Bangsa Tanpa Dongeng
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
04 Desember 2015
Apa artinya sebuah
bangsa tanpa imajinasi? Pasti serba teknis. Robotik. Mekanis. Kering. Klise.
Miskin budaya. Tidak bahagia.
Imajinasi pintu bagi manusia
untuk keluar sekaligus melampaui realitas formal yang beku, lalu menemukan
dunia nilai alternatif. Di situ, daya cipta terpompa dan melahirkan
kreativitas. Manusia pun menemukan kebahagiaan kultural yang jauh lebih
bernilai daripada kesenangan material.
Manusia pada dasarnya
makhluk yang rentan mengalami ketertindasan. Surga telah hilang, kata seorang
resi. Maka, dengan imajinasinya itu, manusia mencoba menghadirkan kembali
dunia ideal yang diimpikan. Upaya ini juga sering disebut sebagai langkah ”penebusan”
atas dunia yang tidak utuh lagi atau mengalami detotalisasi nilai.
Imajinasi itu juga
dikandung dalam dongeng. Dulu, ketika masih kanak-kanak, kita mendengar
dengan takzim dongeng-dongeng yang dilisankan bapak, ibu atau kakek dan
nenek. Dengan gayanya yang ekspresif dan penuturan yang artikulatif, mereka
mengajak kita memasuki jagat kisah. Imajinasi kita pun bebas mengembara:
membayangkan sosok tokoh cerita, penataan tempat, dan berbagai peristiwa
dramatik. Kita terhanyut, luluh. Kita turut merasakan duka, bahagia sang
tokoh protagonis (pendukung tesis dongeng). Kita berempati kepadanya. Kita
pun mengecam tokoh antagonis (yang melawan tesis dongeng) yang licik, culas,
dan kejam.
Dalam proses menuju
dewasa,nilai-nilai ideal dongeng itu diam-diam kita pelihara dalam
ceruk-meruk memori. Kita mendapat semacam orientasi moral yang menuntun
perilaku kita. Kita, tanpa sadar, terdidik untuk membedakan ”tangan kanan”
dan ”tangan kiri” dalam pergaulan sosial, kita bisa membedakan yang pantas
dan tidak pantas, membedakan hak diri sendiri dan hak orang lain yang tidak
boleh diambil, dicuri atau dirampas. Nilai kejujuran dan sifat lurus hati tak
hadir sebagai konsep moral yang beku, seperti dalam khotbah-khotbah,
melainkan luluh dalam kisah secara subtil.
Di sini tidak berlaku
jargon yang menggelikan itu, ”tontonan” dan ”tuntunan”. Bagaimana keduanya
bisa dipisahkan? Tontonanyang bernilai dan indah sekaligus mampu jadi
tuntunan moral tanpa harus dinyatakan. Dalam kesenian yang berhasil,bentuk
dan isi tak bisa lagi dibedakan. Keduanya luluh membentuk entitas estetik.
Dongeng pun mampu
menghadirkan teater dalam kepala. Kemampuan kita mengimajinasikan
narasi-narasi dongeng menghadirkan berbagai peristiwa dramatik-teaterikal di
dalam benak. Benak kita menjadi panggung yang sangat luas bagi seluruh
peristiwa dramatik itu. Di sini narasi-narasi dongeng mengalami transformasi
estetik-kreatif menjadi ”daging” kisah yang bisa dikenali, diakrabi,
dihayati, sehingga kehadiran dongeng itu sangat terasa dalam rongga jiwa.
Namun, kini dongeng
nyaris tak hadir dalam kehidupan anak-anak kita. Kehidupan yang makin
pragmatis-materialististelah menimbulkan jarak psikologis antara orangtua dan
anak. Dunia keluarga tak lagi jadi sarang yang hangat bagi anak-anak untuk
menikmati dan menyerap nilai-nilai dongeng. Anak-anak pun lari dari ruang
keluarga, menemukan ”oase” baru bernama playstation, gadget, dan televisi
yang lebih banyak memproduksi ”sampah” kebudayaan. Anak-anak pun semakin
soliter, personal, dan individual, bahkan egoistik.
Selain itu, semakin
lenyapnya dongeng dari kehangatan ruang keluarga juga disebabkan problem
kemiskinan budaya yang diidap para orangtua. Mereka tak memiliki literatur
dongeng yang kaya karena mereka umumnya adalah generasi yang lahir tidak dari
kultur dongeng, tetapi kultur digital. Mereka berprinsip dongeng toh bisa
digantikan film. Mereka lupa, yang tidak bisa digantikan adalah interaksi dan
pertalian batin dan jiwa antara anak dan orangtua dalam pertemuan langsung.
Selain itu, proses penikmatan film bersifat personal, sedangkan
penikmatandongeng bersifat komunal.
Mengambil tanggal
lahir Pak Raden (Suyadi), pencipta tokoh Unyil,28 November telah
dideklarasikan sebagai Hari Dongeng Nasional oleh Forum Dongeng Nasional.
Kita berharap, pencanangan Hari Dongeng Nasional itu tak sekadar ritus
artifisial, tetapi momentum membangkitkan budaya dongeng di negeri ini.
Antara lain dengan mengaitkan budaya dongeng dengan sistem pendidikan
nasional dan menghidupkan komunitas-komunitas dongeng. Pemerintah/negara perlu
memberikan dukungan baik melalui regulasi maupun politik anggaran. Langkah
strategis ini perlu ditempuh sebelum bangsa ini tumbuh tanpa budaya dongeng
dan hanya ditimbuni narasi-narasi kriminal dari kasus-kasus korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar