Melawan Perundungan dengan MKBS
Nadia Sabrina ; Konselor Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 30 November 2015
BELAKANGAN ini beberapa kasus perundungan (bullying) menjadi tajuk utama
pemberitaan di media massa/media sosial. Di Serpong, Tangerang, perundungan
yang menimpa seorang siswa SD mencuat saat pihak sekolah dan orangtua malah
bersengketa tentang pencemaran nama baik dalam penyelesaian kasusnya. Sementara
itu, di Aceh, dalam kurun dua bulan terakhir, dilaporkan terjadi setidaknya
dua kasus kekerasan di sekolah.
Pertama ialah kasus perundungan dengan korban
siswa kelas 6 di salah satu MIN di wilayah Kabupaten Aceh Besar dan kasus
pengeroyokan siswa kelas 2 salah satu SMA favorit di Kabupaten Pidie. Kasus-kasus
di atas diberitakan media massa saat korban sudah berjatuhan atau
persoalannya sudah sampai ranah pengadilan (ada tuntutan hukum). Dengan kata
lain, kasus yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari fakta yang
sebenarnya. Sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women
(ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan bahwa 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah.
Bisa dikatakan hampir tidak ada sekolah yang
bebas dari praktik perundungan. Namun, bisa dipastikan tidak semua sekolah
berusaha dan mampu menangani kasus perundungan. Hal itu antara lain
disebabkan minimnya perhatian dan pengetahuan entitas sekolah tentang
perundungan itu sendiri. Banyak guru yang masih belum menyadari sepenuhnya
dampak negatif perundungan di sekolah mereka. Hasil survei yang dilakukan
organisasi nonprofit Semai Jiwa Amini
(Sejiwa) pada tiga SMA di Jawa (2004-2006) menunjukkan bahwa 1 dari 5 guru
menganggap pelecehan ialah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu
diributkan lagi.
Padahal, ada cara terstruktur yang dapat
dilakukan sekolah dengan, misalnya, menerapkan manajemen konflik berbasis
sekolah (MKBS). MKBS sudah digunakan di beberapa sekolah di berbagai negara.
Di Indonesia, Sekolah Sukma Bangsa di Aceh dan Perguruan Budi Mulia Dua di
Yogyakarta juga telah menerapkan MKBS sekaligus melembagakannya dalam
kurikulum sekolah.
MKBS ialah sistem pencegahan, manajemen, dan
resolusi konflik di lingkungan sekolah. MKBS tercipta sebagai bagian dari
usaha untuk mewujudkan sekolah yang sehat dan damai tanpa kekerasan. Sekolah
yang menyajikan tempat bagi siswa, guru, orangtua berinteraksi dengan damai
apa pun latar belakang mereka. MKBS ialah sistem yang berfungsi mengelola
konflik-konflik yang terjadi di sekolah, termasuk perundungan. Bentuk program
MKBS di antaranya kegiatan pengembangan kurikulum, mediasi sejawat, kelas
yang damai (peaceable classroom),
dan sekolah yang damai (peaceable
school).
Implementasi MKBS
Dalam menerapkan MKBS di sekolah, beberapa
langkah berikut dapat diterapkan. Pertama, pemetaan konflik (pengumpulan
data). Pemetaan konflik secara sederhana bertujuan mendapat gambaran situasi
untuk memahami konflik secara keseluruhan dan menentukan langkah selanjutnya.
Pemetaan konflik di sekolah akan memberikan gambaran tentang jenis, penyebab,
pemicu, dan aktor yang terlibat dalam konflik/perundungan di sekolah.
Pemetaan itu dapat berupa beberapa hal seperti pengelompokan konflik antara
guru dan siswa, antarsiswa, guru dan guru, siswa dan manajemen sekolah,
antara dan dengan orangtua siswa, serta berbagai pihak lain yang
berkepentingan di sekolah. Kasus perundungan, misalnya, ialah bentuk konflik
yang biasanya terjadi antarsiswa. Pemetaan lanjutan dapat dilakukan dengan
beberapa cara, seperti survei sederhana yang dilakukan konselor/guru
bimbingan dan konseling (BK) untuk mengetahui pola interaksi dan tingkat
agresivitas siswa. Dari hasil survei akan didapatkan pola interaksi siswa
serta kebiasaan-ke biasaan mereka dan sejauh mana kecenderungan siswa untuk
bertindak agresif.
Selain itu, konselor/guru BK bisa membuat
sosiometri di setiap kelas untuk lebih mendapatkan gambaran mengenai jaring
sosial di dalam kelas tersebut. Siswa mana yang paling menonjol di kelas,
siswa yang dikucilkan, siswa yang disenangi dan yang tidak di senangi, serta
kelompok-kelompok yang paling mendominasi kelas maupun kelompok ‘netral’ yang
ada di kelas tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari sekolah,
setidaknya didapat gambaran mengenai situasi yang terjadi. Setelah itu mulai
bisa menyusun langkah selanjutnya mengenai nilai dan keterampilan yang perlu
ditingkatkan dalam diri siswa sebagai respons menanggapi isu perundungan di
sekolah, seperti nilai-nilai toleransi, antikekerasan, tanggung jawab,
keterampilan, dan kerja sama.
Kedua, menciptakan kelas yang damai. Saling
menghargai dan keterbukaan menjadi kunci dalam komunikasi untuk menciptakan
kelas yang damai. Guru dan siswa dapat secara bersama-sama membuat
‘undang-undang kelas’ yang harus dijalankan bersama, misalnya, salah satu
pasal wajibnya menekankan aturan yang mengharamkan terjadinya perundungan dan
segala bentuk kekerasan di sekolah. Selanjutnya setiap seminggu sekali
diadakan base class, yaitu siswa dan guru (wali kelas/ konselor) akan
membahas bersama berbagai hal maupun masalah yang terjadi di kelas selama
sepekan untuk kemudian mencari solusi bersamasama. Siswa dan guru berperan
aktif mengelola kelas sehingga diharapkan tidak ada masalah yang
berlarut-larut dan luput dari perhatian.
Ketiga, mediasi sejawat. Jika ada dua atau lebih
siswa yang saling berkonfl ik, kadang kala mereka tidak mampu menyelesaikan
sendiri dan membutuhkan bantuan pihak lain untuk melakukan mediasi. Dalam
mediasi sejawat, mediatornya ialah siswa. Siswa yang menjadi mediator telah
lebih dulu dilatih sehingga ia mampu membantu temannya dalam merundingkan
konflik yang mereka hadapi. Peran mediator siswa ini juga akan digilir pada
siswa lain sehingga setiap siswa diharapkan punya keterampilan membantu
menyelesaikan masalah di sekitarnya. Mediasi sejawat juga bisa diterapkan
dalam bentuk kegiatankegiatan kelompok kecil. Setiap kelompok beranggotakan
10 orang siswa. Mereka, dalam dinamika kelompok, akan belajar untuk saling
memahami, menghargai, dan bekerja sama. Jika ada anggota kelompok yang
menghadapi masalah, kelompok akan bersama-sama membantu memecahkan masalah
tersebut. Setiap seminggu sekali kelompok akan menemui guru pembinanya atau
konselor untuk mendiskusikan perkembangan yang terjadi.
Keempat, mengembangkan budaya sekolah yang
damai. Dalam mewujudkan sekolah yang damai, sekolah perlu men ciptakan budaya
yang memiliki aspek nilai pendukung, seperti tanggung jawab, kejujuran,
antikekerasan, tenggang rasa, dan kerja sama. Hal ini dapat diwujudkan dengan
menyertakan nilai-nilai tersebut dalam peraturan/tata tertib di sekolah. Sekolah
Sukma Bangsa Aceh, misalnya, menegaskan peraturan utama sebagai kredo; no violence, no cheating, and no smoking
yang berlaku bagi seluruh warga sekolah. Hal itu dengan didukung adanya
sistem komunikasi terbuka yang menjamin hak siswa untuk berpendapat dan
memberikan kritik serta saran terhadap hal yang berkaitan dengan sekolah
sehingga membangun kebiasaan siswa yang memiliki kesadaran dan keberanian
untuk berbicara jika terjadi hal yang tidak sesuai peraturan sekolah,
termasuk--tentu saja-perundungan.
MKBS merupakan salah satu contoh dari berbagai
pilihan cara yang bisa dilakukan pihak sekolah untuk melawan perundungan.
Tentunya masih banyak cara-cara lain yang juga bisa menjadi alternatif. Namun,
yang lebih penting ialah bukan hanya memilih cara apa yang dilakukan,
melainkan ‘melakukan’ usaha melawan perundung an secara sungguh-sungguh dan
berkelanjutan. Sistem paling hebat sekali pun tidak akan berguna jika tidak
dilakukan secara konsisten.
Selama ini masyarakat hanya akan peduli dan getol
melakukan kampanye antiperundungan secara musiman. Hanya pada saat terjadi
kasus yang parah yang telah terekspos oleh media. Begitu isunya meredam,
semua pihak pun dengan mudah lupa atau cuci tangan dan kembali pada fase yang
menganggap perundungan itu persoalan ‘biasa’ selama tidak ‘berdarah-darah’.
Mungkin kita bisa memulainya dengan menjadi lebih peka dan tanggap terhadap
praktik perundungan di sekitar kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar