Jumat, 04 Desember 2015

Demokrasi di Indonesia, Oligarki, dan Robison

Demokrasi di Indonesia, Oligarki, dan Robison

Vishnu Juwono  ;  Dosen Administrasi Publik di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA)
Universitas Indonesia; Kandidat Doktor di London School of Economics (LSE)
                                               KORAN SINDO,  02 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 2-3 November, Departemen Politik FISIP Universitas Indonesia mengadakan konferensi internasional (BICOIPG) mengenai politik dan pemerintahan di Indonesia yang berlangsung selama dua hari di FISIP UI.

Namun, yang menarik bagi saya adalah hadirnya Profesor Richard Robison yang menjadi pembicara kunci di konferensi akademik tersebut. Profesor Robison merupakan akademisi ekonomi politik terkemuka asal Murdoch University yang bukunya the Rise of Capital pada tahun 1986, digunakan sebagai referensi utama bagi para aktivis-aktivis kampus dan kalangan akademisi yang sangat kritis terhadap dominasi keluarga Soeharto serta kroninya pada 1980-1990-an.

Selain itu juga bersama muridnya, Profesor Vedi Hadiz, menulis buku penting pada 2004 berjudul Reorganising Power in Indonesia yang menganalisis bahwa di era pos-Soeharto ternyata oligarki yang mempunyai kekuatan modal besar dan berpengaruh di masa Orde Baru mampu bertahan dan beradaptasi dengan struktur politik baru yang lebih demokratis di era reformasi.

Kembali lagi pada pidato kunci pembuka yang diberikan Profesor Robison di FISIP UI dengan judul yang cukup provokatif, yakni Is Democracy Enough?, terdapat dua pertanyaan fundamental yang diajukan beliau pada situasi politik Indonesia saat ini. Pertama, mengapa demokrasi di Indonesia gagal mendorong reformasi di Indonesia? Serta yang kedua adalah bagaimana nasib dari kelompok reformis ke depannya?

Demokrasi di Indonesia Kebablasan?

Di era reformasi di mana berbagai skandal korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan terus mengemuka di berbagai pemerintahan era reformasi mulai masa Presiden Habibie hingga saat ini di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Akibatnya timbul berbagai kritik yang menekankan bahwa sistem politik yang demokratis ternyata tidak secara otomatis terwujudnya pemerintahan yang bersih dan efektif di Indonesia.

Bahkan, tidak sedikit pula kelompok konservatif yang mengkritik bahwa demokrasi di Indonesia sudah “kebablasan”. Kelompok konservatif inilah menurut Robison yang berargumen bahwa demokrasi memperlemah kohesi sosial dan identitas nasional, sehingga yang diperlukan adalah penataan ulang untuk mengurangi ekses demokrasi dan diperlukan kepemimpinan yang lebih kuat.

Dalam sejarah politik Indonesia, kepemimpinan yang kuat sebagai salah satu solusi dari ekses buruk demokrasi menjadi dasar pemerintah Soekarno pada masa demokrasi terpimpin di tahun 1959-1968 serta pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru tahun 1968- 1998. Menurut Robison, argumen dari kelompok konservatif ini menafikan dinamika kepentingan sosial serta politik yang merekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok oligarki dengan kalkulasi politik yang rasional.

Melalui kekuatan modalnya, kelompok oligarki ini menggunakan sistem demokrasi Indonesia dengan kekuatan dananya yang besar melalui distribusi patronase untuk mengooptasi partai politik serta menguasai parlemen. Pada akhirnya berdasarkan pengamatan Robison, partai politik dijadikan alat untuk mengakumulasi kekuatan politik dan digunakan sebagai instrumen untuk melemahkan berbagai upaya reformasi yang dilakukan oleh kelompok progresif terutama melalui parlemen.

Tidak ada partai politik yang secara murni memperjuangkan ide dan kebijakan reformasi bagi kepentingan lebih luas. Kekuatan reformis dan progresif yang dimotori kalangan masyarakat sipil serta akademisi memang melakukan berbagai upaya mendorong inisiatif reformasi dan melakukan perlawanan untuk berbagai isu seperti penegakan hukum,

masalah lingkungan, hak asasi manusia, serta menuntut pertanggungjawaban dari pejabat yang korup. Namun bagi Robison, kebanyakan upaya tersebut dilakukan di luar struktur lembaga politik formal, di mana lembaga politik penting seperti partai politik dan parlemen masih didominasi oleh kekuatan oligarki. Tidak ada partai politik Indonesia yang reformis hingga saat ini.

Dominasi Oligarki berlanjut?

Tentu saja penilaian dari akademisi sekaliber Robison mengenai prospek suram dari demokrasi di Indonesia ini mengkhawatirkan dan perlu kita renungkan. Namun, apakah memang prospeknya sedemikian suram? Apabila kita melihat perdebatan dalam literatur akademik politik di Indonesia, Robison bersama dengan Vedi Hadiz dan penulis buku politik penting Oligarchy (2011) Profesor Jeffrey Winters mewakili kelompok intelektual yang berpendapat bahwa kekuatan politik oligarki sangat mendominasi dan “membajak” lembaga formal politik Indonesia, sehingga reformasi sulit dilakukan.

Walaupun kelompok oligarki di Indonesia merupakan kekuatan politik yang nyata dan berpengaruh, saya lebih sependapatdengankelompokpluralis yang di antaranya diwakili dua akademisi dari Australia National University (ANU), Profesor Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, seperti dijelaskan dalam artikel mereka di buku Beyond Oligarchy (2014).

Menurut penganut paham pluralis, kelompok reformis tidak selalu mengalami kegagalan karena masih ada kekuatan progresif baik di dalam maupun di luar struktur politik formal yang mampu mendorong reformasi. Seperti yang diterangkan dalam makalah saya di konferensi BICOIPG yang membahas mengenai inisiatif antikorupsidan governance reform diera Presiden Megawati Soekarnoputri, ternyata beberapa kelompok reformis berhasil mendorong melakukan reformasi struktural di era reformasi.

Seperti proses amendemen konstitusi UUD 1945 di masa Megawati yang didorong pimpinan panitia ad hoc 1 BP MPR yang menghasilkan struktur politik lebih demokratis. Pada masa yang sama pula, elemen reformis di pemerintah dan DPR berhasil melakukan kerja sama dengan civil society berhasil menjadikan Undang-Undang No 30/2002 yang menjadi dasar berdirinya KPK.

Persaingan politik antara kelompok konservatif dan kelompok reformis terus berlanjut hingga saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Seperti konflik antara polisi dan KPK, manuver politik koalisi pendukung pemerintah dan oposisi, serta berbagai kegaduhan politik lainnya.

Tentu menarik untuk disimak, pada 2019 setelah masa pemerintah Joko Widodo berakhir apakah pendapat Prof Robison terbukti, di mana kelompok oligarki terus mendominasi hingga membuat reformasi stagnan ataukah akan ada inisiatif reformasi politik baru dari kelompok progresif hingga timbulnya harapan baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar