Bicara Bohong, Jual Pepesan Kosong
Kristi Poerwandari ; Penulis Kolom “Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
13 Desember 2015
Kita mungkin heran
bagaimana para petinggi dan orang-orang penting di Indonesia seakan demikian
fasih berbohong atau bicara kosong. Di tengah gaduh sidang MKD, saya
menemukan laporan penelitian dari Van Bockstaele, Wilhelm, Meijer, Debey, dan
Verschuere (2015) yang dapat sedikit menjawab kebingungan kita.
Korupsi, upaya
korupsi, atau penyalahgunaan posisi pasti mengandung elemen kebohongan, yang
mungkin dapat kita definisikan secara sederhana sebagai ”pernyataan tidak benar dengan tujuan untuk mengelabui”. Teori
psikologi yang standar melihat berbohong sebagai kerja yang lebih sulit
daripada bicara benar. Mengapa?
Karena berbohong
memerlukan sumber-sumber daya tambahan, antara lain, untuk melawan diri
sendiri dengan menekan kebenaran, untuk memantau respons dan perilaku orang
yang berhadapan dengan kita, untuk mengarang cerita dan mempertahankan
koherensi cerita. Jadi, ada ”beban kognitif” atau kesulitan kognitif
tersendiri yang harus ditanggung individu untuk dapat berbohong.
Beberapa studi
neuropsikologi membuktikan hal di atas. Berbohong menyebabkan adanya
peningkatan aktivasi bagian otak yang secara khusus terkait dengan
pengendalian kognitif yang harus dilakukan orang saat berbohong.
Penelitian-penelitian
yang lebih baru menemukan, berbohong itu ternyata tidak selalu lebih sulit
daripada bicara benar. Bohong menjadi lebih sulit apabila individu harus
mengonstruksi cerita yang detail-detail nya sulit diakses kembali dari
ingatan. Atau apabila individu tidak terlatih untuk melakukannya. Tetapi,
bergantung pada berbagai faktor kontekstual, berbohong bisa saja menjadi
kerja yang relatif mudah dilakukan.
Verschuere dkk (2011)
dan Van Bockstaele dkk (2015) membuktikan melalui penelitian eksperimental
mereka bahwa berbohong dapat makin cepat, mudah, dan tanpa beban dilakukan
apabila individu terlatih melakukannya. Beberapa percobaan sederhana
dilakukan dengan memanipulasi tugas, partisipan eksperimen kadang diminta
menjawab secara benar dan di saat lain, berbohong. Partisipan hanya diminta
menjawab ”ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan-pertanyaan sederhana, misalnya
”apakah hari ini Anda membeli koran?” atau ”Apakah London itu ada di negara
Jerman?” atau ”Apakah di laut ada air?”. Kadang pertanyaannya juga terkait
otobiografi partisipan (misalnya ”Apakah Anda lahir di Amsterdam?”).
”Beban kognitif’ atau
kesulitan kognitif untuk berbohong dilihat dari waktu reaksi. Yakni seberapa
cepat individu berespons ketika disuruh harus berbohong, dan seberapa cepat
menjawab ketika diharuskan tidak berbohong. Juga dari perbandingan banyaknya
kesalahan yang dilakukan antara menjawab bohong dan menjawab secara benar.
Untuk melihat efek dari
latihan atau pembiasaan berbohong, Verschuere dkk memanipulasi proporsi
percobaan berbohong dan bicara benar. Ada kelompok individu yang memperoleh
instruksi untuk berbohong pada 25 persen dari percobaan, ada yang 50 persen,
ada yang pada 75 persen percobaan. Yang diminta untuk lebih jarang berbohong
akan berbohong dengan lebih sulit, ditunjukkan melalui waktu reaksi yang
lebih lambat dan lebih banyaknya kesalahan saat harus berbohong.
Peneliti juga mencoba
memanipulasi kondisi dengan mengubah-ubah instruksi. Data menunjukkan bahwa
partisipan akan lebih cepat mampu berbohong apabila di tugas sebelumnya ia
juga memperoleh instruksi untuk berbohong. Jika sebelumnya ia dituntut bicara
benar, lalu harus berpindah tugas untuk bicara bohong di percobaan berikutnya,
individu memerlukan waktu lebih lama untuk berhasil menjalankan tugasnya.
Pembelajaran
Hasil penelitian
memberikan beberapa pemahaman. Pertama, yang jarang berbohong akan lebih
sulit berbohong, dan mungkin lebih mudah ketahuan apabila ia bicara tidak
jujur. Terlihat dari waktu reaksi yang lama, dan kesalahan-kesalahan yang
dapat dideteksi, misalnya, tidak koheren-nya cerita. Yang lebih biasa
berbohong akan melakukannya dengan mudah, cepat, dan tanpa beban.
Kedua, konteks,
situasi sosial, dan pembiasaan menjadi sangat penting. Jika kita ada dalam
lingkungan yang menuntut kejujuran dan bicara benar, dan terus memperoleh
instruksi dan pengawasan untuk itu, kita akan jauh lebih mudah bicara jujur.
Dalam lingkungan seperti ini, bicara bohong atau kosong membawa beban
kognitif yang besar sehingga jauh lebih sulit dilakukan. Sebaliknya, jika
kita ada dalam lingkungan yang sebagian besar bicara bohong, bicara kosong
dan bohong seolah justru menjadi tuntutan. Kita jadi terlatih untuk
melakukannya.
Ketiga, menggabungkan
pembelajaran dari sejumlah temuan penelitian secara lebih komprehensif,
psikologi hukum dan ilmu-ilmu terkait perlu menelaah kembali dan memperbarui
beragam alat dan tes untuk menguji kejujuran dan mendeteksi kebohongan, Kita
perlu memastikan, agar perangkat yang digunakan dalam proses hukum, sidang
etika, dan dalam seleksi jabatan-jabatan yang sangat memerlukan integritas
dapat mendeteksi perilaku individu-individu yang memang sangat piawai dalam
berbohong.
Penelitian di atas
melihat dari sisi kognitif saja, kita belum menggabungkannya dengan sisi
emosional-etis perilaku manusia karena pembiasaan juga akan menghilangkan
kepekaan, mengikis rasa bersalah dan rasa malu. Dalam lingkungan dengan
kebohongan itu jadi tuntutan, malah kita dapat merasa bersalah pada kelompok
atau institusi jika tidak melakukannya.
Kita jadi mengerti,
mengapa sebagian orang berpengaruh di negara kita sangat fasih dan ramai
bicara mengenai ”kebangsaan, nasionalisme, moralitas, penegakan hukum,
pemberantasan korupsi” tetapi percakapannya sangat kosong, dan perilaku yang
ditunjukkan adalah yang sebaliknya.
Betapa besar dan sulit
tugas untuk dapat me-rekonstruksi pelembagaan kebohongan. Walau demikian,
yang sangat sulit bukan berarti mustahil untuk dilakukan.
Selamat menutup tahun,
semoga di tahun depan kita dapat menjadi manusia yang lebih sedikit berbohong
dan lebih sedikit bicara kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar