Perayaan Seniman Asia
Garin Nugroho ; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
13 Desember 2015
”Becoming Asia”
menjadi tema Jogja Festival Film Asia Ke-10 (1-6 Desember). Tidak kurang dari
150 film diputar dan beragam topik didiskusikan, termasuk merayakan 25 tahun
Netpac (Network for the Promotion of
Asian Cinema). Sebuah organisasi yang mampu melahirkan serta mendorong
kelahiran festival film di Asia, kritikus, kurator, hingga cara pandang baru
pada film Asia. Harus dicatat, 25 tahun lalu, film Asia selalu dalam cara
pandang, nilai, dan ruang pertumbuhan dari dan oleh organisator hingga
kritikus Amerika dan Eropa.
Saya sendiri mencatat,
layaknya pertumbuhan ekonomi dan sosial di Asia, film Asia akan selalu penuh
dinamika mengingat keberagaman persoalan budaya, sosial, dan politik di Asia
Pasifik, terlebih pada era digital dan media sosial dewasa ini. Terbaca,
film-film Asia dengan teknologi yang murah, efisien, dan efektif terus
bertumbuh dalam dinamika luar biasa, khususnya bagi pembuat film independen.
Simak penyebaran kekuatan film Filipina dalam 10 tahun ini, termasuk wilayah
desentralisasinya, simak kemenangan film dari Cebu di Jogja Film Asia, film
Nay karya Djenar Maesa Ayu, hingga film Kamboja. Simak juga, menyebarnya film
Indonesia di beragam film festival: Venezia, Telluride, Busan, hingga Tokyo,
serta beragam penghargaan.
Teknologi digital
dengan media sosialnya tiba-tiba menjadi medium pengganti beragam dasar
struktur dan super struktur seniman-seniman Asia, yang dahulu selalu dalam
penguasaan Eropa-Amerika. Sebut saja infrastruktur festival, studio, hingga
museum-museum dan galeri. Kini, media sosial menjadi galeri, outlet. Bahkan
studio penciptaan seniman Asia. Bisa diakses secara cepat dan murah ke seluruh
dunia dalam hitungan ketukan jari.
Dalam seminar Netpac
yang dihadiri delegasi Sri Lanka, Singapura, hingga Malaysia, terbaca beragam
kemungkinan mendorong peta Asia untuk warga Asia menjadi lebih Asia. Salah
satunya mendorong kuliah publik oleh pengajar, kritikus, ataupun pembuat film
Asia lewat media sosial dari Skype hingga situs web dalam sistem jejaring
hingga pulau-pulau terpencil di sejumlah wilayah Asia.
Haruslah dicatat,
pertumbuhan sekolah film di Indonesia mengalami peloncatan luar biasa, namun
disertai kenyataan langkanya ketersediaan pengajar tentang film Asia dan
materi buku dan film-film Asia. Bagi saya, Jogja Asia Film Festival (JAFF)
bukan saja sebuah perayaan tentang film, melainkan juga perayaan studi film
dalam spirit Asia. JAFF selama 10 tahun ini telah menerbitkan buku-buku
tentang film Vietnam hingga Sri Lanka ataupun Malaysia.
JAFF lalu menunjukkan
bahwa era digital membawa seni Asia dalam lompatan baru dialognya dengan
dunia, maka Asia Pasifik yang dikenal sangat konsumtif dalam teknologi baru
ditantang melakukan transformasi produktivitas lewat media sosial. Media
sosial menjadi geografi penaklukan baru yang efisien dan efektif bagi seniman
Asia.
Harus dicatat, Asia
Pasifik yang lebih berbasis tradisi budaya oral dengan visualisasi tertentu
(wayang kulit dan lain-lain) ketimbang baca tulis kini menemukan medium baru
budaya oral tradisi dalam visual media sosial baru. Maka, seni Asia dan film
Asia senantiasa akan hidup dalam dinamika suspense dan surprise yang serba
tak terduga layaknya seluruh data, fakta, gosip, ataupun beragam perspektif
dialog dalam media sosial.
Sebuah percampuran
sampah visual ataupun relaksasi beragam perspektif dengan karya genius
ataupun terobosan baru dalam cara berkarya, distribusi, hingga penyebaran ataupun
apresiasi serta pola ekonomi baru. Selamat untuk terus-menerus menjadi Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar