Minggu, 06 Desember 2015

Jubah Merah

Jubah Merah

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom”KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 06 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa ada seorang gadis kecil bernama Irine. Ia dicintai oleh semua orang, terlebih lagi neneknya, karena Irine adalah anak yang manis dan baik budi.

Suatu hari, ketika ia merayakan hari ulang tahunnya, nenek Irine menghadiahkan Jubah Merah bertopi yang lucu kepadanya. Irine sangat senang. Ia sangat menyukai hadiah dari neneknya itu. Jubah Merah hadiah dari nenek itu pun segara dipakainya. Dan, ia pergi berjalan-jalan menyusuri jalan desa.

Melihat Irine jalan-jalan mengenakan Jubah Merah, sahabat-sahabatnya—sapi, kucing, anjing, tupai, burung, kupu-kupu, dan kambing—kagum pada jubah itu. Mereka ingin sekali menyentuh Jubah Merah Irine.

Di Jepang, juga ada cerita tentang Jubah Merah. Menurut legenda urban Jepang, Jubah Merah adalah hantu yang menunggui kamar mandi. Biasanya, hantu Jubah Merah menunggui bilik terakhir di kamar mandi perempuan.

Versi lain mengisahkan, hantu itu mengenakan topeng untuk menutupi wajahnya yang sangat tampan. Ketika korban berada di toilet, tiba-tiba terdengar suara misterius, yang menanyakan apakah orang yang di toilet memilih kertas tisu merah atau biru. Jika menjawab tisu merah, maka korban akan dibunuh dengan kejam hingga bersimbah darah. Jika menjawab tisu biru, maka korban akan dicekik atau darahnya disedot sampai habis, sehingga wajah atau kulit korban berwarna biru pucat.

Si hantu, menurut versi lainnya lagi, bertanya apakah korbannya mau memakai Jubah Merah. Bila mengiyakan, maka hantu itu akan mencabik kulit korbannya. Hantu itu bisa juga bertanya kepada korbannya apakah mau baju merah atau biru. Kalau calon korban menjawab, tidak membutuhkan kertas merah maupun biru, maka selamatlah ia.

Itu semua dongeng belaka, beda dengan yang terjadi di Maryland, Amerika Serikat. Hingga kini, para hakim di Pengadilan Banding Maryland mengenakan jubah merah tua saat bersidang. Rudolf Lamy dalam A Study of Scarlet: Red Robes and the Maryland Court of Appeals, menulis jubah merah itu bermula dalam budaya dan sejarah Inggris, juga di masa pasca Revolusi Maryland.

Tradisi pemakaian jubah di Inggris bermula sekitar 700 tahun lampau, yakni di zaman pemerintahan Raja Edward II, berkuasa 1307-1327. Dialah yang pertama kali mendapatkan gelar Pangeran Wales. Di zaman Edward III berkuasa, 1327-1377, jubah hakim memiliki tiga warna: ungu (digunakan saat musim dingin), hijau (dipakai pada saat musim panas), dan merah tua (dipakai pada peristiwa-peristiwa khusus).

Pada tahun 1534, jubah hijau tidak dipakai lagi. Sejak saat itu, yang dipakai hanya jubah ungu dan hitam. Adapun jubah merah tua hanya dipakai saat mengadili kasus-kasus kriminal atau pada hari-hari orang-orang kudus tertentu. Cerita lainnya lagi mengisahkan, penggunaan jubah hitam baru dimulai setelah kematian Raja Charles II (1630-1685). Penggunaan warna hitam sebagai tanda berkabung. Tetapi, cerita lainnya lagi mengisahkan pemakaian jubah hitam dimulai saat pemakaman Ratu Mary, pada tahun 1694.

Yang pasti, hingga kini para hakim di Pengadilan Banding Maryland mengenakan jubah merah tua saat bersidang. Tentu jubah merah mereka berbeda dengan jubah merah yang dikenakan Kardinal Richelieu (1585-1642), dari Perancis yang sangat kondang di zaman Raja Louis XIII berkuasa di Perancis dari 1624-1642. Karier puncak Kardinal Richelieu yang dikenal dengan sebutan ”Kardinal Jubah Merah” karena ia mengenakan jubah merah kekardinalan, dari semula sebagai penasihat Louis XIII menjadi perdana menteri. 

Cita-cita Kardinal Richelieu adalah membangun absolutisme Kerajaan Perancis dan mengakhiri hegemoni Kerajaan Spanyol-Habsburg di Eropa. Pengaruh Kardinal Richelieu sangat besar dan kuat, dan ia sangat berkuasa pada zamannya. Dia dikenal sebagai pendukung sekularisasi politik internasional saat Perang Tiga Puluh Tahun.

Tetapi, barangkali, ketenaran Kardinal Richelieu kalah dari ”Red Robe” (Jubah Merah) lainnya, ”The Human Hunter.” Dialah vampir yang sangat kejam, haus darah, dan dikenal sebagai penakluk vampir ”The Blood Drinker” dan ”The Red Bearer”. Tentu, mereka berbeda dengan Jubah Merah di negeri ini, yang tampil ganas di televisi beberapa hari lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar