Senin, 07 Desember 2015

Peta

Peta

Goenawan Mohamad  ;  Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                   TEMPO.CO, 07 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hidup bukan peta yang dibingkai. Tapi manusia agaknya mudah melupakan itu, ketika sejarah jadi sebuah cerita yang sudah selesai—sebelum penaklukan.
Ada sebuah anekdot dari abad ke-18, ketika orang-orang Eropa berlayar ke pelbagai penjuru bumi sebagai penjelajah dan kemudian (atau sekaligus) sebagai penjajah. Suatu hari pada 1787, La Pérouse, panglima armada Prancis, setelah mengarungi Lautan Teduh selama 100 hari, tiba di Tiongkok. Ini bisa dikatakan ekspedisi keilmuan: La Pérouse membawa 10 ilmuwan. Mereka ingin membuat peta garis pantai Pulau Sakhalin.

Syahdan, seorang penduduk setempat memberi tahunya dengan cara sederhana: menggariskan tongkatnya ke pasir, membuat sebuah gambar. Ia tak peduli akankah peta yang dicoretkannya terhapus hujan. La Pérouse, yang datang dari dunia lain, dengan segera meniru gambar itu dengan pensil dan merekamnya di buku catatan.

Kelak, dengan peta semacam itulah para ilmuwan menelaah bumi dan imperialisme Eropa menjangkau dunia. Jagat pun diletakkan sebagai pigura, diawetkan, diukur, dijangka; langsung atau tak langsung dikuasai.

Sejak itu, manusia, "aku", muncul sebagai yang mengetahui dan menguasai. Ia sang pengendali. Sejak itu, bumi dan alam raya tak bertaut lagi dengan "aku", melainkan membisu: benda yang ditatap.

Sejak itu, tak diakui lagi mantra:


Bulat batu kubula bulat

Bulat batang padi

Aku tahu asal kau ulat

Mate beras mare kau menjadi


Dalam mantra, "aku" dengan alam flora dan fauna tak berjarak, bahkan saling menyusupi. Batu, batang padi, ulat, beras, semua bagian dari "aku"—dan "aku" bagian dari mereka. Manusia tak berhadap-hadapan dengan alam; ia hidup jauh di dalamnya.

Tapi semua itu berubah sekarang. Dalam peta, "aku" berada dengan jarak tertentu dari ruang di mana "aku" ada, dan "aku" menatap ke ruang di mana "aku" ada. Inilah, kata Heidegger, "Zaman Gambar Dunia", die Zeit des Weltbildes.

Di zaman ini, bumi diwakili gambar. Praktis, bumi adalah gambar. Gambar itu adalah "representasi"—sesuatu yang menggantikan yang tak hadir, dan sekaligus sesuatu yang seakan-akan dihadirkan lagi, meskipun sebenarnya tidak: berbeda dengan kehidupan di tengah alam, gambar itu mandek, tetap, riwayatnya selesai. Diletakkan dalam posisi itu ia bisa dianalisis, dihitung unsur-unsurnya, diteliti.

Demikianlah dunia yang tak lagi percaya mantra datang dengan paradigma baru: apa-yang-ada di alam dan apa-yang-ada dalam diriku bukan sesuatu yang ada bersama iklim dan sejarah, melainkan data yang diam, tak berubah—tapi dapat dibawa melintasi ruang dan waktu. Bruno Latour, pemikir Prancis yang banyak membahas ilmu-ilmu pasti dan alam, menyebutnya mobile immuables.

Latour menggambarkannya dari pengalaman bekerja di laboratorium. Di sana, ilmuwan mengubah tikus-tikus dan bahan kimia jadi bagian dari karya ilmiah. Dalam laboratorium, kata Latour, "Tiap hal dan apa saja dijadikan inskripsi." Inskripsi itu immuable (tak bisa diubah), tapi mobile (bisa berpindah)—untuk dipergunakan—dari laboratorium yang satu ke laboratorium yang lain.
Rumus kimia, hasil sensus, opini publik, ketimpangan sosial, kesetaraan gender—semua bisa direpresentasikan dengan itu.

Yang dikemukakan Latour tepat dan menarik, tapi agaknya ia hanya melihat gejala di dunia ilmu dan teknologi. Ia tak melihat mobile immuables juga berlaku di dunia ideologi dan agama—yang juga punya asumsi bahwa hidup hanya bisa diketahui bila dibingkai (Gestell, dalam istilah Heidegger)—bukan dibingkai sistem dan prosedur laboratorium, tapi dengan kerangka dogma dan dalil. Dengan bingkai itu hidup sepenuhnya dijelaskan dengan hukum-hukum yang permanen. Mobile immuables, seperti halnya hukum bagi kaum Fundamentalis, hanya mengenal yang sama, dengan ilusi bahwa tak akan ada hal yang tak diduga. Yang ganjil dianggap salah dan ditenggelamkan.

Namun tatapan yang represif itu tak bisa mutlak. Manusia tak hanya berada dalam peta yang dibingkai dan kanvas yang statis. Ia punya apa yang saya sebut "ruang puitik", di mana berkecamuk segala yang tak-dapat-diperhitungkan, di mana segala yang-tak-pasti melontarkan bayang-bayangnya.

Maka manusia selalu bisa menghirup udara di luar barisan mobile immuables 
yang tak mengakui ilusinya sendiri.

Dunia, kata Latour mengingatkan kita, bukanlah sebuah benua yang padat-padu yang di sana-sini diselingi "telaga ketidakpastian". Dunia adalah sebuah "lautan ketidakpastian". Adapun bentuk-bentuk yang stabil, yang ditimbang dan diukur dengan tertib, hanya sesekali muncul.

Di "ruang puitik" bisa kita tangkap gema baris-baris sajak Chairil Anwar untuk Gadis Rasid: mari kita lepas jiwa mencari jadi merpati/ terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar