Garis Pertahanan Vertikal NKRI
Connie Rahakundini Bakrie ; President Indonesia Institute for Maritime
Studies
|
KORAN
SINDO, 08 Desember 2015
Pilihan Presiden Joko
Widodo serta kabinetnya untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia(PMD)
mewajibkan bangsa ini untuk memiliki kekuatan pertahanan laut dan udara yang
bersifat outward looking defense
(militer yang mampu digelar melampaui wilayah pertahanan nasional).
Tentunya dalam hal ini
juga tetap menuntut pekerjaan rumah terkait inward looking defense (militer yang mampu berpenetrasi ke dalam
inti pertahanan nasional). Kedua pola pertahanan tersebut ada dalam sebuah
bentuk garis pertahanan vertikal yang berfungsi untuk menghadapi ancaman
secara serentak dan bersama dari sebuah kesatuan aspek pertahanan militer
maupun nirmiliter.
Meningkatnya transnational crimes seperti illegal logging dan ilegal fishing, penyelundupan barang
dan manusia, terorisme, radikalisme, separatisme, pelanggaran wilayah
perbatasan, serta kesenjangan dan keterbatasan daya jangkau pemerintah pusat
ke daerah termasuk di dalamnya aparat pertahanan, sesungguhnya menuntut
perubahan fungsi, tugas, dan peran organisasi penyelenggara pertahanan negara.
Fungsi Kementerian
Pertahanan (Kemhan) di daerah yang selama ini ditangani oleh kodam
berdasarkan keputusan menhankam sejak 1998, di manatelah menetapkan kodam
sebagai PTF (Penyelenggara TugasdanFungsi) pertahanandi daerah, jelas
memerlukan “reformasi birokrasi”. Mengapa? Karena peran kodam sebagai alat
pertahanan negara, sesungguhnya tidak dapat menjamah urusan pemerintahan
daerah.
Itu sebabnya
diperlukan proses transformasi fungsi tersebut ke dalam kelembagaan
fungsional yang mencakup lingkup fungsi pemerintahan dalam wujud instansi
vertikal Kemhan di daerah. Terdapat 11 aspek perundangan dan PP yang dapat
dijadikan landasan akan garis instansi vertikal pertahanan ini,
tetapi dua yang utama
adalah Peraturan Presiden No 97/2015 tentang Kebijakan Umum PertahananNegara
2014-2019yang sangat menekankan tentang pelibatan pemerintah daerah dalam
tugas fungsi pertahanan negara, serta Peraturan Menteri Pertahanan No 97/2015
tertanggal 15 Oktober 2015, tentang organisasi dan tata kerja Kemhan di mana
dalam Bab 3 Pasal 5 dicantumkan bahwa Kemhan terdiri juga dari pelaksana
Tugas Pertahanan Daerah.
Penyesuaian Kepmenhan
dengan prinsip penyelenggaraan negara sebagaimana UU No 3/2002, UU No
39/2008, dan UU No 34/2004 tentang TNI, menghasilkan beberapa keuntungan
dalam; 1. Aspek legalitas penyelenggara PTF Kemhan di daerah sehingga tidak
lagi terjadi pengabaian dalam peran dan fungsi pertahanan 2. Terwujudnya
efektivitas organisasi Kemhan di tingkat pelaksanaan daerah, menekankan akan
pentingnya semua kebijakan pertahanan negara untuk juga mampu berproses serta
terselenggara di daerah, serta 3. Implementasi kebijakan pertahanan negara
akan selalu mampu direspons seluruh institusi fungsional dari pusat hingga
daerah.
Wilayah Flash Point dan Daerah Perbatasan
Prioritas pembangunan
kantor pertahanan di daerah mengacu pada terdapatnya beraga mancaman yang
terjadidi flashpointarea di seluruh wilayah NKRI, utamanya di daerah
perbatasan serta pulaupulau terluar ataupun di wilayah rawan konflik komunal
baik berbasis ras, suku, agama, dan golongan, serta daerah yang dianggap
rawan akan gerakan-gerakan radikalisme dan anarkisme.
Rencana pembangunan
kantor pertahanan di daerah didasarkan pada pembinaan sumber daya dan
penataan gelar satuan unsur TNI dalam menuju terciptanya Tri Matra Terpadu.
Selain itu, berdasarkan peraturan perundangan tentang pengaturan instansi
vertikal daerah, di mana wilayah kerja suatu instansi vertikal dapat
dilakukan bersamaan dengan wilayah administratif tertentu.
Itu mengapa,
pembangunan kantor pertahanan di daerah dalam menjalankan fungsinya sebagai
mitra pemda akan berada pada setiap provinsi. Disebabkan wilayah provinsi di
seluruh NKRI tidak selalu sama dalam konteks geografi dan demografi, maka
Kemhan menyusun klasifikasi wilayah kerja dalam lingkup kompartemen strategis
rencana pembangunan pertahanan.
Klasifikasi ini
mencakup juga aspek pertimbangan pembangunan kantor pertahanan di daerah
dengan landasan efektivitas dan efisiensi pencapaian yang menitikberatkan
pada; Prioritas 1 (5 tahun pertama), yaitu pembangunan kantor pertahanan di
Pontianak mencakup wilayah administrasi Kalbar dan Kalteng; di Samarinda
mencakup wilayah administrasi Kaltim dan Kalsel; di Jayapura mencakup wilayah
administrasi Papua dan Papua Barat; diBanda Aceh mencakup wilayah
administrasi Aceh Nanggroe Darussalam, serta di Ambon mencakup wilayah
administrasi Maluku dan Maluku Utara.
Kemudian disusul oleh
Prioritas 2 (5 tahun kedua), yaitu pembangunan kantor
pertahanandiPekanbarumencakup wilayah administrasi Riau dan Jambi; di Manado
mencakup wilayah administrasi Sulut dan Gorontalo; di Kupang mencakup wilayah
administrasi Nusa Tenggara Timur; di Kendari mencakup wilayah administrasi
Sulteng; serta di Mataram mencakup wilayah administrasi Nusa Tenggara dan
Bali. Selanjutnya akan dibangun secara bertahap di wilayah atau propinsi
sesuai dinamika daerah berbanding pada kemampuan anggaran pertahanan.
Mekanisme Hubungan Kerja
Dimensi dan mekanisme
hubungan antarinstansi pertahanan sesungguhnya meliputi hubungan antara
Presiden, Kemhan, Kementerian Luar Negeri (untuk aspek outward looking defense), serta pemda, TNI, Komando Utama
(Kotama) TNI, dan kantor pertahanan di daerah terhadap lembaga fungsional
lainnya (untuk aspek inward looking
defense).
Hal ini disebabkan
lingkup penyelenggaraan pertahanan negara terbagi dalam tiga lingkup, yaitu:
lingkup militer, lingkup sipil nonpolitik, serta lingkup politik negara dan
politik sipil. Lingkup militer mencakup akan kewenangan, kebijakan, dan
operasionalisasi dalam lingkup internal TNI yang bersifat nonpolitik dan
tidak memerlukan persetujuan politik (military
professional ethic).
Sementara di lain
sisi, lingkup politik pertahanan negara adalah kewenangan untuk membuat
kebijakan pertahanan negara melalui proses kebijakan politik dan dilakukan
oleh lembaga yang memiliki otoritas politik dalam hal ini adalah Kementerian
Pertahanan yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyinergikan semua
upaya pertahanan untuk mampu diimplementasikan dalam aspek militer dan
nirmiliter sejak pusat hingga ke daerah.
Peran dan fungsi
kantor pertahanan di daerah karenanya akan memiliki dua fungsi. Fungsi vertikalbersifat
top downdimana kebijakan pertahanan negara yang telah ditetapkan di pusat
harus juga dapat diimplementasikan di daerah. Dengan ini, fungsi kepala
kantor pertahanan sebagai pengemban kekuasaan dari pemerintah pusat bersifat
absolut, yaitu sebagai regulator sekaligus pengendali dalam mengatur,
mengontrol, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan pertahanan di daerah.
Sementara fungsi
horizontal kantor pertahanan di daerah, bertugas untuk menyosialisasikan
pemahaman kebijakan pertahanan negara untuk mampu meraih dukungan pemerintah
dan unsur legislatif daerah. Selain juga berfungsi sebagai konsultan
pertahanan yang mampu mengakomodasi, mengordinasi, serta memfasilitasi
program kepentingan pertahanan, sehingga kewajiban pemda dalam mempersiapkan
pertahanan dapat tersosialisasi dan terwujud.
Dengan terbentuknya
garis pertahanan vertikal ini, ancamandari dinamikaglobal, regional, dan
nasional yang terus berkembang diharapkan dapat teratasi dengan tepat cara,
tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu. Bukankah perdamaian dan keamanan
kawasan dan dunia tidak mungkin akan dapat terwujud tanpa keamanan dan
kedamaian di wilayah kedaulatan NKRI sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar