Mundur
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
04 Desember 2015
Lama tak jumpa, saya langsung mencium tangan
Romo Imam begitu tiba di padepokannya. Biasa menghormati orang lebih tua,
kami menyebutnya dengan istilah salim. "Saya malah ingin salim dengan
Pak Sigit yang lebih muda," ujar Romo.
Siapa Pak Sigit? Setelah kami duduk, Romo
menjelaskan, "Sigit Priadi Pramudito, direktur jenderal pajak yang
mengundurkan diri itu. Dia layak dihormati, dia menjadi teladan. Dia membuat hidupnya
lebih tenang."
Saya tersentak. "Dia gagal mencapai
target penerimaan pajak tahun ini. Target Rp 1.294 triliun baru tercapai
sekitar Rp 828,93 triliun," kata saya. "Pengunduran dirinya sebagai
bentuk tanggung jawab ketidakberhasilannya. Begitu dia menulis pesan. Apakah
dia kita jadikan pahlawan, Romo?"
"Oh, tidak," sahut Romo cepat.
"Orang gagal itu wajar saja. Terlepas dari target yang diberikan tidak
realistis pada saat ekonomi melemah, Pak Sigit sudah berjuang, tetapi gagal.
Pengakuan gagal itu yang harus dipuji, apalagi kemudian mundur memberi
kesempatan kepada orang lain."
"Apakah ada tanda-tanda Ketua DPR
mengundurkan diri?" tiba-tiba Romo serius. Saya pun jadi serius,
"Belum Romo, kasus 'Papa Minta Saham' ini masih disidangkan oleh
Mahkamah Kehormatan Dewan. Masih bertele-tele...." Romo menepuk meja,
"Jangan sebut-sebut mahkamah itu, jangan kaitkan dengan saham dan
catut-mencatut itu."
Saya pun diam. Heran juga Romo mendadak kurang
humor. "Saya tak mau dengar kasus itu, mahkamah etika itu, catut nama
presiden dan beli jet pribadi itu. Sidang mahkamah itu dagelan politik, mau
memposisikan diri jadi hakim tapi tak mengerti aturan persidangan. Mencatut
nama presiden dan wakil presiden itu urusan pidana. Pertemuan yang direkam
itu permufakatan jahat yang mengarah ke korupsi. Ini skandal besar yang harus
ditangani kepolisian, kejaksaan, atau malah Komisi Pemberantasan Korupsi
tanpa harus ada sang pengadu. Tak ada kaitan dengan itu."
"Kalau bukan kasus itu, lalu kasus apa
yang mengharuskan Ketua DPR mundur?" tanya saya. Romo menenangkan diri
dengan minum, lalu bicara panjang, "Ya, seperti Pak Sigit itu, gagal
dengan tugas pokoknya, lalu mengundurkan diri memberi kesempatan kepada orang
lain. Tugas pokok DPR apa? Legislasi, anggaran, pengawasan. Berapa target
undang-undang tahun ini? Konon sekitar 137 buah. Berapa selesai? Di bawah 10
dan itu pun kebanyakan berawal dari perpu, artinya materinya sudah terpapar.
Target pajak minimal yang harus dicapai Pak Sigit cukup 85 persen. Tapi
sampai akhir tahun diperkirakan hanya bisa mencapai 82 persen. Kurang 3
persen saja Pak Sigit sudah mundur. Di parlemen, berapa persen undang-undang
yang dihasilkan? Tak sampai 10 persen. Ini berarti Ketua DPR gagal total
menggerakkan anggotanya untuk bekerja yang normal. Mungkin kepemimpinannya
tak baik. Mungkin terlalu sering ditinggal untuk mencari proyek sampingan.
Kalau begitu, seharusnya mundur dan beri kesempatan yang lain memimpin."
Romo berhenti dan saya menarik napas panjang.
"Kalau begitu ukuran seorang pejabat harus mundur, banyak sekali pejabat
di negeri ini yang harus mundur. Jangankan tugas tak mencapai target, sudah
nyata-nyata Ketua DPR melanggar etika dan merecoki urusan eksekutif, malah
masih bertahan dan mengumpulkan anak buahnya untuk membela. Romo harus menonton
sidang mahkamah etika di DPR."
Romo memotong, "Sudah saya bilang, jangan
sebut-sebut mahkamah itu lagi. Sidang itu membuat Ketua DPR makin tak punya
harga diri dan ia akan menjadi seonggok sampah. Para pembelanya di DPR pun
menggali kuburnya sendiri." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar