Senin, 07 Desember 2015

Mundur


Mundur

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 04 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lama tak jumpa, saya langsung mencium tangan Romo Imam begitu tiba di padepokannya. Biasa menghormati orang lebih tua, kami menyebutnya dengan istilah salim. "Saya malah ingin salim dengan Pak Sigit yang lebih muda," ujar Romo.

Siapa Pak Sigit? Setelah kami duduk, Romo menjelaskan, "Sigit Priadi Pramudito, direktur jenderal pajak yang mengundurkan diri itu. Dia layak dihormati, dia menjadi teladan. Dia membuat hidupnya lebih tenang."

Saya tersentak. "Dia gagal mencapai target penerimaan pajak tahun ini. Target Rp 1.294 triliun baru tercapai sekitar Rp 828,93 triliun," kata saya. "Pengunduran dirinya sebagai bentuk tanggung jawab ketidakberhasilannya. Begitu dia menulis pesan. Apakah dia kita jadikan pahlawan, Romo?"

"Oh, tidak," sahut Romo cepat. "Orang gagal itu wajar saja. Terlepas dari target yang diberikan tidak realistis pada saat ekonomi melemah, Pak Sigit sudah berjuang, tetapi gagal. Pengakuan gagal itu yang harus dipuji, apalagi kemudian mundur memberi kesempatan kepada orang lain."

"Apakah ada tanda-tanda Ketua DPR mengundurkan diri?" tiba-tiba Romo serius. Saya pun jadi serius, "Belum Romo, kasus 'Papa Minta Saham' ini masih disidangkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Masih bertele-tele...." Romo menepuk meja, "Jangan sebut-sebut mahkamah itu, jangan kaitkan dengan saham dan catut-mencatut itu."

Saya pun diam. Heran juga Romo mendadak kurang humor. "Saya tak mau dengar kasus itu, mahkamah etika itu, catut nama presiden dan beli jet pribadi itu. Sidang mahkamah itu dagelan politik, mau memposisikan diri jadi hakim tapi tak mengerti aturan persidangan. Mencatut nama presiden dan wakil presiden itu urusan pidana. Pertemuan yang direkam itu permufakatan jahat yang mengarah ke korupsi. Ini skandal besar yang harus ditangani kepolisian, kejaksaan, atau malah Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa harus ada sang pengadu. Tak ada kaitan dengan itu."

"Kalau bukan kasus itu, lalu kasus apa yang mengharuskan Ketua DPR mundur?" tanya saya. Romo menenangkan diri dengan minum, lalu bicara panjang, "Ya, seperti Pak Sigit itu, gagal dengan tugas pokoknya, lalu mengundurkan diri memberi kesempatan kepada orang lain. Tugas pokok DPR apa? Legislasi, anggaran, pengawasan. Berapa target undang-undang tahun ini? Konon sekitar 137 buah. Berapa selesai? Di bawah 10 dan itu pun kebanyakan berawal dari perpu, artinya materinya sudah terpapar. Target pajak minimal yang harus dicapai Pak Sigit cukup 85 persen. Tapi sampai akhir tahun diperkirakan hanya bisa mencapai 82 persen. Kurang 3 persen saja Pak Sigit sudah mundur. Di parlemen, berapa persen undang-undang yang dihasilkan? Tak sampai 10 persen. Ini berarti Ketua DPR gagal total menggerakkan anggotanya untuk bekerja yang normal. Mungkin kepemimpinannya tak baik. Mungkin terlalu sering ditinggal untuk mencari proyek sampingan. Kalau begitu, seharusnya mundur dan beri kesempatan yang lain memimpin."

Romo berhenti dan saya menarik napas panjang. "Kalau begitu ukuran seorang pejabat harus mundur, banyak sekali pejabat di negeri ini yang harus mundur. Jangankan tugas tak mencapai target, sudah nyata-nyata Ketua DPR melanggar etika dan merecoki urusan eksekutif, malah masih bertahan dan mengumpulkan anak buahnya untuk membela. Romo harus menonton sidang mahkamah etika di DPR."

Romo memotong, "Sudah saya bilang, jangan sebut-sebut mahkamah itu lagi. Sidang itu membuat Ketua DPR makin tak punya harga diri dan ia akan menjadi seonggok sampah. Para pembelanya di DPR pun menggali kuburnya sendiri."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar