Jumat, 04 Desember 2015

Menteri Penghubung dan Masalah Investasi

Menteri Penghubung dan Masalah Investasi

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                               KORAN SINDO,  02 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Investasi, investasi, investasi. Demikian pesan utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke mana pun dan di mana pun. Mencari suntikan dana untuk kegiatan ekonomi yang mempekerjakan ribuan atau bahkan jutaan penduduk melalui investasi adalah pekerjaan rumah hampir semua pemimpin di dunia hari ini; dari Indonesia sampai Jepang, dari Spanyol sampai Amerika Serikat.

Begitu pentingnya arti investasi hingga Presiden Jokowi menerbitkan instruksi presiden. Instruksi presiden ini menugaskan beberapa menteri di dalam kabinet untuk berfungsi sebagai menteri penghubung. Tugas menteri penghubung sejauh yang diperoleh dari media adalah mencari dan mengawal semua komitmen investasi agar terealisasi.

Meskipun kita menyambut niat baik Presiden yang tertuang di dalam instruksi tersebut, sejumlah pertanyaan perlu juga kita ajukan sebagai bagian dari penghargaan positif kita terhadap kebijakan tersebut. Misalnya tentang sejauh mana pengawalan itu akan dilakukan? Wewenang apa yang dimiliki? Apakah para menteri penghubung dapat menggunakan sumber daya manusia dari kementerian lain seperti dari Kementerian Luar Negeri?

Bila dapat, anggaran siapa yang akan digunakan karena kita mengetahui bahwa anggaran tiap bagian dalam departemen telah diperuntukkan sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Keterangan resmi pemerintah mengatakan bahwa penunjukan tersebut untuk menyelesaikan masalah investasi yang tersumbat. Mengacu kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi ke Indonesia masih rendah.

Selama periode 2005-2014 terdapat rencana investasi senilai USD427,99 miliar, namun realisasinya hanya USD168,23 miliar atau rasio investasi rata-rata hanya 39,4%. China adalah negara yang paling besar menanamkan investasi ke Indonesia. Realisasi investasi Tiongkok rata-rata tumbuh 66% per tahun dari USD174 juta pada 2010 menjadi lebih dari USD800 juta pada 2014.

Sayangnya, jumlah tersebut masih jauh dari rencana investasi yang ingin mereka tanamkan sebesar USD36 miliar. Dengan kata lain, dari 10 investor China, hanya 1 yang benar-benar merealisasikan investasinya. Sementara untuk Jepang dan Korea Selatan, dari 10 calon investor setidaknya 6 investor Jepang dan 7 dari Korea Selatan akan merealisasikan investasi.

Saya yakin faktor-faktor yang menghambat itu tidak sama satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, mungkin memang dibutuhkan menteri penghubung yang dapat menguraikan masalahnya dan langsung melaporkannya kepada Presiden. Harapannya, Presiden segera dapat memutuskan jalan keluarnya.

Permasalahannya, faktor yang menghambat investasi mulai hal yang sifatnya mikro seperti lambannya proses birokrasi hingga masalah yang sifatnya struktural atau makro, seperti kewenangan pemerintah daerah (pemda) dalam mengeluarkan izin seperti izin pertambangan atau perkebunan, masalah tanah, akses listrik, masalah logistik dan transportasi, atau masalah hubungan industrial.

Pemda misalnya, juga punya wewenang untuk mengambil retribusi yang kerap dianggap memberatkan bagi para investor. Saya dapat membayangkan para menteri penghubung akan menerima banjir ”curhat” para investor asing yang tentang praktik-praktik yang belum pernah mereka temukan di negara asalnya.

Sejauh mana kemudian, para menteri penghubung bisa ”menjanjikan” penyelesaiannya apabila wewenang yang diberikan sebatas mengidentifikasi dan mengawal komitmen? Beberapa duta besar juga pernah mengalami hal tersebut, namun sering kali sulit menyampaikan jawabannya karena bukan wewenang mereka.

Misalnya masalah yang terkait dengan adanya persaingan tidak sehat, praktik suap atau korupsi dalam tender, birokrasi yang lambat, infrastruktur yang tidak memadai, atau tidak adanya kepastian hukum ketika masalah timbul. Sebagai pejabat publik dan perwakilan RI, para diplomat menghadapi suasana dilematis karena mereka meyakini itu terjadi, tetapi mengakuinya di depan publik luar negeri seperti mencoreng arang di wajah sendiri.

Investasi yang terhambat terjadi sering kali tidak berdiri sendiri namun juga refleksi atas kebijakan di tingkat nasional. Dalam beberapa hari ini, saya berjumpa dengan pengusaha dari berbagai skala bisnis dan jenis usaha dari Indonesia maupun Australia. Ada beberapa kesimpulan dapat didiskusikan di sini.

Pertama-tama, rata-rata pengusaha Indonesia maupun pengusaha asing masih ragu-ragu tentang bentuk kongsi (joint venture) yang tepat untuk usahanya. Undang-undang di Indonesia mensyaratkan di hampir semua sektor, investasi asing wajib berkongsi dengan pengusaha Indonesia.

Sistemnya bagi modal supaya ada bagi hasil. Pengusaha dalam negeri yang skala usahanya kecil dan menengah kerap tidak diuntungkan karena terbatasnya informasi dan ketidakpastian tentang faktor-faktor biaya yang harus ditanggung. Para pengusaha dalam negeri yang diuntungkan biasanya adalah mereka yang sudah berpengalaman bekerja sama dengan pihak asing, sehingga mereka tahu dan percaya diri untuk menghadapi kemitraan dengan pihak asing secara sejajar!

Ironisnya, mereka ini adalah tipe pengusaha yang tidak mau dibantu pemerintah dan yang mereka butuhkan hanyalah kondisi ekonomi-politik yang ramah dan menjamin persaingan yang sehat. Di sinilah saya lihat Indonesia masih sangat kurang. Belum ada kebijakan pemerintah yang mendukung pengusaha-pengusaha Indonesia untuk: 1) membangun keterampilan untuk bermitra dengan pihak asing; 2) menciptakan inovasi produk yang punya nilai tambah (value added) signifikan di bidang masing-masing; dan 3) mengemas produk-produk bermutu dan inovatif sebagai merek (brand) terdepan bagi Indonesia.

Dalam penelitian saya tentang UMKM, kebutuhan tersebut sebetulnya sudah disadari dan bahkan menjadi program kerja Kementerian Koperasi. Kementerian lain seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian juga memiliki program kerja serupa. Namun, hasilnya hingga saat ini masih belum dirasakan.

Kasus yang saya angkat mungkin hanya sebagian kecil dari kasus yang terkait dengan masalah investasi dan menteri penghubung yang ditunjuk tentu akan mendengar masalah yang lebih banyak dan lebih rumit. Bagi Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri, masalah-masalah tersebut mungkin sudah sering didengar dan mungkin juga mereka sudah menyampaikan dan mengusulkan jalan keluarnya.

Oleh sebab itu, sangat baik apabila menteri penghubung dapat menghimpun dan mencerna masalahmasalah yang dikumpulkan oleh KBRI di luar negeri sehingga kerja mereka lebih efisien dan efektif. KBRI dan Konsuler Jenderal juga memiliki peran dan wewenang yang strategis untuk melakukan fungsi pengawasan dan pendorong implementasi perjanjian perdagangan.

Mereka juga telah melakukan koordinasi terkait dengan beberapa kementerian terkait dengan isu di sektor-sektor tertentu. Optimalisasi fungsi ini dalam bentuk peningkatan kapabilitas sumber daya manusia untuk menguasai materi-materi yang terkait dengan hukum perdagangan internasional, hak asasi manusia (HAM), lingkungan, perjanjian perdagangan, globalisasi dan sebagainya tentu akan membantu ketajaman kerja para menteri penghubung.

Wewenang menteri penghubung juga perlu diperjelas secara vertikal dan horizontal. Apakah dapat langsung berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia di luar negeri dan melakukan negosiasi atau melalui menteri luar negeri? Bagaimana pula hubungan para menteri penghubung dengan BKPM? Karena bagaimanapun juga publik perlu juga diberi informasi tentang perubahan yang sedang didorong oleh Presiden. Semakin banyak pengusaha yang paham akan peluang baru yang tersedia, semakin optimal pula hasil instruksi presiden tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar