Kamis, 03 Desember 2015

Citra DPR dan Politik Tercela

Citra DPR dan Politik Tercela

Azyumardi Azra  ;  Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
                                                      KOMPAS, 01 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Citra DPR tampaknya kian terpuruk di mata masyarakat. Setelah lebih dari setahun DPR hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bekerja, publik belum melihat tanda-tanda perbaikan kinerja yang boleh jadi bisa meningkatkan citranya. Tampak ”penyakit lama” bertahan di lingkungan DPR. Kinerja lembaga legislatif ini masih jauh daripada memuaskan masyarakat.

Lihatlah, misalnya, dalam legislasi. Setelah setahun di Senayan, anggota DPR menghasilkan hanya tiga undang-undang (UU), yakni UU Nomor 17 Tahun 2014 yang juga dikenal sebagai UU MD3, UU No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No 1/2014 mengenai Penetapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Kepala Daerah); dan UU No 2/2015 tentang Penetapan atas Perppu No 2/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pencapaian ini jelas di bawah target. Sebelumnya, DPR menargetkan 39 rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Perbaikan citra tidak tertolong dengan tingkat kehadiran anggota DPR yang rendah dalam berbagai rapat resmi. Selain itu, komisi-komisi DPR lebih sibuk dengan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif sehingga banyak waktu habis untuk pertemuan dengan para menteri dan kepala lembaga serta pihak lain. Citra DPR jelas tidak kian membaik dengan dua kasus belakangan ini. Meskipun kedua kasus ini semula bersifat personal anggota atau kelompok anggota DPR, yang kemudian muncul dalam persepsi publik adalah DPR secara keseluruhan.

Kasus pertama menyangkut Ketua DPR Setya Novanto yang dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan karena mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia.

Kasus kedua adalah keengganan atau penolakan Komisi III melanjutkan proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui uji kelayakan dan kepatutan. Sebenarnya isyarat penolakan itu sudah terlihat sejak DPR menerima nama delapan calon pimpinan. Ada kalangan anggota DPR mempersoalkan tiadanya calon berlatar belakang jaksa dan bergelar sarjana hukum.

Kedua kasus ini tidak hanya menjadi perdebatan pro dan kontra di kalangan anggota DPR, tetapi juga di masyarakat. Sedikitnya ada dua persepsi di masyarakat, mulai dari lingkungan akademis sampai ke sopir taksi. Pertama, bertahannya praktik percaloan memanfaatkan keanggotaan dan posisi di DPR. Persepsi kedua ialah masih ada anggota dan fraksi di DPR yang ingin, dengan berbagai cara, melemahkan KPK.

Dengan persepsi ini, masyarakat melihat banyak anggota DPR yang tidak peduli pada perbaikan negara-bangsa Indonesia. Kedua kasus itu memperlihatkan ketiadaan niat tulus menciptakan negara Indonesia yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua kasus itu juga memperlihatkan banyak anggota dan fraksi lebih peduli kepentingan diri dan kelompok daripada kepentingan publik.

Meski anggota DPR mewakili konstituen masing-masing, dalam praktiknya banyak di antara mereka sama sekali tidak mempertimbangkan dan malu kepada pemilih.

Keadaan politik seperti ini disebut Rittel dan Webber (1984) sebagai wicked problems (masalah tercela) yang secara ekstensi mencakup wicked politics (politik tercela). Kedua kasus di atas dapat disebut wicked problems karena memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral bersifat buruk dan tidak etis. Bahkan, jika dilihat dari sudut agama, kasus-kasus itu menjadi masalah tercela karena mengandung niat dan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Tuhan.

Masalah tercela yang diciptakan kalangan pemangku jabatan publik, dengan meminjam kerangka Rittel dan Webber, memunculkan apa yang saya sebut sebagai politik tercela. Keduanya terbukti menjadi sumber dari banyak masalah di lembaga publik, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan politik.

Masalah tercela eksis juga di negara lain, termasuk yang mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Perbedaan paling mencolok adalah, ketika masalah tercela terbongkar, di negara lain pelakunya biasanya mengundurkan diri. Bahkan, ada yang bunuh diri. Sebaliknya, di Indonesia, pelaku tetap bertahan tanpa rasa malu dan bersalah.

Apa yang dimaksud dengan politik tercela adalah merajalelanya tindakan politik tercela (wicked) yang sulit diselesaikan karena seolah sudah menjadi ”tradisi”. Politik tercela seakan tidak bisa diakhiri karena kuatnya resistansi pelaku dan kelompoknya yang memiliki kekuasaan dan hak istimewa sebagai pemangku jabatan publik.

Berlanjutnya masalah tercela dan politik tercela di Tanah Air tidak hanya merugikan citra DPR, tetapi juga politik Indonesia secara keseluruhan. Berbagai studi akademik tentang kedua masalah ini di sejumlah negara menyimpulkan, keduanya menjadi salah satu sumber pokok meluasnya apatisme politik warga. Juga disimpulkan, masalah tercela dan politik tercela menjadi sumber kegagalan politik (political failures) untuk memperbaiki keadaan negara dan warga secara keseluruhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar