Minggu, 13 Desember 2015

Garis Pertahanan Vertikal NKRI

Garis Pertahanan Vertikal NKRI

Connie Rahakundini Bakrie  ;  President Indonesia Institute for Maritime Studies
                                                KORAN SINDO, 08 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pilihan Presiden Joko Widodo serta kabinetnya untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia(PMD) mewajibkan bangsa ini untuk memiliki kekuatan pertahanan laut dan udara yang bersifat outward looking defense (militer yang mampu digelar melampaui wilayah pertahanan nasional).

Tentunya dalam hal ini juga tetap menuntut pekerjaan rumah terkait inward looking defense (militer yang mampu berpenetrasi ke dalam inti pertahanan nasional). Kedua pola pertahanan tersebut ada dalam sebuah bentuk garis pertahanan vertikal yang berfungsi untuk menghadapi ancaman secara serentak dan bersama dari sebuah kesatuan aspek pertahanan militer maupun nirmiliter.

Meningkatnya transnational crimes seperti illegal logging dan ilegal fishing, penyelundupan barang dan manusia, terorisme, radikalisme, separatisme, pelanggaran wilayah perbatasan, serta kesenjangan dan keterbatasan daya jangkau pemerintah pusat ke daerah termasuk di dalamnya aparat pertahanan, sesungguhnya menuntut perubahan fungsi, tugas, dan peran organisasi penyelenggara pertahanan negara.

Fungsi Kementerian Pertahanan (Kemhan) di daerah yang selama ini ditangani oleh kodam berdasarkan keputusan menhankam sejak 1998, di manatelah menetapkan kodam sebagai PTF (Penyelenggara TugasdanFungsi) pertahanandi daerah, jelas memerlukan “reformasi birokrasi”. Mengapa? Karena peran kodam sebagai alat pertahanan negara, sesungguhnya tidak dapat menjamah urusan pemerintahan daerah.

Itu sebabnya diperlukan proses transformasi fungsi tersebut ke dalam kelembagaan fungsional yang mencakup lingkup fungsi pemerintahan dalam wujud instansi vertikal Kemhan di daerah. Terdapat 11 aspek perundangan dan PP yang dapat dijadikan landasan akan garis instansi vertikal pertahanan ini,

tetapi dua yang utama adalah Peraturan Presiden No 97/2015 tentang Kebijakan Umum PertahananNegara 2014-2019yang sangat menekankan tentang pelibatan pemerintah daerah dalam tugas fungsi pertahanan negara, serta Peraturan Menteri Pertahanan No 97/2015 tertanggal 15 Oktober 2015, tentang organisasi dan tata kerja Kemhan di mana dalam Bab 3 Pasal 5 dicantumkan bahwa Kemhan terdiri juga dari pelaksana Tugas Pertahanan Daerah.

Penyesuaian Kepmenhan dengan prinsip penyelenggaraan negara sebagaimana UU No 3/2002, UU No 39/2008, dan UU No 34/2004 tentang TNI, menghasilkan beberapa keuntungan dalam; 1. Aspek legalitas penyelenggara PTF Kemhan di daerah sehingga tidak lagi terjadi pengabaian dalam peran dan fungsi pertahanan 2. Terwujudnya efektivitas organisasi Kemhan di tingkat pelaksanaan daerah, menekankan akan pentingnya semua kebijakan pertahanan negara untuk juga mampu berproses serta terselenggara di daerah, serta 3. Implementasi kebijakan pertahanan negara akan selalu mampu direspons seluruh institusi fungsional dari pusat hingga daerah.

Wilayah Flash Point dan Daerah Perbatasan

Prioritas pembangunan kantor pertahanan di daerah mengacu pada terdapatnya beraga mancaman yang terjadidi flashpointarea di seluruh wilayah NKRI, utamanya di daerah perbatasan serta pulaupulau terluar ataupun di wilayah rawan konflik komunal baik berbasis ras, suku, agama, dan golongan, serta daerah yang dianggap rawan akan gerakan-gerakan radikalisme dan anarkisme.

Rencana pembangunan kantor pertahanan di daerah didasarkan pada pembinaan sumber daya dan penataan gelar satuan unsur TNI dalam menuju terciptanya Tri Matra Terpadu. Selain itu, berdasarkan peraturan perundangan tentang pengaturan instansi vertikal daerah, di mana wilayah kerja suatu instansi vertikal dapat dilakukan bersamaan dengan wilayah administratif tertentu.

Itu mengapa, pembangunan kantor pertahanan di daerah dalam menjalankan fungsinya sebagai mitra pemda akan berada pada setiap provinsi. Disebabkan wilayah provinsi di seluruh NKRI tidak selalu sama dalam konteks geografi dan demografi, maka Kemhan menyusun klasifikasi wilayah kerja dalam lingkup kompartemen strategis rencana pembangunan pertahanan.

Klasifikasi ini mencakup juga aspek pertimbangan pembangunan kantor pertahanan di daerah dengan landasan efektivitas dan efisiensi pencapaian yang menitikberatkan pada; Prioritas 1 (5 tahun pertama), yaitu pembangunan kantor pertahanan di Pontianak mencakup wilayah administrasi Kalbar dan Kalteng; di Samarinda mencakup wilayah administrasi Kaltim dan Kalsel; di Jayapura mencakup wilayah administrasi Papua dan Papua Barat; diBanda Aceh mencakup wilayah administrasi Aceh Nanggroe Darussalam, serta di Ambon mencakup wilayah administrasi Maluku dan Maluku Utara.

Kemudian disusul oleh Prioritas 2 (5 tahun kedua), yaitu pembangunan kantor pertahanandiPekanbarumencakup wilayah administrasi Riau dan Jambi; di Manado mencakup wilayah administrasi Sulut dan Gorontalo; di Kupang mencakup wilayah administrasi Nusa Tenggara Timur; di Kendari mencakup wilayah administrasi Sulteng; serta di Mataram mencakup wilayah administrasi Nusa Tenggara dan Bali. Selanjutnya akan dibangun secara bertahap di wilayah atau propinsi sesuai dinamika daerah berbanding pada kemampuan anggaran pertahanan.

Mekanisme Hubungan Kerja

Dimensi dan mekanisme hubungan antarinstansi pertahanan sesungguhnya meliputi hubungan antara Presiden, Kemhan, Kementerian Luar Negeri (untuk aspek outward looking defense), serta pemda, TNI, Komando Utama (Kotama) TNI, dan kantor pertahanan di daerah terhadap lembaga fungsional lainnya (untuk aspek inward looking defense).

Hal ini disebabkan lingkup penyelenggaraan pertahanan negara terbagi dalam tiga lingkup, yaitu: lingkup militer, lingkup sipil nonpolitik, serta lingkup politik negara dan politik sipil. Lingkup militer mencakup akan kewenangan, kebijakan, dan operasionalisasi dalam lingkup internal TNI yang bersifat nonpolitik dan tidak memerlukan persetujuan politik (military professional ethic).

Sementara di lain sisi, lingkup politik pertahanan negara adalah kewenangan untuk membuat kebijakan pertahanan negara melalui proses kebijakan politik dan dilakukan oleh lembaga yang memiliki otoritas politik dalam hal ini adalah Kementerian Pertahanan yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyinergikan semua upaya pertahanan untuk mampu diimplementasikan dalam aspek militer dan nirmiliter sejak pusat hingga ke daerah.

Peran dan fungsi kantor pertahanan di daerah karenanya akan memiliki dua fungsi. Fungsi vertikalbersifat top downdimana kebijakan pertahanan negara yang telah ditetapkan di pusat harus juga dapat diimplementasikan di daerah. Dengan ini, fungsi kepala kantor pertahanan sebagai pengemban kekuasaan dari pemerintah pusat bersifat absolut, yaitu sebagai regulator sekaligus pengendali dalam mengatur, mengontrol, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan pertahanan di daerah.

Sementara fungsi horizontal kantor pertahanan di daerah, bertugas untuk menyosialisasikan pemahaman kebijakan pertahanan negara untuk mampu meraih dukungan pemerintah dan unsur legislatif daerah. Selain juga berfungsi sebagai konsultan pertahanan yang mampu mengakomodasi, mengordinasi, serta memfasilitasi program kepentingan pertahanan, sehingga kewajiban pemda dalam mempersiapkan pertahanan dapat tersosialisasi dan terwujud.

Dengan terbentuknya garis pertahanan vertikal ini, ancamandari dinamikaglobal, regional, dan nasional yang terus berkembang diharapkan dapat teratasi dengan tepat cara, tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu. Bukankah perdamaian dan keamanan kawasan dan dunia tidak mungkin akan dapat terwujud tanpa keamanan dan kedamaian di wilayah kedaulatan NKRI sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar