Pilkada dan Manusia Indonesia
Philips Vermonte ; Ketua Departemen Politik dan Hubungan
Internasional Centre for Strategic and International Studies; Meraih Gelar
PhD di Northern Illinois University
|
KOMPAS,
08 Desember 2015
Pemilihan kepala
daerah serentak adalah momen politik yang strategis dan penting. Presiden
Joko Widodo pun mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2015 yang
mengatur hari pemungutan suara tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur
nasional. Itu dimaksudkan untuk mendorong partisipasi seluas-luasnya
masyarakat pemilih dalam pilkada serentak di sembilan provinsi dan 260
kabupaten/kota.
Pilkada langsung
adalah anak kandung dari program otonomi daerah. Salah satu tonggak penting
dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah adalah UU No
32/2004 tentang Pemerintah Daerah serta sejumlah perppu dan UU lain untuk
menyempurnakannya. Dengan UU itu, sejumlah urusan wajib pemerintahan dibagi
antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi, dengan memperhatikan keserasian hubungan
antarsusunan pemerintahan.
Desentralisasi politik
Otonomi daerah membuka
banyak peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk
melaksanakan urusan wajib pemerintahan. Salah satunya adalah dalam
pengelolaan pendidikan. UU tersebut dan sejumlah peraturan pemerintah lainnya
memberi landasan yang tegas bahwa semangat ”20 persen anggaran untuk
pendidikan” sebagaimana telah dipenuhi di APBN juga harus tecermin dalam APBD
kabupaten/kota.
Pertanyaan pentingnya
adalah 1) bagaimana wajah pendidikan di kabupaten/kota saat ini, 2) apakah
pilkada bisa menjadi pintu masuk bagi perbaikan penyelenggaraan pendidikan
kita secara menyeluruh di setiap daerah.
Terkait dengan dua
pertanyaan di atas, Pasal 5 Ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dengan tegas telah menyebutkan bahwa ”setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Beberapa data berikut
bisa memberikan gambaran situasi mutu dan penyelenggaraan pendidikan kita.
Data UNESCO Institute for Statistics (2013) menunjukkan bahwa angka melek
huruf di Indonesia telah meningkat secara pesat. Selama beberapa tahun
tercatat persentase melek huruf Indonesia adalah 81,5 persen (tahun 1990),
90,4 persen (2004), 92,8 persen (2011), dan 93,7 persen (proyeksi untuk tahun
2015). Meskipun begitu, toh, banyak anak-anak di pelosok Indonesia belum
mendapat layanan pendidikan yang memadai. Pemerataan guru masih menjadi
kendala. Di beberapa tempat banyak sekolah kelebihan guru, sementara sejumlah
sekolah di daerah terpencil justru kekurangan guru berkualitas.
Selain belum meratanya
distribusi guru, beberapa masalah lain yang telah berlangsung bertahun-tahun
dari pemerintahan ke pemerintahan masih memerlukan kerja besar untuk
perbaikan. Rendahnya skor para guru dalam uji kompetensi guru, tingkat
ketidakhadiran guru (teacher absenteeism) yang masih cukup tinggi, rendahnya
prestasi siswa Indonesia dalam tes berstandar internasional, seperti TIMMS dan
PISA, dan rendahnya minat baca di negeri ini yang hanya 0,001 persen (menurut
UNESCO, 2012) adalah beberapa di antara hal lain yang harus diatasi bersama.
Memajukan sistem
pendidikan di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia dengan 253,6 juta penduduk, merupakan tugas amat berat. Tak heran,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada akhir 2014 menyatakan
bahwa pendidikan Indonesia dalam kondisi ”gawat darurat”.
Pada dasarnya,
pemerintahan pusat yang telah berganti-ganti juga telah mengeluarkan beragam
aturan sebagai turunan dari UU No 20/2003, yang antara lain mengamanatkan
setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar.
UU tersebut jugatelah
mengatur hak dan kewajiban para pemangku kepentingan terkait pendidikan
dasar, termasuk orangtua murid, komunitas, serta pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, demi memastikan bahwa setiap anak berhak mendapatkan
pendidikan bermutu.
Yang juga penting
adalah bahwa UU tersebut juga menekankan pentingnya standar nasional
pendidikan sebagai upaya untuk menjamin mutu pendidikan di seluruh wilayah
Indonesia. Dalam konteks desentralisasi, pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah (PP) No 38/ 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, juga PP No 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Dua aturan ini menjadi
landasan bagi penerapan SPM untuk sejumlah sektor yang harus dipenuhi di
seluruh Indonesia, termasuk sektor pendidikan, dan sejatinya merupakan
kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkannya
SPM pendidikan dasar
(SPM dikdas) telah diatur dalam Permendiknas No 15/2010 dan kemudian diubah melalui
Permendikbud No 23/2013 menekankan bahwa seluruh wilayah Indonesia diharapkan
memenuhi SPM dikdas secara penuh pada akhir tahun 2014. Dengan aturan
tersebut, SPM dikdas merupakan salah satu indikator kinerja utama bagi
pemerintah kabupaten/kota dalam sektor pendidikan, khususnya pendidikan
dasar. Ironisnya, pada pemetaan terhadap 40.000 sekolah pada 2012, ditemukan
bahwa 75 persen di antaranya belum memenuhi standar pelayanan minimal!
Kualitas pendidikan
Pilkada serentak ini
adalah arena strategis untuk mengingatkan para kandidat dan pemilih bahwa
komitmen kandidat kepala daerah terhadap SPM, termasuk SPM dikdas, adalah
sangat penting dan pada waktunya perlu ditagih pelaksanaannya oleh pemenang
pilkada. Para kandidat (dan pemilih) sangat perlu untuk memahami bahwa
pemerintah kabupaten/kota mempunyai amanat konstitusional untuk memenuhi 14
indikator SPM dikdas yang mencakup akses, infrastruktur, kepegawaian, dan
pengelolaan pendidikan dasar di daerah. Dengan adanya indikator ini, tentu
sudah tak pas lagi kalau kita mendengar ada sekolah yang dipimpin mantan tim
sukses seorang kepala daerah meskipun pendidikannya tidak memenuhi SPM yang
mengisyaratkan sarjana S-1 atau D-4, misalnya.
Masih banyak aspek
lain yang harus dipenuhi oleh pemerintah kabupaten/kota, termasuk memastikan
porsi anggaran untuk pendidikan sedikitnya 20 persen di daerahnya. Para
kandidat kepala daerah dalam pilkada serentak 2015 harus berkomitmen kuat
untuk menjawab evaluasi Bappenas tahun 2012 yang menunjukkan bahwa kebanyakan
pemerintah daerah di Indonesia memiliki pemahaman yang terbatas mengenai SPM
dikdas serta motivasi dan kapasitas yang rendah untuk melaksanakan SPM itu.
Juga penting bagi
pemilih bahwa para kepala daerah yang terpilih kelak bisa memastikan tanggung
jawab beratnya untuk menjamin pemerataan distribusi guru di daerahnya sebagai
implementasi SPM dikdas. Melalui pembenahan SPM dikdas, setiap anak Indonesia
dari Sabang sampai Merauke bisa mendapatkan layanan minimal yang sama di
bidang pendidikan. Pilkada serentak 2015 adalah saat yang tepat untuk
mengingatkan komitmen memperjuangkan pelayanan pendidikan untuk memenuhi hak
anak-anak Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar