Jumat, 04 Desember 2015

Penanganan Ujaran Kebencian

Penanganan Ujaran Kebencian

Gun Gun Heryanto  ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                               KORAN SINDO,  28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Operasionalisasi penanganan ujaran kebencian masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Hal tersebut menarik minat akademisi komunikasi dan sejumlah insan media untuk memperbincangkan topik ini dalam Seminar Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta dengan topik ”Hate Speech, Kenapa Diributkan?”, Sabtu (21/11).

Sebagai salah seorang narasumber, penulis bersama-sama pihak Mabes Polri, wakil Kementrian Kominfo, dan akademisi beragam kampus menyoroti (ulang) urgensi Surat Edaran Kapolri No SE/06/X/2015. Meski isu ini mulai menepi dalam bingkai pemberitaan, secara akademis sangat penting dan relevan kita telaah kembali makna, konteks, dan kritik seputar surat edaran ini. Tujuannya agar penanganan ujaran kebencian yang memang penting ini tidak dimaknai secara salah kaprah, terutama saat diletakkan dalam bingkai hukum dan demokrasi.

Konteks Penanganan

Menyikapi surat edaran soal penanganan ujaran kebencian ini, harus dipahami dulu tiga konteks penting. Pertama, Indonesia menganut sistem demokrasi. Oleh karenanya, kebebasan berpendapat harus diposisikan sebagai hal esensial, fundamental dan konstitusional dalam demokrasi. Universal Declaration of Human Right, pada Sidang PBB 10 Desember 1948, menjamin kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Landasan konstitusional di UUD 1945 Pasal 28 berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Jaminan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pun secara khusus telah dilindungi melalui UU No 9 Tahun 1998.

Dalam Pasal 1 UU tersebut eksplisit dinyatakan, ”Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Meski kebebasan dilindungi, pemanfaatan kebebasan harus bertanggung jawab dan menghormati hukum, etika, serta keadaban publik.

Dengan demikian kebebasan tidak berjalan serampangan dan melahirkan kekacauan sosial. Dalam konteks inilah upaya untuk menangani ujaran kebencian oleh Polri masih bisa dipahami. Kedua, konteks hukum. Sesungguhnya kalau kita tempatkan secara proporsional di ranah hukum, surat edaran Kapolri ini pada dasarnya adalah petunjuk dan panduan bagi kepolisian di lapangan ketika terjadi dugaan ujaran kebencian.

Oleh karenanya surat edaran ini berlaku internal, dengan tujuan memberi tahu anggota Polri hingga satuan wilayah agar memahami langkah-langkah penanganan perbuatan ujaran kebencian. Oleh karena itu, surat edaran bukan peraturan perundangan-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan peraturan kebijakan (beleidsregel).

Jauh sebelum surat edaran ini muncul, sesungguhnya ketentuan soal larangan berujar kebencian sebenarnya telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Misalnya saja dalam UU No 1 Tahun 1946 tentang KUHP, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial serta Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2013 tentang Teknik Penanganan Konflik Sosial.

Oleh karenanya, ada atau tidaknya surat edaran sesungguhnya tidak berpengaruh pada penanganan ujaran kebencian ini karena perangkat hukum yang bisa dipakai sudah banyak tersedia. Ketiga, konteks politik. Surat edaran ini menjadi sangat politis karena terpublikasi luas ke masyarakat, padahal maksud awalnya untuk membangun kesepahaman di lingkup internal Polri saja.

Masyarakat kita punya pengalaman buruk soal peran negara yang eksesif dalam membatasi kebebasan, terutama saat Orde Baru. Pelibatan komponen repressive stateapparatus (RSA) dan ideological state apparatus (ISA) membungkam kritisisme publik selama kurang lebih 32 tahun.

Karena itu, ketika muncul surat edaran ini, wajar ada yang curiga dan khawatir bisa memunculkan ”penunggang gelap” yang dapat memanfaatkan celah penafsiran hukum atas perangkat aturan untuk kepentingan politik. Praktik abuse of power sering dilakukan oleh kelompok yang memiliki akses ke kekuasaan. Meskipun untuk konteks kekinian, kekhawatiran semacam ini rasanya berlebihan.

Kritik Substansi

Ada tiga persoalan substansial yang harus dikritik dari surat edaran Polri soal ujaran kebencian ini. Pertama, belum ada konsensus yang ajek soal pendefinisian ujaran kebencian (hate speech) itu sendiri. Pada No 2 huruf (f) SE/6/X/ 2015 disebutkan bahwa ”ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan lainnya di luar KUHP”.

Bentuk ujaran kebencian terdiri atas tujuh hal, yakni penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Dalam literatur akademis, misalnya di buku Kent Greenawalt, Fighting Words: Individuals, Communities, and Liberties of Speech (1996), didefinisikan bahwa ujaran kebencian adalah ucapan dan atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk tujuan menyebar atau menyulut kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan, dan orientasi seksual.

Jika menggunakan definisi hate speech dari Greenawalt tersebut, ada masalah ketika memasukkan bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, karena bentuk-bentuk tersebut bersifat individual subjeknya. Sementara ciri utama ujaran kebencian adalah menyebar dan menyulut kebencian kelompok terhadap kelompok lainnya.

Kedua, salah satu bentuk ujaran kebencian dalam surat edaran masih menggunakan frase yang secara hukum sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 335 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 tentang KUHP mengenai delik perbuatan tidak menyenangkan. Frase perbuatan tidak menyenangkan dibatalkan MK atas permohonan uji materi yang diajukan Oei Alimin Sukamto Wijaya, warga Surabaya yang sempat ditahan Agustus 2012 dengan menggunakan pasal tersebut.

Yang mengherankan, kenapa surat edaran Polri masih memasukan frase perbuatan tidak menyenangkan dalam bentuk ujaran kebencian? Surat edaran seharusnya taat pada aturan yang lebih tinggi dalam hal ini UU. Ketiga, surat edaran di bagian huruf (h) menyebutkan secara eksplisit media massa cetak maupun elektronik sebagai salah satu media yang mungkin dipakai dalam ujaran kebencian selain orasi, spanduk atau banner, media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, dan pamflet.

Namun surat edaran tersebut tak mencantumkan rujukan UU yang berhubungan dengan media massa seperti UU No 40 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2002 soal penyiaran. Wajar jika Dewan Pers dan insan media curiga surat edaran ini bisa menjadi ancaman. Ujaran kebencian memang harus ditangani agar kebebasan tidak kebablasan.

Tapi jangan sampai memunculkan permasalahan baru, yakni ketidakjelasan batasan ujaran kebencian yang dimaksud, sehingga rawan dimanfaatkan siapa pun yang tidak menyukai adanya kebebasan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar