Investasi dan Stagnasi
Benny D Koestanto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2015
Investor dan pelaku pasar keuangan
global terperanjat Desember ini. Harga kontrak minyak West Texas Intermediate dan Brent
anjlok, masing-masing turun 5 dan 12 persen selama sepekan. Keduanya berada
di bawah 40 dollar AS per barrel.
Badan Energi Internasional pun
mengingatkan suplai minyak yang sudah berlebih saat ini bisa membuat harga
minyak semakin turun tahun depan.
Kecemasan atas masa kini dan masa
depan-khususnya sepanjang 2016-menggelayut di pasar. Semua belum jelas.
Apakah Federal Open Market
Committee Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed),
pertengahan pekan ini yang juga pertengahan Desember akan memberi kejelasan
arah normalisasi moneter di AS?
Bagaimana dengan kondisi dan
prospek perekonomian Tiongkok, termasuk kebijakan devaluasi atas mata uang
yuan? Bagaimana efeknya atas perekonomian Uni Eropa dan Jepang?
Dugaan terjadinya stagnasi pertumbuhan
ekonomi secara sekuler membayang di depan mata. Sebuah stagnasi secara
sekuler, yakni terjadinya suatu kemerosotan ekonomi yang bukan disebabkan
oleh siklus bisnis, tetapi lebih merupakan kondisi permanen.
Perkembangan kondisi perekonomian
di Amerika, Eropa, dan Asia tersebut diperkirakan masih akan membayangi
perkembangan perekonomian global. Apakah kondisi stagnasi pertumbuhan
layaknya di Jepang, Uni Eropa, akan merembet ke benua lain termasuk Asia pada
umumnya dan Indonesia?
Prospek Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah memperoleh aneka sentimen yang
mengiringi. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih lebih baik
dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, IHSG tahun ini telah turun
sekitar 15 persen hingga akhir pekan kedua Desember 2015. Nilai tukar rupiah
juga melemah sekitar 12 persen di pasar spot. Dengan posisi IHSG di akhir
tahun ini di level 4.500, misalnya, maka indeks rawan kembali ke level
3.500-3.700 tahun depan. Mata uang garuda pun diperkirakan berada di atas
level Rp 14.000 per dollar AS sebagaimana pada September lalu sempat menembus
Rp 14.700 per dollar AS.
Kondisi finansial dan ekonomi
internasional yang turun dalam beberapa bulan terakhir, sebagaimana
dinyatakan Bank Dunia pada Oktober 2015, telah meningkatkan tantangan
pengelolaan ekonomi makro di Indonesia dan risiko penurunan terhadap prospek
jangka pendek.
Penghindaran risiko global
meningkat karena kekhawatiran perlemahan pertumbuhan Tiongkok dan volatilitas
pasar keuangan, serta prospek jangka pendek kebijakan moneter AS.
Selain itu, prospek bagi pasar
berkembang dan perdagangan dunia semakin melemah, dengan kelebihan pasokan
mendorong penurunan harga komoditas.
Pertumbuhan
Di tengah berbagai tantangan yang
telah dan masih akan dihadapi pada tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan bergerak lebih baik
dibandingkan 2015.
Berbagai organisasi internasional
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5,1
persen (IMF) hingga 5,4 persen (ADB), dengan tingkat inflasi akan berkisar
5,1 persen (ADB) hingga 6,3 persen (OECD).
Riset Mandiri Sekuritas
memproyeksikan perekonomian Indonesia pada 2016 dan 2017 masih berpeluang
membaik dengan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto sekitar 5 persen dan
5,4 persen secara tahunan. Harapan perekonomian global yang membaik harus
didukung inisiatif dan kemampuan pemerintah menggunakan dan mempromosikan
investasi swasta.
Ruang
bagi BI
Inflasi yang diperkirakan naik
secara tahunan pada 2016 terutama bakal didorong oleh kenaikan tarif listrik
dan dampak El Nino. Namun, inflasi tahun depan itu masih sejalan dengan
kisaran atas target Bank Indonesia (BI).
Berkurangnya volatilitas rupiah
dan inflasi yang lebih terukur memberikan ruang bagi BI untuk memangkas suku
bunga acuan BI hingga 50 basis poin menjadi 7 persen tahun depan.
Aktivitas intermediari
antarlembaga keuangan domestik juga diperkirakan meningkat. Pertumbuhan
kredit perbankan diproyeksikan akan naik 12,7 persen secara tahunan pada
2016.
Sementara itu, tekanan keluarnya
dana investor asing di pasar modal Indonesia diperkirakan menurun, seiring
antisipasi yang telah dilakukan investor terhadap ketidakpastian kenaikan
suku bunga The Fed. Tahun ini jual bersih investor asing dari pasar saham
Indonesia menembus Rp 22 triliun.
Risiko kredit dan risiko pasar
yang dihadapi lembaga keuangan domestik juga diperkirakan akan tetap stabil,
seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik dan volatilitas yang
terkendali di pasar keuangan domestik.
Dengan kondisi itu, di pasar
keuangan saham-saham perbankan, infrastruktur, dan konsumer tetap
diproyeksikan. Tentu saja fundamental perusahaan-perusahaan menjadi hal yang
patut diperhatikan untuk menjadi dasar pilihan investor.
Namun, sebagaimana ditegaskan Bank
Dunia, penurunan yang lebih cepat dari perkiraan di Tiongkok dan harga
komoditas global yang lebih rendah dari proyeksi merupakan risiko penurunan
utama terhadap prospek-prospek itu.
Risiko
Risiko-risiko yang timbul dari
volatilitas pasar keuangan yang terkait dengan ketidakpastian dari laju dan
besarnya normalisasi kebijakan moneter AS dan prospek Tiongkok telah
meningkat sejak Agustus lalu.
Depresiasi rupiah yang signifikan,
kenaikan biaya pendanaan kembali, tidak cukupnya perlindungan nilai (hedging)
dari utang dalam valuta asing, dan penurunan margin keuntungan telah
melemahkan neraca dunia usaha, terutama di perusahaan berbasis sumber daya
alam.
Akan tetapi, APBN 2016 memberi
isyarat akan semakin membaiknya komposisi belanja dengan penguatan
program-program sosial dan dengan mengarahkan kembali belanja dari subsidi
energi ke pembangunan infrastruktur.
Implementasi yang efektif dan
tepat waktu terhadap reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah diharapkan
berkontribusi bagi upaya memacu laju pertumbuhan yang lebih tinggi dan
berkelanjutan pada tahun depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar