Optimisme di Tengah Sejumlah Masalah Berat
Andreas Maryoto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2015
Pada akhir tahun ini, Masyarakat
Ekonomi ASEAN segera dibuka. Tantangan dan peluang baru pasti muncul.
Menjelang tahun baru, kita bisa melihat perkembangan pembangunan
infrastruktur yang menunjukkan perbaikan di berbagai tempat dan upaya
perbaikan iklim investasi. Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang menurun, nilai tukar
yang melemah, hingga ketimpangan ekonomi yang masih lebar.
Warna-warni itulah yang akan
ditemui ketika kita memasuki 2016. Ada optimisme menyongsong tahun baru,
tetapi ada juga beban yang masih harus dipikul. Semangat optimisme sudah
ditiupkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Presiden mengajak bangsa
Indonesia untuk berani berkompetisi ketika pasar dibuka, salah satunya
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pernyataan ini disambut karena pada
kenyataannya sejumlah korporasi Indonesia sudah siap bersaing. Anak-anak muda
yang menguasai teknologi digital juga tak kalah bersemangat menyambut ajakan
Presiden.
Ajakan itu juga memperjelas
keyakinan berbagai kalangan tentang sikap Indonesia memasuki MEA. Keraguan
dan ketakutan terhadap pembukaan pasar bukan lagi sesuatu yang perlu muncul.
Meski demikian, Jokowi mengingatkan semua pihak untuk cerdik dan memantau
kemungkinan pihak-pihak yang terdampak dengan pembukaan pasar.
Keberanian untuk berkompetisi
sudah barang tentu bukan jargon belaka. Persiapan menjadi bangsa yang
kompetitif secara perlahan, meski terlambat, tengah dilakukan. Infrastruktur,
seperti pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, jalur kereta api, dan
irigasi, tengah dibangun secara besar-besaran agar ongkos produksi menjadi
murah. Sekali lagi, upaya ini terbilang terlambat di tengah bangsa lain yang
sudah menyiapkan infrastruktur secara masif sejak puluhan tahun lalu. Meski
demikian, kita masih bisa memperbaiki kekurangan ini.
Pemerintah juga mengeluarkan
berbagai paket kebijakan secara beruntun sejak tiga bulan lalu. Deregulasi
berbagai aturan mulai dirasakan di bawah. Ribuan aturan segera dipangkas.
Kepastian sistem pengupahan dengan penetapan formula pengupahan yang
berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan perhitungan kebutuhan hidup layak
selama lima tahun memberi kepastian bagi dunia usaha.
Pelayanan satu atap yang dirintis
pada awal pemerintahan Jokowi telah memotong sejumlah birokrasi. Pengurusan
izin investasi, mulai dari izin prinsip investasi, pembuatan NPWP, hingga
pembuatan akta perusahaan terbatas, yang semula memakan waktu beberapa minggu
menjadi tiga jam.
Meski demikian, sejumlah izin
masih belum dirasakan oleh para pengusaha karena terkesan sekadar memindahkan
urusan dari kementerian teknis ke Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kerja
keras masih diperlukan agar investor asing berdatangan. Tahun depan,
investasi menjadi penting karena bisa mendorong pertumbuhan ekonomi saat
konsumsi diperkirakan masih datar.
Penurunan waktu inap peti kemas di
pelabuhan (dwelling time) dari 6,33 hari pada Januari lalu menjadi 4,29 hari
pada akhir November juga memberi citra positif dalam iklim investasi.
Angka-angka itu masih jauh dibandingkan beberapa negara, tetapi perbaikan
nyata akan makin mengundang banyak investasi. Kerja keras juga masih harus
dilakukan sehingga arus barang menjadi kompetitif.
Langkah berani, yaitu lelang
proyek infrastruktur di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, sejak dua bulan lalu menyebabkan penyerapan anggaran lebih cepat dan
tidak menumpuk di akhir tahun. Setidaknya 10 persen anggaran sudah terserap
pada awal tahun sehingga diharapkan ekonomi langsung bergerak di awal tahun
meski harus diakui peran anggaran pemerintah dalam pertumbuhan tidaklah
besar.
Di antara perbaikan itu, Indonesia
masih menanggung beban masalah yang tidak ringan. Ekspor yang menurun
menyebabkan pertumbuhan ekonomi juga menurun. Penurunan harga komoditas dunia
menjadikan ekspor Indonesia lunglai. Kita masih mendasarkan ekspor pada
sejumlah komoditas, seperti batubara, mineral tambang lain, dan komoditas
pertanian. Hilirisasi dan pengembangan pasar nontradisional perlu dilakukan
untuk menaikkan ekspor.
Masalah besar lain, pertumbuhan
ekonomi yang tinggi beberapa tahun lalu ternyata tidak mengurangi
ketimpangan. Dalam bahasa sederhana, yang kaya makin kaya dan yang miskin
makin miskin.
Sejak 2009, ketimpangan di
Indonesia melebar. Koefisien gini yang digunakan untuk mengukur ketimpangan
naik dari 0,37 pada 2009 menjadi 0,41 pada 2013. Indikator lain, konsumsi.
Pada 2002, nilai konsumsi 10 persen warga terkaya Indonesia setara dengan
total konsumsi 42 persen warga termiskin. Pada 2014, nilai konsumsi 10 persen
warga terkaya setara dengan konsumsi 54 persen warga termiskin.
Masalah ini perlu dicarikan
penyelesaian. Ketimpangan akan menyebabkan masalah sosial yang tidak kalah
rumit.
Terkait masalah fiskal, pemerintah
masih harus mengejar penerimaan dari pajak untuk menutup defisit anggaran.
Target pajak Rp 1.295 triliun hanya akan terpenuhi 85-87 persen. Pada tahun ini
saja kemungkinan ada defisit sekitar 2,7 persen. Proyeksi awal, defisit hanya
sekitar 1,9 persen.
Kekurangan ini harus ditutup
dengan surat utang yang makin membesar. Sepertinya masih dibutuhkan cara-cara
elegan dan kerja lebih keras untuk menarik pajak dari mereka yang selama ini
belum tersentuh oleh kewajiban menjadi warga negara.
Masalah fiskal yang tidak kalah
penting adalah APBD yang lambat disahkan dan sudah barang tentu penyerapannya
pun lambat. Meski Kementerian Keuangan telah memberi sanksi kepada daerah
yang lambat mengesahkan APBD, kejadian ini selalu berulang. Keadaan ini
sangat menghambat pergerakan ekonomi di daerah.
Produksi pangan juga masih menjadi
masalah besar. Pada akhir tahun ini, fenomena El Nino menyebabkan kemarau
berkepanjangan. Dampaknya, pertanaman musim kedua atau musim kemarau
terganggu sehingga stok pangan akhir tahun menipis. Dampak ikutannya, karena
musim tanam pertama 20015/2016 juga akan mundur, stok awal tahun kecil.
Ancaman inflasi pada Januari hingga Februari sangat nyata.
Impor beras yang dilakukan
pemerintah harus digunakan untuk menekan inflasi. Untuk itu, pemerintah perlu
cerdik mengendalikan harga beras. Setidaknya pemerintah perlu memperhatikan
stok pangan yang dipegang swasta.
Sementara itu, peran industri digital
diperkirakan akan makin naik, baik digerakkan oleh bisnis e-dagang maupun
temuan aplikasi-aplikasi oleh anak muda. Ketergantungan masyarakat terhadap
e-dagang semakin tinggi.
Kita berharap pertumbuhan bisa di
atas 5 persen pada tahun depan. Konsumsi yang terjaga, investasi yang lebih
besar, dan penyerapan anggaran yang lebih cepat dan lebih baik pada tahun
depan menjadi syarat tercapainya pertumbuhan sebesar itu. Kita harus
mengakui, pencapaian itu tidak mudah, tetapi cahaya harus dinyalakan di tengah
keraguan dan ketidakpastian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar