Mantra Politik di Balik Skandal
Haryatmoko ; Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
09 Desember 2015
Skandal "papa
minta saham" membuktikan bahwa selama ini politik di Indonesia sudah bukan
lagi merupakan seni mengabadikan diri berkat prestasi atau berjasa dalam
pelayanan publik dan perjuangan untuk kesejahteraan bersama.
Namun, politik sudah
menjadi instrumen kerakusan ekonomi dan keserakahan politisi/pengusaha di
atas penderitaan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat. Ideal budaya
kebanyakan politisi negeri ini ialah "menjadi kaya dengan berpikir
jangka pendek".
Terungkapnya skandal
ini semakin meneguhkan kecurigaan bahwa sebagian besar kekayaan bangsa ini
sudah sejak lama oleh para penguasa dikelola seperti barang jarahan. Fenomena
politisi cepat kaya dalam tempo singkat dan pengusaha-politisi atau
pengusaha-dekat-politisi yang uangnya tidak ada serinya lagi memberi bukti
bahwa penguasa di negeri ini sudah tidak peduli lagi terhadap keadilan.
Kalau penguasa memang
peduli keadilan, seharusnya mereka mengikuti prinsip "yang membagi
kekayaan mengambil giliran terakhir" (Rawls, 1971). Namun, perilaku para politisi di negeri ini justru
sebaliknya, yaitu memegang prinsip "yang membagi kekayaan mengambil
giliran pertama" ("ingat DPR minta kenaikan gaji!"). Bisa
dibayangkan bagian yang diterima rakyat karena gilirannya terakhir, yaitu
hanya sisa-sisa kerakusan para penguasa.
Belajar dari cara
penyelesaian serangkaian skandal kerakusan lain sebelumnya, skandal ini tetap
tidak akan membuat keder mafia penjarah kekayaan negeri ini: Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Century, Hambalang, mafia migas, belum
konsesi-konsesi lain yang diberikan untuk pengelolaan hutan, tambang, atau
kelapa sawit. Semua tanpa ada penyelesaian yang jelas dan adil. Jadi, skandal
ini sebetulnya hanya puncak dari gunung es (Kompas, 4 Desember 2015, halaman
1). Meski puncaknya tersingkap, bagian bawahnya tetap sulit dibongkar. Maka,
perlu sesekali ada skandal yang bisa digunakan untuk menguak sebagian sisi
gunung es itu agar ada alasan mencari kambing hitam.
Skandal dan sistem yang sekarat
Skandal "papa
minta saham" ini oleh berbagai pihak menjadi kesempatan untuk membuat
mantra politik karena suatu skandal merupakan jebakan yang dibuat oleh sistem
untuk menangkap pertikaian sebagai simulasi konflik tanpa akhir.
Jangan-jangan skandal ini hanya ujung dari konflik perebutan
antar-"mafia". Skandal menjadi alasan untuk mantra politik karena
bisa menjadi sarana untuk membangkitkan kembali prinsip moralitas politik (Baudrillard, 1980).
Mekanisme mantra
politik seperti ini sangat lazim hanya untuk menutupi sesuatu yang tidak
berfungsi, seperti ketika mau membuktikan bahwa hukum itu dipatuhi justru
dengan menunjukkan adanya pelanggaran. Pemogokan dilakukan untuk membuktikan
bahwa karyawan sungguh bekerja. Maka, skandal "papa minta saham"
ini harus diungkap untuk menunjukkan seakan-akan di negeri ini etika politik
dihormati. Jadi, suatu sistem itu seakan berfungsi dengan dibuktikan ketika
terjadi krisis. Untuk menunjukkan bukti etika politik dihormati justru dengan
memperlihatkan pelanggarannya. Lalu, skandal menjadi bermakna karena menunjuk
ke kontrasnya. Ingat prinsip logika biner, yaitu makna datang dari kontras
atau perbedaan.
Sistem yang
membuktikan diri melalui sisi negatifnya ini menjadi alibi setiap kekuasaan
sehingga bisa membersihkan diri: seakan mereka sangat peduli etika dan tidak
terlibat skandal karena mereka berada di tempat lain ketika skandal terjadi.
Maka, untuk menunjukkan komitmennya pada etika politik, pemimpin partai perlu
menegaskan bahwa prinsip utama partai politiknya bebas dari korupsi; atau
anggota partai yang tidak mematuhi etika politik diminta meninggalkan partai.
Tentu tidak ada yang meninggalkan partai dan tidak ada verifikasi partai
bebas dari korupsi karena wacana itu hanya berfungsi sebagai mantra politik.
Disebut mantra politik
karena dua alasan. Pertama, skandal berfungsi untuk membangkitkan lagi etika
politik, tetapi dalam kerangka menuju ke dunia imajiner melalui wacana
(mantra). Sebetulnya skandal ini digunakan untuk membangkitkan prinsip
realitas yang sudah sekarat, yaitu etika politik dan hukum yang adil. Oleh
karena itu, skandal dilaporkan selalu dengan memuji hukum dan etika politik.
Pola pelaporan ini adalah upaya membuktikan yang riil melalui yang imajiner.
Caranya, menghidupkan prinsip yang sudah sekarat dengan skandal yang disulap
menjadi alat untuk bersih-bersih diri.
Kedua, dengan skandal
ini, koruptor-koruptor dan "mafia" lain bisa merasa lebih bersih
berkat kambing hitam satu itu. Bahkan, mereka yang terlibat di skandal lain
dan belum terungkap dengan leluasa ikut berteriak tanpa merasa salah.
"Tahu" disamakan dengan "melakukan"
Mantra politik adalah
tanda tiadanya kesatuan antara kata dan tindakan. Rumusan kata-kata
seakan-akan sudah dianggap tindakan itu sendiri: banyak program pemberantasan
korupsi dan revolusi mental yang berhenti hanya pada rumusan. Jadi,
sebetulnya etika politik dan hukum sudah tidak berfungsi, tetapi perlu
diwacanakan agar seolah-olah masih ada perannya. Mekanisme mantra politik
seperti itu sangat lazim untuk menutupi sesuatu yang tidak berfungsi.
Banyak politisi dan
pemuka masyarakat biasa menggunakan mekanisme itu karena mereka tahu persis
masyarakat kita mudah percaya jika seseorang "mengetahui" atau
"bisa mengatakan" seakan-akan sudah sama dengan
"melakukan". Padahal, masih ada jurang antara "tahu" dan
"bisa melakukan".
Dalam dunia politik
yang hiper-riil ini, ada kerancuan antara prinsip realitas dan keinginan
membungkam pikiran kritis. Maka, slogan kekuasaan paling laku adalah "take your desire for reality".
Keinginan disamakan dengan realitas itu sendiri. Slogan ini merupakan
strategi meyakinkan bahwa realitas politik (gawatnya situasi korupsi dan
konflik kepentingan) seakan bisa dihentikan dengan program reformasi
birokrasi atau seminar etika politik.
Padahal, ada tiga hal
penting yang justru diabaikan. Pertama, pembangunan prasarana pencegahannya,
seperti budaya etika dalam organisasi, e-budgeting, e-procurement, mekanisme
whistle-blowing, dan lelang jabatan, untuk mendorong transparansi dan
akuntabilitas. Kedua, pembuktian terbalik kekayaan (sering disuarakan
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama/Ahok) akan membantu pencegahan korupsi
lebih efektif, tetapi tentu tidak akan disetujui DPR. Regulasi ini tentu
menakutkan dan mengusik koruptor yang sudah nyaman/mapan. Ketiga, membatasi
dan mengontrol kekuasaan partai politik yang ditengarai ada di balik setiap
korupsi kartel-elite atau pelindung "mafia" penjarah kekayaan
negara.
Selama tiga prasarana
itu tidak bisa diwujudkan, pemberantasan korupsi hanya membawa ke
ketidakpastian. Semua hipotesis manipulasi serba mungkin dalam lingkaran
hipotesis tanpa henti: apakah korupsi dilakukan oleh kelompok Koalisi Merah
Putih (KMP) atas persetujuan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau adakah
konspirasi orang di lingkaran Presiden dengan kelompok KIH dan KMP, atau ada
persaingan beberapa mafia penjarah kekayaan negeri ini, atau jangan-jangan
KMP sudah tidak galak karena mendapat konsesi-konsesi?
Semua hipotesis itu
sama benarnya, tetapi pencarian bukti tidak pernah bisa menverifikasi
benar/tidaknya semua penafsiran itu. Orang menjadi bingung dan tidak pasti
mana yang benar dengan berbagai informasi itu. Maka, penggelontoran informasi
semacam ini bisa berfungsi sebagai sensor untuk meredam aksi protes atau
kritik karena, dalam situasi serba tidak pasti, protes/kritik berisiko
dijadikan masalah pencemaran nama baik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar