Catatan Pilkada Serentak
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 15 Desember 2015
Pilkada serentak yang diamanatkan
oleh UU Nomor 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun
2015 telah dilaksanakan pada 9 Desember lalu. Penyelenggaraan pilkada
serentak diterapkan karena dipandang lebih efisien dari sisi penyelenggaraan
serta dimaksudkan agar stabilitas sosial, politik, dan penyelenggaraan
pemerintahan tidak terlalu sering terganggu oleh eskalasi suhu politik dari
pelaksanaan pilkada yang terus-menerus. Pilkada serentak dilaksanakan secara
bertahap untuk menuju pilkada serentak secara nasional pada 2027.
Pilkada serentak 2015 ini
merupakan pilkada serentak tahap pertama yang akan dilanjutkan pada tahap
berikutnya yaitu 2017, 2018, 2020, 2022, dan 2023. Sebagai pelaksanaan yang
pertama, semua hal yang terjadi harus mendapat perhatian dari semua pihak
untuk perbaikan pengaturan dan pelaksanaan pilkada serentak selanjutnya.
Secara umum pilkada serentak yang lalu berjalan baik, setidaknya jika diukur
dari segi keamanan dan jadwal pelaksanaan.
Dari sisi keamanan, walaupun awalnya
daerah tertentu telah diwaspadai munculnya gejolak dan konflik sosial, itu
tidak terjadi. Dari sisi waktu pelaksanaan, pemungutan suara dapat dilakukan
sesuai jadwal meski ada lima daerah yang harus ditunda. Kendati demikian,
setidaknya terdapat tiga hal yang patut dicatat yaitu tentang pilkada di
daerah yang ditunda, tingkat partisipasi, dan politik uang.
Penundaan
Pilkada
Terdapat lima daerah yang
mengalami penundaan pilkada yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten
Fakfak, Kota Pemantangsiantar, Kabupaten Simalungun, dan Kota Manado. Walau
penundaan di lima daerah ini tidak menghilangkan makna pilkada serentak, tetap
harus mendapat perhatian khusus dengan harapan tidak ada penundaan lagi pada
pilkada serentak 2017.
Penundaan tersebut terjadi karena
persoalan hukum sengketa dalam proses pencalonan yang belum ada putusan
akhir, sedangkan pemungutan suara harus dilakukan sesuai jadwal. Penyelesaian
sengketa tata usaha negara pilkada, sebagaimana diatur dalam Pasal 153 dan
154 UU Pilkada, harus melalui upaya administratif di Bawaslu provinsi dan/
atau Panwaslu kabupaten/ kota sebelum diajukan ke PT TUN.
Pengajuan gugatan atas sengketa
tata usaha negara pilkada ke PT TUN dilakukan paling lama tiga hari setelah
dikeluarkan keputusan Bawaslu provinsi dan/atau Panwaslu kabupaten/ota.
Putusan PT TUN dapat diajukan kasasi ke MA sebagai upaya hukum terakhir.
Keseluruhan waktu yang dibutuhkan untuk proses perkara di pengadilan adalah
64 hari.
Agar tidak lagi terdapat
penundaan, harus dilakukan penyesuaian antara waktu yang dibutuhkan
keseluruhan sengketa TUN dan jadwal tahapan pilkada, khususnya dari tahapan
kampanye hingga pemungutan suara. Demikian pula waktu untuk penyelesaian
sengketa juga dapat diperpendek misalnya tujuh hari untuk PT TUN dan 14 hari
untuk kasasi MA. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kapan pilkada untuk
lima daerah itu akan dilakukan.
Jika merujuk pada Pasal 201 UU
Pilkada, pelaksanaan pilkada serentak adalah pada Desember 2015. Karena itu,
harus diupayakan pelaksanaan pilkada untuk lima daerah itu adalah pada
Desember 2015 ini. Jika tidak dapat dilaksanakan bulan ini, akan terdapat
persoalan hukum karena tentu tidak dapat dilaksanakan pada 2016 karena UU
Pilkada tidak menyebutkan ada pilkada pada 2016.
Kalaupun akan dilaksanakan pada
2016, tentu membutuhkan perubahan UU Pilkada atau perppu. Jika dilaksanakan
secara serentak pada 2017, tentu akan menimbulkan persoalan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah karena tiadanya jabatan kepala daerah dan
wakil kepala daerah dalam waktu yang cukup lama.
Tingkat
Partisipasi
Tingkat partisipasi pemilih
merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian publik. KPU menargetkan
tingkat partisipasi sebesar 77%, namun data hingga saat ini tingkat
partisipasi ada pada angka 73,22%. Hal lain yang lebih penting adalah ada
tingkat partisipasi yang sangat rendah misalnya di Medan yang hanya sekitar
30%. Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi.
Pembatasan model kampanye dan
penyediaan alat peraga oleh KPU tentu ikut memengaruhi ketersebarluasan
informasi dan antusiasme pemilih. Dari sisi peserta tampaknya juga memiliki
pengaruh kuat. Partisipasi akan cenderung kecil di daerah dengan pasangan
calon tunggal, adanya pasangan calon yang superior, atau semua pasangan calon
tidak dikenal atau setidaknya dinilai sama saja oleh masyarakat.
Karena itu, untuk meningkatkan
partisipasi menjadi tugas, baik penyelenggara maupun partai politik sebagai
pengusung pasangan calon. KPU perlu melakukan upaya-upaya yang kreatif untuk
menarik perhatian dan antusiasme masyarakat menggunakan hak pilih. Partai
politik dituntut untuk dapat mengajukan pasangan calon yang berkualitas dan
memiliki akar kuat di dalam masyarakat.
Politik
Uang
Kekhawatiran terbesar dari pilkada
adalah maraknya politik uang karena dampaknya yang sangat besar terhadap
kualitas demokrasi dan keterpilihan pasangan calon. Kita bersyukur bahwa isu
politik uang tidak mendominasi pilkada serentak yang lalu walaupun masih
ditengarai politik uang dalam skala kecil.
Sekecil apa pun politik uang tetap
harus diwaspadai karena tidak saja mencederai demokrasi lokal, tetapi juga
dapat menyandera penyelenggaraan pemerintahan daerah pascapilkada. Pengaturan
dan penegakan hukum untuk meminimalisasi politik uang harus ditingkatkan pada
pilkada mendatang.
Pengaturan yang lebih detail dan
tegas diperlukan, terutama untuk pembatasan dan pelaporan dana kampanye
pasangan calon. Hal itu tentu harus diikuti dengan upaya pengawasan dan
penegakan hukum, baik oleh penyelenggara maupun aparat penegak hukum. Dengan
melihat pada pelaksanaan pilkada yang telah berjalan lancar, potensi jumlah
perkara perselisihan hasil pilkada kemungkinan tidak sebesar pelaksanaan
pilkada sebelumnya.
Apalagi telah ada ketentuan UU
yang membatasi selisih suara yang memenuhi syarat untuk dapat diajukan ke MK.
Jika melihat pada hasil pilkada sementara, daerah yang selisih hasil
pilkadanya memenuhi syarat diajukan ke MK sesungguhnya tidaklah banyak. Meski
demikian, tentu kembali kepada pasangan calon kepala daerah. Hal itu akan
membuktikan tingkat kematangan kita dalam berdemokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar