Freeport dan Pemimpin Kita
Junaidi Albab Setiawan ;
Advokat; Pengamat Hukum Pertambangan
|
KOMPAS,
03 Desember 2015
Banyak pelajaran yang
bisa dipetik dari kasus Freeport. Salah satunya adalah dari sana kita melihat
mentalitas asli para pemimpin kita yang sungguh memprihatinkan.
Segi-segi penting
masalah Freeport sesungguhnya telah dapat diidentifikasi untuk segera
dicarikan jalan keluarnya. Namun, mereka justru sibuk bergaduh bersilang kata
dan manuver politik untuk memuaskan hasrat dan ambisi masing- masing yang
menyimpang jauh dari inti masalah.
Masalah Freeport
sesungguhnya adalah tentang dua badan hukum, yakni negara Indonesia dengan PT
Freeport Indonesia yang terikat dalam perjanjian kontrak karya sejak tahun
1967 dan setelah beberapa kali perpanjangan, akan segera berakhir pada 2021.
Masalahnya adalah apakah Indonesia sebagai negara bersedia memperpanjang
hubungan tersebut atau memilih mengakhirinya. Jika diakhiri bagaimana caranya
dan jika diperpanjang apa syaratnya.
Tidak satupun yang
dapat mengingkari posisi negara Indonesia, suatu badan hukum publik penguasa
tunggal atas segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia (Pasal 33
UUD 1945), di satu pihak. Berhadapan dengan PT Freeport Indonesia, sebuah
perusahaan PMA yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper
& Gold Inc, suatu perusahaan pertambangan Amerika Serikat terbesar yang
tercatat di Bursa New York Stock Exchange, di pihak lain.
Proses divestasi
Saat ini kepemilikan
saham di PT Freeport adalah Freeport McMoRan memiliki 80,28 persen sedang
Pemerintah Indonesia dan PT Indocopper Investama masing-masing 9,36 persen.
Jumlah ini harus terus meningkat dalam kurun waktu empat tahun hingga 30
persen, dengan proses divestasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun
2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
Proses divestasi kini
menggantung karena Freeport terus mengulur waktu (buying time), enggan
melakukan divestasi dengan dalih menunggu aturan baru dan tidak mengolah
seluruh hasil ke smelter. Di sisi lain Indonesia terus mendesakkan divestasi
juga pengembangan smelter sambil mengingatkan bahwa perjanjian segera
berakhir. Sebenarnya, jika Freeport jeli, jika terjadi kesepakatan divestasi,
maka sesungguhnya juga telah terjadi kesepakatan perpanjangan.
Kontrak karya telah
dimulai sejak tahun 1967, saat Indonesia sangat membutuhkan investasi asing
dengan menerapkan kebijakan ”outward looking” berdasar UU PMA No 1/1967.
Sejak semula, walaupun PT Freeport layaknya perusahaan biasa, namun memiliki
posisi dominan karena dilindungi Pemerintah Amerika Serikat, mengingat
tambang Freport menyimpan cadangan mineral yang sangat besar—konon terbesar
di dunia. Dominasi juga terlihat dari klausul kontrak karya awal, terutama
menyangkut bagian Indonesia yang terlalu kecil, juga ketidakjelasan kontrol
terhadap jenis dan jumlah mineral mentah yang telah diangkut Freeport ke
negaranya.
Sejak zaman Orde Baru,
jika berhadapan dengan investor asing, Indonesia terbiasa dalam posisi lemah.
Padahal, sebagai pemilik gunung emas Ertsberg (1967) dan Grasberg (1988) di
Tembagapura, Mimika, Papua, mestinya Indonesia mendapatkan porsi bagian
memadai dan kenyataannya adalah tidak!
Pertanyaannya, mengapa
itu terjadi?
Kalau mau sedikit
introspeksi, dalam sejarah Indonesia sejak zaman kolonial, selain melahirkan
pahlawan juga melahirkan orang-orang yang mengambil posisi berseberangan
dengan kepentingan bangsanya (perfidious). Mereka tidak peduli konstitusi,
hanya peduli pada ambisi politik dan bisnis pribadi. Ironisnya, peran
demikian hingga kini masih ada, bahkan semakin sering dilakukan oleh kalangan
pemimpin sehingga berdampak masif.
Prinsip kontrak dan demokrasi
Kontrak karya adalah
pertemuan antara para pihak dengan tujuan sama: mencari untung dengan cara
saling melengkapi. Para pihak harus berdiri setara dan tidak boleh ada
dominasi satu terhadap lainnya. Tidak boleh salah satu pihak dengan jumawa
memanfaatkan dominasinya dan atau memanfaatkan posisi lemah pihak lain (lemah
modal, kemampuan, dan pengaruh), dengan menyalahgunakan keadaan lemah
tersebut untuk mengambil keuntungan bagi dirinya (misbruik van omstandigheden).
Kontrak di mana pun di
dunia ini posisinya berada di bawah konstitusi dan aturan turunannya, tidak
boleh menyimpang apalagi bertentangan. Dalam kontrak, para pihak boleh
mengatur apa saja kecuali yang dilarang oleh perundangan (causa civilis oligandi). Karena
kontrak hanya boleh mengatur hal-hal dengan sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak). Prinsip
berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem
hukum perjanjian di negara-negara lain (Ridwan
Khairandy, 2013). Penyimpangan terhadap prinsip ini akan berakibat
perjanjian seperti tidak pernah ada (null
and void). Sehingga tidak etis suatu perusahaan asing dengan berbagai
cara ”mencoba menawar” konstitusi negara lain.
Karenanya timbul
kewajiban kepada para pemegang kekuasaan untuk bertindak konsisten dalam
menegakkan aturan. Sikap itu sekaligus akan mengajarkan penghormatan pihak
luar terhadap hukum negara kita. Bukan sebaliknya: dengan kekuasaannya
menggoda berselingkuh dari rakyat guna mengambil keuntungan pribadi dengan
memelintir aturan.
Sekali aturan
diberlakukan, maka harus berlaku kepada siapa pun tanpa diskriminasi. Sebagai
contoh, jika aturan dalam UU No 4/2009 dan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012,
mengatur bahwa mulai Januari 2014 tidak ada lagi ekspor mineral mentah dan
mewajibkan bagi penambang untuk membangun smelter sebelum 2014, maka siapa
pun harus menaati, termasuk menteri ESDM, Freeport, dan Newmont. Jangan
pernah memberi keistimewaan yang menyimpang dari peraturan, karena sikap itu
justru akan menjatuhkan martabat Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Dalam hal Freeport,
tugas para pemimpin seharusnya menjadi ringan karena berhubungan dengan
perusahaan yang berasal dari negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus champion dalam hak asasi manusia (HAM) dan
demokrasi. Terlebih selama ini Indonesia selalu menganggap Amerika Serikat
sebagai sekutu penting. Oleh karena itu, jika hubungan akan diperpanjang,
selain kesetaraan maka negosiasi harus dibangun dengan semangat penghormatan
terhadap posisi Indonesia yang terus dan sedang belajar demokrasi dan HAM,
perlu contoh nyata penerapan nilai-nilai dalam negosiasi.
Dapat diperpanjang
Pada dasarnya kontrak
selalu terbuka untuk perpanjangan. Ini karena tidak mudah mencari investor
dengan kemampuan (dana dan keahlian), seperti Freeport. Namun, syaratnya
harus tetap dalam kerangka konstitusi.
Pada ghalibnya
perjanjian dengan obyek bernilai besar (vermogen)
dan berjangka waktu panjang, para pihak mengatur ihwal perpanjangan. Kata
”dapat diperpanjang” bermakna bahwa perpanjangan bukanlah suatu keharusan,
dapat diperpanjang sepanjang ada kesepakatan (facultative). Selain itu, kata ”dapat” sekaligus meneguhkan bahwa
perjanjian dibatasi oleh waktu. Kontrak karya tanpa batas waktu sama saja
dengan penjajahan gaya baru. Maka, jika perjanjian sudah menentukan batas
akhir, ketentuan itulah yang harus ditaati dan untuk selanjutnya dirumuskan
kerangka hubungan baru.
Pembicaraan
perpanjangan bisa dilakukan kapan saja, yang dilarang adalah menandatangani
perjanjian baru tanpa mengindahkan aturan. Wajar jika Freeport meminta
jaminan hukum investasi jangka panjang, karena jangka waktu akan berakhir
2021, sementara dalam waktu ini dilarang ekspor hasil mentah dan wajib
divestasi. Namun, juga tidak rasional jika setelah setengah abad lebih
kontrak berlangsung, syarat dan ketentuan dianggap masih sama seolah zaman
tidak berubah (ceteris paribus).
Peraturan dan rezim
sudah berganti, begitu pun paradigma juga sudah berubah. Dahulu perpanjangan
semacam ini biasa dilakukan oleh pemerintah dengan cara ”mengendap-endap”
agar rakyat tidak tahu, namun sekarang tentu saja tidak.
Dalam kasus Freeport
kita sering mendengar, jika kontrak tidak diperpanjang, maka akan terjadi
sengketa arbitrase internasional, eskalasi instabilitas bermotif SARA,
separatisme, embargo ekonomi atau invasi, seperti di Timur Tengah, dan lain
lain. Isu-isu demikian harus dipandang sebagai teror yang mencoba
menggoyahkan pendirian bangsa dalam menegakkan konstitusi.
Padahal, jalan keluar
sudah ada, yakni memahami masalah dan memegang teguh aturan dan
prinsip-prinsipnya, karena masalah Freeport bukanlah soal bisnis semata.
Dengan pendekatan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan, pintu penyelesaian
akan terbuka. Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua
negara ingin menyejahterakan rakyatnya. Kontrak hanyalah tulisan yang dapat
diubah kapan saja, namun tujuan utamanya tetaplah kemaslahatan bersama
rakyat, utamanya Papua dan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar