Jumat, 04 Desember 2015

Freeport dan Pemimpin Kita

Freeport dan Pemimpin Kita

Junaidi Albab Setiawan  ;  Advokat; Pengamat Hukum Pertambangan
                                                      KOMPAS, 03 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Freeport. Salah satunya adalah dari sana kita melihat mentalitas asli para pemimpin kita yang sungguh memprihatinkan.

Segi-segi penting masalah Freeport sesungguhnya telah dapat diidentifikasi untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Namun, mereka justru sibuk bergaduh bersilang kata dan manuver politik untuk memuaskan hasrat dan ambisi masing- masing yang menyimpang jauh dari inti masalah.

Masalah Freeport sesungguhnya adalah tentang dua badan hukum, yakni negara Indonesia dengan PT Freeport Indonesia yang terikat dalam perjanjian kontrak karya sejak tahun 1967 dan setelah beberapa kali perpanjangan, akan segera berakhir pada 2021. Masalahnya adalah apakah Indonesia sebagai negara bersedia memperpanjang hubungan tersebut atau memilih mengakhirinya. Jika diakhiri bagaimana caranya dan jika diperpanjang apa syaratnya.

Tidak satupun yang dapat mengingkari posisi negara Indonesia, suatu badan hukum publik penguasa tunggal atas segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia (Pasal 33 UUD 1945), di satu pihak. Berhadapan dengan PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan PMA yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper & Gold Inc, suatu perusahaan pertambangan Amerika Serikat terbesar yang tercatat di Bursa New York Stock Exchange, di pihak lain.

Proses divestasi

Saat ini kepemilikan saham di PT Freeport adalah Freeport McMoRan memiliki 80,28 persen sedang Pemerintah Indonesia dan PT Indocopper Investama masing-masing 9,36 persen. Jumlah ini harus terus meningkat dalam kurun waktu empat tahun hingga 30 persen, dengan proses divestasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

Proses divestasi kini menggantung karena Freeport terus mengulur waktu (buying time), enggan melakukan divestasi dengan dalih menunggu aturan baru dan tidak mengolah seluruh hasil ke smelter. Di sisi lain Indonesia terus mendesakkan divestasi juga pengembangan smelter sambil mengingatkan bahwa perjanjian segera berakhir. Sebenarnya, jika Freeport jeli, jika terjadi kesepakatan divestasi, maka sesungguhnya juga telah terjadi kesepakatan perpanjangan.

Kontrak karya telah dimulai sejak tahun 1967, saat Indonesia sangat membutuhkan investasi asing dengan menerapkan kebijakan ”outward looking” berdasar UU PMA No 1/1967. Sejak semula, walaupun PT Freeport layaknya perusahaan biasa, namun memiliki posisi dominan karena dilindungi Pemerintah Amerika Serikat, mengingat tambang Freport menyimpan cadangan mineral yang sangat besar—konon terbesar di dunia. Dominasi juga terlihat dari klausul kontrak karya awal, terutama menyangkut bagian Indonesia yang terlalu kecil, juga ketidakjelasan kontrol terhadap jenis dan jumlah mineral mentah yang telah diangkut Freeport ke negaranya.

Sejak zaman Orde Baru, jika berhadapan dengan investor asing, Indonesia terbiasa dalam posisi lemah. Padahal, sebagai pemilik gunung emas Ertsberg (1967) dan Grasberg (1988) di Tembagapura, Mimika, Papua, mestinya Indonesia mendapatkan porsi bagian memadai dan kenyataannya adalah tidak!

Pertanyaannya, mengapa itu terjadi?

Kalau mau sedikit introspeksi, dalam sejarah Indonesia sejak zaman kolonial, selain melahirkan pahlawan juga melahirkan orang-orang yang mengambil posisi berseberangan dengan kepentingan bangsanya (perfidious). Mereka tidak peduli konstitusi, hanya peduli pada ambisi politik dan bisnis pribadi. Ironisnya, peran demikian hingga kini masih ada, bahkan semakin sering dilakukan oleh kalangan pemimpin sehingga berdampak masif.

Prinsip kontrak dan demokrasi

Kontrak karya adalah pertemuan antara para pihak dengan tujuan sama: mencari untung dengan cara saling melengkapi. Para pihak harus berdiri setara dan tidak boleh ada dominasi satu terhadap lainnya. Tidak boleh salah satu pihak dengan jumawa memanfaatkan dominasinya dan atau memanfaatkan posisi lemah pihak lain (lemah modal, kemampuan, dan pengaruh), dengan menyalahgunakan keadaan lemah tersebut untuk mengambil keuntungan bagi dirinya (misbruik van omstandigheden).

Kontrak di mana pun di dunia ini posisinya berada di bawah konstitusi dan aturan turunannya, tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan. Dalam kontrak, para pihak boleh mengatur apa saja kecuali yang dilarang oleh perundangan (causa civilis oligandi). Karena kontrak hanya boleh mengatur hal-hal dengan sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak). Prinsip berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian di negara-negara lain (Ridwan Khairandy, 2013). Penyimpangan terhadap prinsip ini akan berakibat perjanjian seperti tidak pernah ada (null and void). Sehingga tidak etis suatu perusahaan asing dengan berbagai cara ”mencoba menawar” konstitusi negara lain.

Karenanya timbul kewajiban kepada para pemegang kekuasaan untuk bertindak konsisten dalam menegakkan aturan. Sikap itu sekaligus akan mengajarkan penghormatan pihak luar terhadap hukum negara kita. Bukan sebaliknya: dengan kekuasaannya menggoda berselingkuh dari rakyat guna mengambil keuntungan pribadi dengan memelintir aturan.

Sekali aturan diberlakukan, maka harus berlaku kepada siapa pun tanpa diskriminasi. Sebagai contoh, jika aturan dalam UU No 4/2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012, mengatur bahwa mulai Januari 2014 tidak ada lagi ekspor mineral mentah dan mewajibkan bagi penambang untuk membangun smelter sebelum 2014, maka siapa pun harus menaati, termasuk menteri ESDM, Freeport, dan Newmont. Jangan pernah memberi keistimewaan yang menyimpang dari peraturan, karena sikap itu justru akan menjatuhkan martabat Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Dalam hal Freeport, tugas para pemimpin seharusnya menjadi ringan karena berhubungan dengan perusahaan yang berasal dari negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus champion dalam hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Terlebih selama ini Indonesia selalu menganggap Amerika Serikat sebagai sekutu penting. Oleh karena itu, jika hubungan akan diperpanjang, selain kesetaraan maka negosiasi harus dibangun dengan semangat penghormatan terhadap posisi Indonesia yang terus dan sedang belajar demokrasi dan HAM, perlu contoh nyata penerapan nilai-nilai dalam negosiasi.

Dapat diperpanjang

Pada dasarnya kontrak selalu terbuka untuk perpanjangan. Ini karena tidak mudah mencari investor dengan kemampuan (dana dan keahlian), seperti Freeport. Namun, syaratnya harus tetap dalam kerangka konstitusi.

Pada ghalibnya perjanjian dengan obyek bernilai besar (vermogen) dan berjangka waktu panjang, para pihak mengatur ihwal perpanjangan. Kata ”dapat diperpanjang” bermakna bahwa perpanjangan bukanlah suatu keharusan, dapat diperpanjang sepanjang ada kesepakatan (facultative). Selain itu, kata ”dapat” sekaligus meneguhkan bahwa perjanjian dibatasi oleh waktu. Kontrak karya tanpa batas waktu sama saja dengan penjajahan gaya baru. Maka, jika perjanjian sudah menentukan batas akhir, ketentuan itulah yang harus ditaati dan untuk selanjutnya dirumuskan kerangka hubungan baru.

Pembicaraan perpanjangan bisa dilakukan kapan saja, yang dilarang adalah menandatangani perjanjian baru tanpa mengindahkan aturan. Wajar jika Freeport meminta jaminan hukum investasi jangka panjang, karena jangka waktu akan berakhir 2021, sementara dalam waktu ini dilarang ekspor hasil mentah dan wajib divestasi. Namun, juga tidak rasional jika setelah setengah abad lebih kontrak berlangsung, syarat dan ketentuan dianggap masih sama seolah zaman tidak berubah (ceteris paribus).

Peraturan dan rezim sudah berganti, begitu pun paradigma juga sudah berubah. Dahulu perpanjangan semacam ini biasa dilakukan oleh pemerintah dengan cara ”mengendap-endap” agar rakyat tidak tahu, namun sekarang tentu saja tidak.

Dalam kasus Freeport kita sering mendengar, jika kontrak tidak diperpanjang, maka akan terjadi sengketa arbitrase internasional, eskalasi instabilitas bermotif SARA, separatisme, embargo ekonomi atau invasi, seperti di Timur Tengah, dan lain lain. Isu-isu demikian harus dipandang sebagai teror yang mencoba menggoyahkan pendirian bangsa dalam menegakkan konstitusi.

Padahal, jalan keluar sudah ada, yakni memahami masalah dan memegang teguh aturan dan prinsip-prinsipnya, karena masalah Freeport bukanlah soal bisnis semata. Dengan pendekatan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan, pintu penyelesaian akan terbuka. Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua negara ingin menyejahterakan rakyatnya. Kontrak hanyalah tulisan yang dapat diubah kapan saja, namun tujuan utamanya tetaplah kemaslahatan bersama rakyat, utamanya Papua dan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar