Inersia Politikus
Budi Darma ;
Sastrawan; Guru Besar Emeritus Unesa
|
KOMPAS,
01 Desember 2015
Tengoklah peristiwa
ini: seorang laki-laki—panggil: Bejo—Bejo, jatuh cinta kepada seorang
perempuan, Pawestri. Karena jatuh cinta, Bejo berhasrat mendekati Pawestri.
Dalam hati berjanjilah Bejo kepada dirinya, ”Besok sore saya akan ke rumah
Pawestri, lalu dia akan saya ajak nonton film.” Waktu pun berjalan dan
tibalah saatnya bagi Bejo memenuhi janji dalam hatinya. Ternyata Bejo punya
alasan menunda rencana kunjungannya ke rumah Pawestri. Alasannya, saat akan
berangkat ke rumah Pawestri, tiba-tiba perutnya sakit. Janji ditunda sampai
hari berikutnya. Pada hari berikutnya, ketika tiba saatnya dia harus ke rumah
Pawestri, tiba-tiba kepalanya pusing.
Janji kepada dirinya
pun ditunda lagi. Keesokan hari, ketika dia akan berangkat ke rumah Pawestri,
tiba-tiba dia sadar bahwa dia mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikan
segera. Janji mengunjungi Pawestri pun ditunda lagi. Penundaan-penundaan
semacam ini, inilah yang dinamakan inersia.
Selepas Perang Dunia
I, inersia banyak melanda orang-orang kaya Amerika dan Eropa. Perang Dunia I
telah merusak banyak tatanan masyarakat dan, akibatnya, masyarakat menjadi
”lumpuh.” Namun, ”kelumpuhan” ini relatif tak berlangsung lama. Tak lama
setelah Perang Dunia I usai, industri tumbuh dengan ganas. Lahirlah banyak
kelas orang kaya baru (OKB). Orang yang sebelum Perang Dunia I sudah kaya
bertambah kaya.
Kendati kaya, mau tak
mau secara tak sadar mereka tak bisa membebaskan diri dari trauma Perang
Dunia I. Akibatnya, mereka menjadi, menurut istilah TS Eliot, the hollow men.
Mereka adalah orang-orang hebat, hidup mereka serba gemerlap, tetapi pada
hakikatnya mereka hanya orang-orang yang kosong, tanpa pegangan spiritual.
Karena tak punya pegangan spiritual, mereka cenderung berfoya-foya dan
berfoya-foya demi kepentingan berfoya-foya itu sendiri.
Kita dapat menduga
bahwa para tokoh politik kita, khususnya yang kelas berat, bukanlah
orang-orang yang miskin harta. Mereka bukan hanya sekadar hidup berkecukupan,
melainkan lebih dari itu. Dari mana mereka memperoleh harta, kita tak tahu
pasti, tetapi kira-kira karena mereka punya kesempatan mencari harta, baik
halal maupun yang kehalalannya diragukan. Ini pulalah yang terjadi kepada
orang-orang kaya, khususnya orang-orang kaya baru selepas Perang Dunia I.
Karena itu, waktu itu ada istilah bootlegging.
Makna harfiah bootlegging adalah menyembunyikan
barang, khususnya barang tak halal, ke dalam sepatu boot. Dengan demikian,
ketika berjalan, termasuk waktu dia melewati batas negara, para petugas tak
menaruh curiga. Karena itu, bootlegging
identik dengan penyelundupan dan tindakan tak halal lain, misalnya menerima
suap dan korupsi. Awalnya, bootlegging
hanyalah penyelundupan kecil-kecilan, tetapi dalam perkembangannya bisa juga
berarti penyelundupan besar-besaran atau juga perbuatan tak halal yang
melanggar batas kewajaran.
Sangat mahir
Para bootlegger sangat
mahir dalam melakukan penyelundupan dan tindakan tak halal. Dalam prinsip
hidup mereka, tak ada kata inersia dalam mengeruk harta. Namun, dalam kasus
yang sebetulnya merupakan kewajiban moral mereka untuk menyelesaikan kasus
itu dengan cepat dan bijaksana, mereka adalah penderita inersia kelas ulung.
Mereka cenderung menunda-nunda penyelesaian cepat dan bijaksana yang
merupakan tanggung jawab moral mereka.
Mungkin ada bedanya
antara inersia orang-orang culun dan para politisi kelas berat. Orang culun
menderita inersia karena memang dia hanya mampu bermimpi tak mampu bertindak,
sedangkan inersia politikus kelas berat mungkin dilandasi strategi dan taktik
serba canggih. Menunda untuk kepentingan politik, menunda untuk keuntungan
mereka. Apakah kepentingan mereka berkaitan dengan kepentingan rakyat
tergantung tiap politikus kelas berat itu.Istilah the hollow men bagi orang
culun mungkin terbatas kekosongan spiritual dan, bagi politikus kelas berat,
mungkin istilah ini identik pula dengan tuna moral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar