Minggu, 13 Desember 2015

Peka

Peka

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 13 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan saya cukup aktif berada di sebuah chat room. Jangan ditanya tujuannya untuk apa saya berada di ruang mengobrol itu. Saya yakin, Anda pasti sudah tahu. Yaaa… Anda benar saya sedang mencari teman.

Kalau cocok, yaa… saya terbuka untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih dari sekadar teman biasa. Macam jenjang pendidikan. Setelah S-1 kalau bisa ya S-2. Dan kalau masih bisa maju lagi, yaa S-3.

”Enggak suka, ya?”

Tentu masuk ke sebuah ruang mengobrol saya perlu memberikan informasi soal umur, fisik, dan secara singkat keinginan saya untuk bertemu dengan teman-teman yang seperti apa. Karena saya ini sudah setengah abad lebih, saya itu lebih menyukai yang seusia atau paling tidak sebelas dua belaslah dengan usia saya.

Tetapi, apa kenyataannya? Data pribadi itu tak berguna sama sekali. Yang ingin mengobrol dan bertemu lebih banyak adalah mereka yang berusia antara 20 dan 30-an. Awalnya saya meladeni, la wong cuma mau berteman. Apa salahnya? Tetapi, setelah beberapa kali dijalani, banyak ketidakcocokannya.

Setelah itu, setiap kali ada yang berusia muda mengajak saya ngobrol, saya malah menegur mereka untuk membaca biodata yang telah saya tuliskan. Biasanya mereka minta maaf, kemudian menghilang untuk sementara waktu, kemudian muncul lagi.

Kedatangan yang berulang itu mengundang kekesalan. Maka saya langsung menghapus pesan mereka tanpa membacanya. Tetapi, tampaknya, menyerah itu tidak ada di dalam kamus mereka. Saya tidak tahu mengapa. Padahal saya ini jelek, pendek, dan jauh dari kaya raya.

Sangat jamak ketika saya tidak membalas pesan yang ditulis, maka mereka akan mengirim pesan seperti ini. ”Kok enggak dibalas sih, Mas? Enggak suka ya?” Nah, kalimat inilah yang menginspirasi saya untuk curhat lagi dengan Anda sekalian hari ini.

Sungguh saya tidak tahu, dan sama sekali belum terinspirasi untuk menanyakan kepada mereka, mengapa mereka itu tak bisa peka atau tidak mau peka, bahwa kalau saya tidak membalas itu berarti saya memang tidak tertarik. Saya tidak membalas itu sebagai ’bahasa isyarat’ kalau saya ini tidak lagi berkeinginan berkomunikasi dengan mereka.

Bahasa nurani

Di suatu hari saya berpikir, ah… sungguh tidak benar kalau saya hanya menghapus pesan mereka dan tidak menjelaskan alasan saya tidak membalasnya. Maka saya menjelaskan bahwa saya ini tidak tertarik. Penjelasan itu saya tulis dengan menggunakan bahasa yang sopan.

Karena saya sungguh mengerti, ditolak itu lumayan membuat kepercayaan drop seperti tekanan darah karena saya pernah mengalaminya. Rasanya seperti ditimpuk bola kasti dan kemudian mulai merasa kalau saya ini tak bernilai.

Hasil dari memberi penjelasan itu pun tidak menolong sama sekali. Karena semangat yang tinggi, beberapa di antara mereka menganggap penjelasan itu sebagai sebuah jalan untuk membuka obrolan kembali. Beberapa malah menawarkan berkenalan lebih jauh dulu sebelum saya memutuskan untuk menolak. Saya sampai geleng kepala.

Apa yang mereka lakukan membuat saya berpikir, mengapa mereka sampai sebegitu ngotot, dan seperti menutup mata dan hati, dan tidak peduli dengan apa yang telah saya lakukan. Mengapa mereka bertanya kepada saya, ”Enggak suka ya, Mas?”, tetapi tidak mempertanyakan diri sendiri, mengapa saya sampai harus menghabiskan waktu untuk berkenalan dengan orang yang sama sekali tidak berniat berkenalan dengan saya?

Apakah mereka memiliki agenda tersembunyi yang jahat atau begitu kesepiannya? Apakah mereka sangat membutuhkan pasangan hidup karena perjalanan asmara yang kering kerontang sehingga ngotot menjadi sebuah harapan untuk tidak kering dan kerontang? Sejujurnya di saat perasaan ini jengkel setengah mati, ada perasaan sedih yang menyelinap.

Saya pernah ada di posisi mereka. Ketika kebutuhan utama akan teman atau yang lebih dari teman tak bisa terpenuhi, sehingga perasaan kesepian itu seperti tak bedanya dengan kanker yang menggerogoti. Apalagi, usia makin lama tidak makin bertambah muda.

Gara-gara peristiwa itu, saya jadi kena batunya. Nurani saya langsung mengambil kesempatan untuk bertanya sekaligus menyindir. Umumnya malah banyak niat menyindirnya daripada bertanya. ”Emang kamu peka?”

Nurani itu terus berkicau. ”Elo tu gak peka lagi. Sama sekali tidak.” Setelah sindiran itu berhenti, saya harus mengakui banyak hal yang saya hadapi setiap hari dengan ketidakpekaan. Bahasa tubuh, gerakan tangan, bibir atau pesan yang tak dibalas yang dilakukan oleh klien, teman usaha, staf di kantor, orang yang sedang saya taksir, sering kali tak saya pahami.

Padahal, mereka sedang mengomunikasikan sesuatu, hanya saja mereka tak mau terus terang karena bisa jadi takut saya tersinggung, atau bisa jadi melindungi saya dari merasa tak punya kepercayaan diri kalau ’ditembak’ langsung.

Saya harus lebih banyak belajar mengerti bahasa yang ’halus’ itu. Sebuah bahasa yang harus dikomunikasikan dan dirasakan dengan kepekaan nurani, yang tak akan menusuk seperti belati, yang tidak memekakkan telinga seperti petir menyambar, tetapi menyelamatkan keberadaan orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar