Minggu, 06 Desember 2015

Bangsa Tanpa Dongeng

Bangsa Tanpa Dongeng

Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan
                                                      KOMPAS, 04 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa artinya sebuah bangsa tanpa imajinasi? Pasti serba teknis. Robotik. Mekanis. Kering. Klise. Miskin budaya. Tidak bahagia.

Imajinasi pintu bagi manusia untuk keluar sekaligus melampaui realitas formal yang beku, lalu menemukan dunia nilai alternatif. Di situ, daya cipta terpompa dan melahirkan kreativitas. Manusia pun menemukan kebahagiaan kultural yang jauh lebih bernilai daripada kesenangan material.

Manusia pada dasarnya makhluk yang rentan mengalami ketertindasan. Surga telah hilang, kata seorang resi. Maka, dengan imajinasinya itu, manusia mencoba menghadirkan kembali dunia ideal yang diimpikan. Upaya ini juga sering disebut sebagai langkah ”penebusan” atas dunia yang tidak utuh lagi atau mengalami detotalisasi nilai.

Imajinasi itu juga dikandung dalam dongeng. Dulu, ketika masih kanak-kanak, kita mendengar dengan takzim dongeng-dongeng yang dilisankan bapak, ibu atau kakek dan nenek. Dengan gayanya yang ekspresif dan penuturan yang artikulatif, mereka mengajak kita memasuki jagat kisah. Imajinasi kita pun bebas mengembara: membayangkan sosok tokoh cerita, penataan tempat, dan berbagai peristiwa dramatik. Kita terhanyut, luluh. Kita turut merasakan duka, bahagia sang tokoh protagonis (pendukung tesis dongeng). Kita berempati kepadanya. Kita pun mengecam tokoh antagonis (yang melawan tesis dongeng) yang licik, culas, dan kejam.

Dalam proses menuju dewasa,nilai-nilai ideal dongeng itu diam-diam kita pelihara dalam ceruk-meruk memori. Kita mendapat semacam orientasi moral yang menuntun perilaku kita. Kita, tanpa sadar, terdidik untuk membedakan ”tangan kanan” dan ”tangan kiri” dalam pergaulan sosial, kita bisa membedakan yang pantas dan tidak pantas, membedakan hak diri sendiri dan hak orang lain yang tidak boleh diambil, dicuri atau dirampas. Nilai kejujuran dan sifat lurus hati tak hadir sebagai konsep moral yang beku, seperti dalam khotbah-khotbah, melainkan luluh dalam kisah secara subtil.

Di sini tidak berlaku jargon yang menggelikan itu, ”tontonan” dan ”tuntunan”. Bagaimana keduanya bisa dipisahkan? Tontonanyang bernilai dan indah sekaligus mampu jadi tuntunan moral tanpa harus dinyatakan. Dalam kesenian yang berhasil,bentuk dan isi tak bisa lagi dibedakan. Keduanya luluh membentuk entitas estetik.

Dongeng pun mampu menghadirkan teater dalam kepala. Kemampuan kita mengimajinasikan narasi-narasi dongeng menghadirkan berbagai peristiwa dramatik-teaterikal di dalam benak. Benak kita menjadi panggung yang sangat luas bagi seluruh peristiwa dramatik itu. Di sini narasi-narasi dongeng mengalami transformasi estetik-kreatif menjadi ”daging” kisah yang bisa dikenali, diakrabi, dihayati, sehingga kehadiran dongeng itu sangat terasa dalam rongga jiwa.

Namun, kini dongeng nyaris tak hadir dalam kehidupan anak-anak kita. Kehidupan yang makin pragmatis-materialististelah menimbulkan jarak psikologis antara orangtua dan anak. Dunia keluarga tak lagi jadi sarang yang hangat bagi anak-anak untuk menikmati dan menyerap nilai-nilai dongeng. Anak-anak pun lari dari ruang keluarga, menemukan ”oase” baru bernama playstation, gadget, dan televisi yang lebih banyak memproduksi ”sampah” kebudayaan. Anak-anak pun semakin soliter, personal, dan individual, bahkan egoistik.

Selain itu, semakin lenyapnya dongeng dari kehangatan ruang keluarga juga disebabkan problem kemiskinan budaya yang diidap para orangtua. Mereka tak memiliki literatur dongeng yang kaya karena mereka umumnya adalah generasi yang lahir tidak dari kultur dongeng, tetapi kultur digital. Mereka berprinsip dongeng toh bisa digantikan film. Mereka lupa, yang tidak bisa digantikan adalah interaksi dan pertalian batin dan jiwa antara anak dan orangtua dalam pertemuan langsung. Selain itu, proses penikmatan film bersifat personal, sedangkan penikmatandongeng bersifat komunal.

Mengambil tanggal lahir Pak Raden (Suyadi), pencipta tokoh Unyil,28 November telah dideklarasikan sebagai Hari Dongeng Nasional oleh Forum Dongeng Nasional. Kita berharap, pencanangan Hari Dongeng Nasional itu tak sekadar ritus artifisial, tetapi momentum membangkitkan budaya dongeng di negeri ini. Antara lain dengan mengaitkan budaya dongeng dengan sistem pendidikan nasional dan menghidupkan komunitas-komunitas dongeng. Pemerintah/negara perlu memberikan dukungan baik melalui regulasi maupun politik anggaran. Langkah strategis ini perlu ditempuh sebelum bangsa ini tumbuh tanpa budaya dongeng dan hanya ditimbuni narasi-narasi kriminal dari kasus-kasus korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar