada tiga SMA di Jawa (2004-2006) menunjukkan bahwa 1 dari 5 guru menganggap pelecehan ialah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan lagi.

Padahal, ada cara terstruktur yang dapat dilakukan sekolah dengan, misalnya, menerapkan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS). MKBS sudah digunakan di beberapa sekolah di berbagai negara. Di Indonesia, Sekolah Sukma Bangsa di Aceh dan Perguruan Budi Mulia Dua di Yogyakarta juga telah menerapkan MKBS sekaligus melembagakannya dalam kurikulum sekolah.
MKBS ialah sistem pencegahan, manajemen, dan resolusi konflik di lingkungan sekolah. MKBS tercipta sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan sekolah yang sehat dan damai tanpa kekerasan. Sekolah yang menyajikan tempat bagi siswa, guru, orangtua berinteraksi dengan damai apa pun latar belakang mereka. MKBS ialah sistem yang berfungsi mengelola konflik-konflik yang terjadi di sekolah, termasuk perundungan. Bentuk program MKBS di antaranya kegiatan pengembangan kurikulum, mediasi sejawat, kelas yang damai (peaceable classroom), dan sekolah yang damai (peaceable school).

Implementasi MKBS

Dalam menerapkan MKBS di sekolah, beberapa langkah berikut dapat diterapkan. Pertama, pemetaan konflik (pengumpulan data). Pemetaan konflik secara sederhana bertujuan mendapat gambaran situasi untuk memahami konflik secara keseluruhan dan menentukan langkah selanjutnya. Pemetaan konflik di sekolah akan memberikan gambaran tentang jenis, penyebab, pemicu, dan aktor yang terlibat dalam konflik/perundungan di sekolah. Pemetaan itu dapat berupa beberapa hal seperti pengelompokan konflik antara guru dan siswa, antarsiswa, guru dan guru, siswa dan manajemen sekolah, antara dan dengan orangtua siswa, serta berbagai pihak lain yang berkepentingan di sekolah. Kasus perundungan, misalnya, ialah bentuk konflik yang biasanya terjadi antarsiswa. Pemetaan lanjutan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti survei sederhana yang dilakukan konselor/guru bimbingan dan konseling (BK) untuk mengetahui pola interaksi dan tingkat agresivitas siswa. Dari hasil survei akan didapatkan pola interaksi siswa serta kebiasaan-ke biasaan mereka dan sejauh mana kecenderungan siswa untuk bertindak agresif.

Selain itu, konselor/guru BK bisa membuat sosiometri di setiap kelas untuk lebih mendapatkan gambaran mengenai jaring sosial di dalam kelas tersebut. Siswa mana yang paling menonjol di kelas, siswa yang dikucilkan, siswa yang disenangi dan yang tidak di senangi, serta kelompok-kelompok yang paling mendominasi kelas maupun kelompok ‘netral’ yang ada di kelas tersebut. 
Berdasarkan data yang diperoleh dari sekolah, setidaknya didapat gambaran mengenai situasi yang terjadi. Setelah itu mulai bisa menyusun langkah selanjutnya mengenai nilai dan keterampilan yang perlu ditingkatkan dalam diri siswa sebagai respons menanggapi isu perundungan di sekolah, seperti nilai-nilai toleransi, antikekerasan, tanggung jawab, keterampilan, dan kerja sama.

Kedua, menciptakan kelas yang damai. Saling menghargai dan keterbukaan menjadi kunci dalam komunikasi untuk menciptakan kelas yang damai. Guru dan siswa dapat secara bersama-sama membuat ‘undang-undang kelas’ yang harus dijalankan bersama, misalnya, salah satu pasal wajibnya menekankan aturan yang mengharamkan terjadinya perundungan dan segala bentuk kekerasan di sekolah. Selanjutnya setiap seminggu sekali diadakan base class, yaitu siswa dan guru (wali kelas/ konselor) akan membahas bersama berbagai hal maupun masalah yang terjadi di kelas selama sepekan untuk kemudian mencari solusi bersamasama. Siswa dan guru berperan aktif mengelola kelas sehingga diharapkan tidak ada masalah yang berlarut-larut dan luput dari perhatian.

Ketiga, mediasi sejawat. Jika ada dua atau lebih siswa yang saling berkonfl ik, kadang kala mereka tidak mampu menyelesaikan sendiri dan membutuhkan bantuan pihak lain untuk melakukan mediasi. Dalam mediasi sejawat, mediatornya ialah siswa. Siswa yang menjadi mediator telah lebih dulu dilatih sehingga ia mampu membantu temannya dalam merundingkan konflik yang mereka hadapi. Peran mediator siswa ini juga akan digilir pada siswa lain sehingga setiap siswa diharapkan punya keterampilan membantu menyelesaikan masalah di sekitarnya. Mediasi sejawat juga bisa diterapkan dalam bentuk kegiatankegiatan kelompok kecil. Setiap kelompok beranggotakan 10 orang siswa. Mereka, dalam dinamika kelompok, akan belajar untuk saling memahami, menghargai, dan bekerja sama. Jika ada anggota kelompok yang menghadapi masalah, kelompok akan bersama-sama membantu memecahkan masalah tersebut. Setiap seminggu sekali kelompok akan menemui guru pembinanya atau konselor untuk mendiskusikan perkembangan yang terjadi.

Keempat, mengembangkan budaya sekolah yang damai. Dalam mewujudkan sekolah yang damai, sekolah perlu men ciptakan budaya yang memiliki aspek nilai pendukung, seperti tanggung jawab, kejujuran, antikekerasan, tenggang rasa, dan kerja sama. Hal ini dapat diwujudkan dengan menyertakan nilai-nilai tersebut dalam peraturan/tata tertib di sekolah. Sekolah Sukma Bangsa Aceh, misalnya, menegaskan peraturan utama sebagai kredo; no violence, no cheating, and no smoking yang berlaku bagi seluruh warga sekolah. Hal itu dengan didukung adanya sistem komunikasi terbuka yang menjamin hak siswa untuk berpendapat dan memberikan kritik serta saran terhadap hal yang berkaitan dengan sekolah sehingga membangun kebiasaan siswa yang memiliki kesadaran dan keberanian untuk berbicara jika terjadi hal yang tidak sesuai peraturan sekolah, termasuk--tentu saja-perundungan.

MKBS merupakan salah satu contoh dari berbagai pilihan cara yang bisa dilakukan pihak sekolah untuk melawan perundungan. Tentunya masih banyak cara-cara lain yang juga bisa menjadi alternatif. Namun, yang lebih penting ialah bukan hanya memilih cara apa yang dilakukan, melainkan ‘melakukan’ usaha melawan perundung an secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Sistem paling hebat sekali pun tidak akan berguna jika tidak dilakukan secara konsisten. 

Selama ini masyarakat hanya akan peduli dan getol melakukan kampanye antiperundungan secara musiman. Hanya pada saat terjadi kasus yang parah yang telah terekspos oleh media. Begitu isunya meredam, semua pihak pun dengan mudah lupa atau cuci tangan dan kembali pada fase yang menganggap perundungan itu persoalan ‘biasa’ selama tidak ‘berdarah-darah’. Mungkin kita bisa memulainya dengan menjadi lebih peka dan tanggap terhadap praktik perundungan di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar