Kamis, 10 Desember 2015

Mantra Politik di Balik Skandal

Mantra Politik di Balik Skandal

Haryatmoko  ;  Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
                                                      KOMPAS, 09 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Skandal "papa minta saham" membuktikan bahwa selama ini politik di Indonesia sudah bukan lagi merupakan seni mengabadikan diri berkat prestasi atau berjasa dalam pelayanan publik dan perjuangan untuk kesejahteraan bersama.

Namun, politik sudah menjadi instrumen kerakusan ekonomi dan keserakahan politisi/pengusaha di atas penderitaan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat. Ideal budaya kebanyakan politisi negeri ini ialah "menjadi kaya dengan berpikir jangka pendek".

Terungkapnya skandal ini semakin meneguhkan kecurigaan bahwa sebagian besar kekayaan bangsa ini sudah sejak lama oleh para penguasa dikelola seperti barang jarahan. Fenomena politisi cepat kaya dalam tempo singkat dan pengusaha-politisi atau pengusaha-dekat-politisi yang uangnya tidak ada serinya lagi memberi bukti bahwa penguasa di negeri ini sudah tidak peduli lagi terhadap keadilan.

Kalau penguasa memang peduli keadilan, seharusnya mereka mengikuti prinsip "yang membagi kekayaan mengambil giliran terakhir" (Rawls, 1971). Namun, perilaku para politisi di negeri ini justru sebaliknya, yaitu memegang prinsip "yang membagi kekayaan mengambil giliran pertama" ("ingat DPR minta kenaikan gaji!"). Bisa dibayangkan bagian yang diterima rakyat karena gilirannya terakhir, yaitu hanya sisa-sisa kerakusan para penguasa.

Belajar dari cara penyelesaian serangkaian skandal kerakusan lain sebelumnya, skandal ini tetap tidak akan membuat keder mafia penjarah kekayaan negeri ini: Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Century, Hambalang, mafia migas, belum konsesi-konsesi lain yang diberikan untuk pengelolaan hutan, tambang, atau kelapa sawit. Semua tanpa ada penyelesaian yang jelas dan adil. Jadi, skandal ini sebetulnya hanya puncak dari gunung es (Kompas, 4 Desember 2015, halaman 1). Meski puncaknya tersingkap, bagian bawahnya tetap sulit dibongkar. Maka, perlu sesekali ada skandal yang bisa digunakan untuk menguak sebagian sisi gunung es itu agar ada alasan mencari kambing hitam.

Skandal dan sistem yang sekarat

Skandal "papa minta saham" ini oleh berbagai pihak menjadi kesempatan untuk membuat mantra politik karena suatu skandal merupakan jebakan yang dibuat oleh sistem untuk menangkap pertikaian sebagai simulasi konflik tanpa akhir. Jangan-jangan skandal ini hanya ujung dari konflik perebutan antar-"mafia". Skandal menjadi alasan untuk mantra politik karena bisa menjadi sarana untuk membangkitkan kembali prinsip moralitas politik (Baudrillard, 1980).

Mekanisme mantra politik seperti ini sangat lazim hanya untuk menutupi sesuatu yang tidak berfungsi, seperti ketika mau membuktikan bahwa hukum itu dipatuhi justru dengan menunjukkan adanya pelanggaran. Pemogokan dilakukan untuk membuktikan bahwa karyawan sungguh bekerja. Maka, skandal "papa minta saham" ini harus diungkap untuk menunjukkan seakan-akan di negeri ini etika politik dihormati. Jadi, suatu sistem itu seakan berfungsi dengan dibuktikan ketika terjadi krisis. Untuk menunjukkan bukti etika politik dihormati justru dengan memperlihatkan pelanggarannya. Lalu, skandal menjadi bermakna karena menunjuk ke kontrasnya. Ingat prinsip logika biner, yaitu makna datang dari kontras atau perbedaan.

Sistem yang membuktikan diri melalui sisi negatifnya ini menjadi alibi setiap kekuasaan sehingga bisa membersihkan diri: seakan mereka sangat peduli etika dan tidak terlibat skandal karena mereka berada di tempat lain ketika skandal terjadi. Maka, untuk menunjukkan komitmennya pada etika politik, pemimpin partai perlu menegaskan bahwa prinsip utama partai politiknya bebas dari korupsi; atau anggota partai yang tidak mematuhi etika politik diminta meninggalkan partai. Tentu tidak ada yang meninggalkan partai dan tidak ada verifikasi partai bebas dari korupsi karena wacana itu hanya berfungsi sebagai mantra politik.

Disebut mantra politik karena dua alasan. Pertama, skandal berfungsi untuk membangkitkan lagi etika politik, tetapi dalam kerangka menuju ke dunia imajiner melalui wacana (mantra). Sebetulnya skandal ini digunakan untuk membangkitkan prinsip realitas yang sudah sekarat, yaitu etika politik dan hukum yang adil. Oleh karena itu, skandal dilaporkan selalu dengan memuji hukum dan etika politik. Pola pelaporan ini adalah upaya membuktikan yang riil melalui yang imajiner. Caranya, menghidupkan prinsip yang sudah sekarat dengan skandal yang disulap menjadi alat untuk bersih-bersih diri.

Kedua, dengan skandal ini, koruptor-koruptor dan "mafia" lain bisa merasa lebih bersih berkat kambing hitam satu itu. Bahkan, mereka yang terlibat di skandal lain dan belum terungkap dengan leluasa ikut berteriak tanpa merasa salah.

"Tahu" disamakan dengan "melakukan"

Mantra politik adalah tanda tiadanya kesatuan antara kata dan tindakan. Rumusan kata-kata seakan-akan sudah dianggap tindakan itu sendiri: banyak program pemberantasan korupsi dan revolusi mental yang berhenti hanya pada rumusan. Jadi, sebetulnya etika politik dan hukum sudah tidak berfungsi, tetapi perlu diwacanakan agar seolah-olah masih ada perannya. Mekanisme mantra politik seperti itu sangat lazim untuk menutupi sesuatu yang tidak berfungsi.

Banyak politisi dan pemuka masyarakat biasa menggunakan mekanisme itu karena mereka tahu persis masyarakat kita mudah percaya jika seseorang "mengetahui" atau "bisa mengatakan" seakan-akan sudah sama dengan "melakukan". Padahal, masih ada jurang antara "tahu" dan "bisa melakukan".

Dalam dunia politik yang hiper-riil ini, ada kerancuan antara prinsip realitas dan keinginan membungkam pikiran kritis. Maka, slogan kekuasaan paling laku adalah "take your desire for reality". Keinginan disamakan dengan realitas itu sendiri. Slogan ini merupakan strategi meyakinkan bahwa realitas politik (gawatnya situasi korupsi dan konflik kepentingan) seakan bisa dihentikan dengan program reformasi birokrasi atau seminar etika politik.

Padahal, ada tiga hal penting yang justru diabaikan. Pertama, pembangunan prasarana pencegahannya, seperti budaya etika dalam organisasi, e-budgeting, e-procurement, mekanisme whistle-blowing, dan lelang jabatan, untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Kedua, pembuktian terbalik kekayaan (sering disuarakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama/Ahok) akan membantu pencegahan korupsi lebih efektif, tetapi tentu tidak akan disetujui DPR. Regulasi ini tentu menakutkan dan mengusik koruptor yang sudah nyaman/mapan. Ketiga, membatasi dan mengontrol kekuasaan partai politik yang ditengarai ada di balik setiap korupsi kartel-elite atau pelindung "mafia" penjarah kekayaan negara.

Selama tiga prasarana itu tidak bisa diwujudkan, pemberantasan korupsi hanya membawa ke ketidakpastian. Semua hipotesis manipulasi serba mungkin dalam lingkaran hipotesis tanpa henti: apakah korupsi dilakukan oleh kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) atas persetujuan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) atau adakah konspirasi orang di lingkaran Presiden dengan kelompok KIH dan KMP, atau ada persaingan beberapa mafia penjarah kekayaan negeri ini, atau jangan-jangan KMP sudah tidak galak karena mendapat konsesi-konsesi?

Semua hipotesis itu sama benarnya, tetapi pencarian bukti tidak pernah bisa menverifikasi benar/tidaknya semua penafsiran itu. Orang menjadi bingung dan tidak pasti mana yang benar dengan berbagai informasi itu. Maka, penggelontoran informasi semacam ini bisa berfungsi sebagai sensor untuk meredam aksi protes atau kritik karena, dalam situasi serba tidak pasti, protes/kritik berisiko dijadikan masalah pencemaran nama baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar