Perubahan Arus Lingkungan Strategis Indonesia
Evan A Laksmana ; Peneliti CSIS;
Kandidat Doktor Maxwell School of
Citizenship and Public Affairs, Syracuse University
|
KOMPAS,
09 Desember 2015
Dalam Rapat Koordinasi
Nasional Pertahanan Negara 2015, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
mengatakan, ancaman militer dan perang terbuka tak lagi dominan. Sebaliknya,
ancaman nonmiliter, seperti terorisme, separatisme, narkoba, dan lain-lain,
merupakan ancaman nyata (Kompas, 4/12).
Tentu sulit membantah
bahwa persinggungan-dan kaburnya perbatasan-berbagai ancaman tradisional dan
nontradisional sudah menjadi salah satu karakteristik utama lingkungan
strategis Indo-Pasifik sejak 1990-an. Akibatnya, berbagai analisis pertahanan
kita sering berangkat dari asumsi situasi lingkungan strategis kita akan
stabil dan adem ayem dan kita harus lebih fokus kepada berbagai ancaman
domestik.
Namun, beberapa tahun
terakhir, empat perubahan arus strategis di kawasan mengharuskan kita
mengkaji ulang asumsi ini. Pertama, kembalinya pertarungan politik
negara-negara besar di tengah melemahnya berbagai institusi kawasan. Perang
Amerika Serikat di Irak dan Afganistan, dan lalu munculnya Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS), telah menggoyahkan stabilitas sistem internasional
dan mendorong berbagai kekuatan kawasan, seperti Tiongkok dan Rusia, untuk
menjalankan politik luar negeri agresif dan revisionis. Menguatnya peran
ekonomi dan militer Tiongkok juga mendorong "normalisasi" Jepang
sebagai kekuatan militer dan peningkatan peran keamanan dan politik India dan
Australia di kawasan.
Pada saat yang sama,
peran ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang dan pembentuk arsitektur keamanan
regional makin menurun di tengah berbagai persoalan sengketa wilayah dan
kegagalan menyelesaikan berbagai krisis, seperti pengungsi Rohingya. Belum
lagi tajamnya perbedaan politik dan ekonomi antarnegara Asia Tenggara maritim
(Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura) dan daratan (Kamboja, Myanmar,
Laos, Vietnam, Thailand) yang digunakan Tiongkok untuk memecah-belah ASEAN.
Kedua, berbagai
ancaman militer itu dapat muncul terutama di kawasan sengketa, seperti Laut
Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan, yang makin memanas. Saat ini,
rivalitas tingkat pertama (first order)
antara AS dan Tiongkok lebih menentukan arah strategis rivalitas tingkat
kedua (second order) antara,
misalnya, Tiongkok dan Jepang, atau India dan Tiongkok. Artinya, tidak hanya
tangga eskalasi ketegangan dikendalikan Washington DC dan Beijing yang
mempunyai berbagai kepentingan yang berseberangan, tetapi hakikat
menang-kalah (zero sum) sengketa
wilayah makin menitikberatkan peran kekuatan militer.
Belanja militer
Makin sentralnya
sengketa maritim ini terjadi saat negara-negara kawasan meningkatkan belanja
militer untuk ikut serta dalam berbagai lompatan teknologi militer. Perubahan
bentang alam teknologi militer regional ini, dengan makin canggihnya sistem
dan jaringan teknologi militer akan kian mengaburkan batasan antara alutsista
yang berkarakteristik ofensif dan defensif.
Padahal, banyak
analisis lingkungan strategis berangkat dari asumsi perbedaan keseimbangan
teknologi militer ofensif-defensif. Akibatnya, risiko misinterpretasi dan
miskalkulasi pembangunan militer di tengah krisis kawasan lebih mungkin
terjadi.
Ketiga, makin
menguatnya integrasi dan saling keterikatan ekonomi antarnegara kawasan, baik
melalui institusi-institusi regional, seperti Kawasan Perdagangan Bebas
ASEAN-Tiongkok atau Masyarakat Ekonomi ASEAN, maupun lewat berbagai
perjanjian bilateral. Dalam kalkulasi ekonomi liberal-institusionalis, makin
eratnya integrasi ekonomi ini seharusnya meningkatkan kemakmuran bersama yang
lalu seharusnya makin menurunkan kemungkinan ancaman militer. Namun, berbagai
studi terkini menunjukkan efek sebaliknya.
Dale Copeland, dalam Economic Interdependence and War
(2015), menunjukkan, bila para pemimpin politik mempunyai harapan negatif
akan masa depan lingkungan perdagangan, rasa takut kehilangan akses bahan
mentah dan pasar akan mendorong mereka memulai krisis politik atas nama
kepentingan niaga, terlepas dari eratnya integrasi ekonomi yang ada.
Dalam konteks
Indo-Pasifik, rasa takut akan masa depan masih dapat muncul di tengah
ketidakpastian pasar keuangan dunia dan komoditas. Selain itu, konteks
politik domestik mendominasi kalkulasi para pemimpin politik. Hal ini relevan
ketika kita melihat arus strategis terakhir: belum selesainya transisi
generasi pemimpin politik kawasan. Meski lebih dari 60 persen populasi kaum
muda (15-24 tahun) dunia berada di kawasan ini (sekitar 750 juta), sebagian
besar pemimpinnya berusia lebih dari 60 tahun.
Jenjang generasi
politik ini dapat menjadi masalah strategis kawasan ketika, misalnya,
gelombang arus nasionalisme muncul di tengah berbagai sengketa wilayah dan
mendorong beberapa pemerintah untuk mengambil kebijakan garis keras dalam
sebuah krisis militer.
Dalam kondisi
melemahnya institusi regional, menguatnya berbagai rivalitas strategis,
meningkatnya integrasi ekonomi saat ketakutan masa depan perdagangan masih
kuat, dan tersendatnya transisi generasi pemimpin politik, ancaman militer
kawasan justru makin nyata. Oleh sebab itu, sebagai pengejawantahan konsep
bela negara, pemerintah perlu mulai merumuskan kebijakan transformasi
pertahanan yang terintegrasi dengan kebijakan luar negeri yang pro aktif dan
pragmatis.
Transformasi
pertahanan bukan sekadar beli senjata, melainkan juga merombak sistem
pendidikan dan pelatihan, manajemen personel, perkembangan doktrin, kesiagaan
operasi tiga matra, dan lain-lain. Politik luar negeri pro aktif tak sekadar
menunggu krisis, tetapi secara aktif mengantisipasi kemungkinan terburuk dan
membangun jaringan dan investasi politik dan diplomasi secara konsisten dan
koheren. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar