Potret Kebebasan Beragama di Indonesia
Musdah Mulia ; Ketua Indonesian Conference on Religions
and Peace (ICRP)
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Desember 2015
CAPAIAN paling monumental dalam perlindungan
kebebasan beragama selama masa reformasi di Indonesia ialah UU No 39/1999
tentang HAM. Pasal 22 dari UU tersebut memperkuat kembali jaminan kebebasan
beragama seperti tertera dalam UUD 1945 Pasal 29. Jaminan bahwa setiap orang
bebas memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Progres lain terjadi di masa Presiden
Abdurrahman Wahid, agama Konghucu diakui agama sehingga para penganutnya
mendapatkan pelayanan dan perlindungan secara resmi dari negara. Kemudian
Presiden Megawati mengakui Imlek sebagai hari besar keagamaan. Sejak itu kita
mengenal enam agama ‘resmi’. Sebelumnya, masa Orde Baru hanya mengenal lima
agama ‘resmi’. Sepatutnya, negara tidak perlu mendeklarasikan agama mana yang
dianggap ‘resmi’. Tugas negara ialah menjamin kebebasan beragama semua warga
tanpa diskriminasi sedikit pun.
Sepuluh tahun masa pemerintahan SBY ialah masa
stagnasi kebebasan beragama, tidak tercatat prestasi apa pun dalam hal
pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama. Itulah sebabnya, pasangan
Jokowi-Kalla dalam kampanye pilpres lalu mendapatkan dukungan publik yang
luar biasa ketika menyebut merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian
bangsa sebagai salah satu dari tiga problem pokok bangsa yang harus segera
diselesaikan. Jokowi sangat tegas menjanjikan perlunya negara hadir dalam
setiap konflik keagamaan dan pentingnya perlindungan kebebasan beragama bagi
setiap warga negara.
Namun, setelah setahun lebih pemerintahan
Jokowi, belum satu pun kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama yang
mendapatkan perhatian, apalagi penyelesaian tuntas. Sebut saja sejumlah kasus
yang masih menggantung, antara lain seperti pengungsi Ahmadiyah di Transito,
Mataram, pengungsi Syiah di Sampang, dan Gereja Yasmin di Bogor.
Konsep kebebasan
beragama
Berbagai dokumen internasional tentang HAM
menyebut hak kebebasan beragama sebagai bagian dari basic human rights, yakni
hak asasi manusia yang sangat mendasar sebagai makhluk bermartabat (dignity). Hak itu dinilai amat perlu
dan mendapatkan prioritas di dalam hukum dan kebijakan, baik di tingkat
nasional maupun internasional.
Indonesia sebagai negara pihak yang
menandatangani Deklarasi Universal HAM mengemban tanggung jawab moral dan
hukum untuk melaksanakan kewajiban memenuhi hak kebebasan beragama dan
hak-hak lain yang tercantum di dalam piagam PBB tersebut. UUD 1945, terutama
setelah diamendemen, secara tegas pula mencantumkan hak kebebasan beragama. Artinya,
kebebasan beragama telah menjadi hak konstitusional dari setiap warga negara
Indonesia.
Lebih lanjut UUD No 39/1999 tentang HAM juga
menyatakan hal yang sama dan bahkan di dalam penjelasannya disebutkan secara
tegas dan jelas bahwa hak itu dijamin tanpa adanya paksaan dari siapa pun
juga.
Untuk konteks Indonesia, jaminan kebebasan
beragama terlihat jelas pada sejumlah kebijakan berikut. UUD 1945 Pasal 28 E,
Pasal 29 (ayat 2), UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil Politik, Pasal 18 (ayat 1), UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 22 (ayat
1).
Tentu saja hak kebebasan beragama setiap warga
tidaklah bersifat mutlak, bukan hak tanpa batas. Hak kebebasan beragama tetap
harus dibatasi kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan
menghormati sesama manusia, apa pun agamanya. Hak itu pun dapat dibatasi oleh
negara.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi pemerintah memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan
tetapi, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan UU, serta
alasan yang digunakan ialah semata untuk perlindungan terhadap semua warga
negara tanpa kecuali.
Dengan demikian, tujuan utama pembatasan itu
ialah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan atas kehidupan,
integritas, kesehatan warga negara atau kepemilikan mereka. Pembatasan itu
semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan masyarakat, bukan untuk
mengurangi, apalagi membelenggu kebebasan masyarakat dalam menjalankan ajaran
agama.
Muncul pertanyaan, elemen-elemen apa saja yang
dapat dimuat di dalam pengaturan pembatasan tersebut? Pembatasan dimaksud
sebagaimana terbaca dalam Pasal 18, ayat (3) mencakup lima hal. Pertama,
pembatasan untuk melindungi keselamatan masyarakat. Kedua, pembatasan
kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum,
antara lain keharusan mendaftarkan badan hukum organisasi keagamaan
masyarakat, mendapatkan izin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat
ibadat yang diperuntukkan umum.
Ketiga, pembatasan untuk melindungi kesehatan
masyarakat. Pembatasan yang diizinkan berkaitan dengan kesehatan publik
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi
guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya.
Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi,
misalnya pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk
menjadi anggota penerima askes guna mencegah penularan suatu penyakit
tertentu, seperti Tb. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada
ajaran agama tertentu yang melarang transfusi darah, melarang penggunaan helm
pelindung kepala dan seterusnya.
Keempat, pembatasan untuk melindungi moral
masyarakat. Pembatasan dapat dilakukan pemerintah, bahkan untuk binatang
tertentu yang dilindungi UU agar tidak disembelih guna kelengkapan ritual
aliran agama tertentu.Kelima, pembatasan untuk melindungi hak kebebasan orang
lain.
Kebinekaan agama di
Indonesia
Slogan Bhinneka
Tunggal Ika ialah ikon kebanggaan Indonesia. Bangsa ini sadar betul bahwa
kebinekaan adalah fakta sosiologis yang sulit dimungkiri. Kebinekaan bangsa
Indonesia terlihat nyata dalam ras, etnik, agama, kepercayaan, warna kulit,
bahasa, dan tradisi.Semua bentuk kebinekaan itu menjadi modal sosial yang
amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebinekaan agama dan kepercayaan sangat mudah
dijumpai di masyarakat. Masyarakat terdiri dari penganut agama Islam,
Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, Baha'i, Tao, Sikh, Yahudi,
Kristen Ortodoks, dan penganut agama-agama perenial (tidak punya bentuk
formal). Bahkan ada juga yang mengaku tidak beragama. Selain itu, dikenal ratusan
kepercayaan lokal (indigenous religions),
seperti Parmalim di Sumatra Utara, Kaharingan di Kalimantan, Sapto Darmo di
Jawa Tengah, Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat, dan Tolotang di Sulawesi
Selatan. Jumlah mereka diprediksikan lebih dari 10 juta jiwa.
Bukan hanya itu, dalam satu agama terdapat
pula beragam sekte dan aliran. Dalam Islam, misalnya, dikenal kelompok Sunni
dan Syiah. Sunni sendiri terbagi dalam banyak mazhab, demikian halnya Syiah.
Di luar itu ada lagi kelompok-kelompok lain, seperti Ahmadiyah, hadir dan
berkembang di Tanah Air sejak 1920. Kebinekaan serupa juga ditemukan dalam
Konghucu, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya.
Mengapa itu terjadi? Bicara tentang agama
hakikatnya ialah bicara tentang interpretasi agama, dan faktanya tidak ada
interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan mana pun. Sepanjang
interpretasi agama tidak membawa kepada pemutlakan agama dan kepercayaan
tertentu, tindak kekerasan, dan pemaksaan terhadap kelompok lain yang
berbeda, lalu apa yang salah? Kebinekaan agama merupakan sebuah keniscayaan
yang tidak dapat dihindari, apalagi diingkari. Yang penting ialah setiap
warga menjaga agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu dan
mencederai sesama warga bangsa, tidak memaksakan agama pada orang lain, tidak
melakukan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap orang lain.
Sayangnya, data tentang fakta kebinekaan agama
tersebut tak muncul dalam dokumen resmi negara, tetapi hanya ditemukan dalam
laporan sejumlah LSM, seperti ICRP, Setara Institute, Wahid Institute, dan
sejumlah dokumen organisasi lain yang menekuni isu penegakan HAM. Hal itu
disebabkan negara tak sungguh-sungguh mengelola kehidupan umat beragama
dengan secara demokratis yang menjamin kebebasan beragama bagi semua warga
sesuai landasan Pancasila dan konstitusi, serta semboyan Bhinneka Tunggal
Ika.
Hambatan struktural
Upaya pemenuhan dan penegakan hak kebebasan
beragama menghadapi berbagai hambatan, baik bersifat struktural maupun
kultural. Hambatan struktural berupa kebijakan dan UU di tingkat nasional,
regional dan lokal yang diskriminatif dan jauh dari nilai-nilai
konstitusional.
Pertama, UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kebijakan itu jelas menunjukkan
pembatasan kebebasan Upaya pemenuhan dan penegakan hak kebebasan beragama
menghadapi berbagai hambatan, baik bersifat struktural maupun kultural.
Hambatan struktural berupa kebijakan dan UU di tingkat nasional, regional dan
lokal yang diskriminatif dan jauh dari nilai-nilai konstitusional.
Pertama, UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kebijakan itu jelas menunjukkan
pembatasan kebebasan beragama dengan melarang munculnya interpretasi lain
yang berbeda dengan pokok-pokok ajaran suatu agama. Sebab, pokok-pokok ajaran
agama pun bisa sangat multitafsir tergantung siapa penafsirnya.
Dalam implementasinya, pemerintah menjadikan
kebijakan ini untuk mengekang berbagai interpretasi dan penafsiran agama yang
berbeda dengan pandangan mainstream. Akibatnya, sejumlah kelompok keagamaan
dipidanakan, seperti penganut Ahmadiyah, pengikut Lia Eden, dan penganut
Syiah.
Kedua, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No
477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan agama yang diakui pemerintah
yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Sejak itu,
lekatlah istilah agama ‘resmi’ atau ‘diakui’ dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tentu saja pengakuan ini berdampak pada pengabaian hakhak
kebebasan beragama penganut agama lain di luar agama yang diakui ‘resmi’ tersebut.
Ketiga, Tap MPR No II/MPR/1998 tentang GBHN.
Kebijakan ini sangat diskriminatif terhadap penganut agamaagama lokal (indigenous religions). Mereka diminta
untuk kembali ke agama induk, padahal menurut mereka agama merekalah yang
pantas disebut sebagai induk. Sebab, bagi mereka keenam agama yang dinyatakan
‘resmi’ tiada lain hanyalah agama impor, yang datang ke Indonesia setelah
abad ke-5 M.
Keempat, UU Perubahan atas UU No 23/2006
tentang Administrasi Kependudukan. Inilah UU pertama di Indonesia yang secara
eksplisit menyebut pengakuan terhadap agama ‘resmi’ negara, dan anehnya itu
dibuat di era reformasi. Kebijakan pemerintah hanya mengakui enam agama
‘resmi’ sangat bertentangan dengan spirit Pancasila dan konstitusi.
Selain berbagai kebijakan yang dijelaskan
sebelumnya, hambatan struktural lainnya ialah UU Sistem Pendidikan Nasional
No 20/2003, Keputusan Presiden No 11/2003 tentang Penerapan Syariat Islam di
Aceh, sejumlah peraturan daerah bernuansa agama yang mengandung pasal-pasal
diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok keagamaan lainnya. Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8/9 Tahun 2006 tentang
Pendirian Rumah Ibadah dan masih banyak lagi.
Demikianlah hambatan struktural yang kasatmata
dalam pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia. Hambatan tersebut dapat
diatasi melalui langkahlangkah konkret reformasi hukum. Negara juga perlu
mendorong para pemuka agama mulai tingkat pusat sampai tingkat desa agar
membuka ruang dialog seluas-luasnya dengan melibatkan semua unsur agama di
masyarakat (termasuk mereka yang digolongkan kafir dan sesat oleh kelompok
lainnya). Dialog agama akan membuat masyarakat menjadi lebih demokratis dan
menghargai kelompok lain yang berbeda.
Hambatan sosiokultural
Selain bersifat struktural, hambatan lain
dalam upaya pemenuhan hak kebebasan beragama ialah hambatan sosiokultural,
antara lain berupa sikap keagamaan masyarakat yang tidak toleran dan
menyalahi prinsip pluralisme. Penghapusan diskriminasi menuju kebebasan
beragama membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain pengakuan dan
penghormatan atas pluralisme, stabilitas ekonomi, pemerintahan dengan
legitimasi yang kuat, dan terakhir kelompok-kelompok masyarakat harus
mempunyai cara pandang yang positif terhadap perbedaan, termasuk perbedaan agama.
Untuk itu, diperlukan regulasi yang mampu
memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan
berbasis agama. Tujuannya ialah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak
asasinya sebagai manusia yang bermartabat, yaitu bahwa mereka sebagai manusia
merdeka dan beradab, serta sebagai warga negara yang sah memiliki kebebasan
dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta mengembangkan
potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. Regulasi tersebut
harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional dan terukur.
Harapan ke depan
Disadari bahwa upaya penegakan hak kebebasan
beragama sungguh tidak mudah dan kuatnya kemauan politik pemerintah menjadi
syarat utama. Kemauan politik yang dimaksudkan di sini ialah langkahlangkah
konkret pemerintah untuk mengeliminasi semua bentuk hambatan yang dihadapi,
baik di ranah struktural maupun bersifat sosiokultural.
Hambatan struktural dapat diatasi melalui
upaya penghapusan semua kebijakan dan peraturan diskriminatif, dan
selanjutnya menciptakan regulasi baru yang menjamin kebebasan beragama semua
warga tanpa kecuali. Selanjutnya, hambatan nonstruktural dapat diatasi
melalui pendidikan multikulturalisme dan pluralisme serta upaya restorasi
sosial melalui penguatan prinsip kebinekaan dalam semua aspek kehidupan,
terutama kehidupan keagamaan.
Kebebasan beragama merupakan syarat mutlak
bagi tegaknya demokrasi substansial di Indonesia. Negara harus tegas berpihak
pada Pancasila dan konstitusi, dan sedikit pun tidak boleh tunduk pada
agen-agen kekerasan dan intoleransi yang berkedok agama. Akankah pemerintah
Jokowi mengulangi kesalahan rezim sebelumnya yang membiarkan tumbuhnya
intoleransi beragama di negeri ini? Sejarahlah yang menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar