Rabu, 16 Desember 2015

Pekerja Seks atau Budak Seks?

Pekerja Seks atau Budak Seks?

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
                                                KORAN SINDO, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Publik terperangah ketika pihak kepolisian menyatakan bahwa artis yang ditangkap dan diduga menjadi pelacur online adalah korban, bukan tersangka.
Polisi mendasarkan penetapan itu pada Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Masyarakat membatin, bagaimana mungkin selebritas yang selama ini dinilai tidak bertabiat baik dan bekerja sebagai manusia tunasusila justru seakan dibela di hadapan hukum. Di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UU TPPO, pelacuran dianggap sebagai bentuk perdagangan orang.

Posisi UU tersebut kentara dijiwai oleh Konvensi PBB Tahun 1949 untuk Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi. Benang merahnya adalah eksploitasi; perdagangan orang merupakan bentuk eksploitasi, prostitusi pun diyakini mengandung praktik serupa. Dengan asumsi bahwa keduanya sama, secara logis berlakulah dekriminalisasi prostitusi. Indonesia termasuk negara yang memberlakukan pendekatan dekriminalisasi parsial (sebagian) terhadap praktik prostitusi.

Wujudnya, mirip dengan Swedish Model, muncikari dan konsumen si pelacur menjadi sasaran sanksi hukum, sementara si pelacur sendiri dilindungi dan diberikan bantuan agar dapat keluar dari kondisi tereksploitasi. Penerapan dekriminalisasi pula yang, berdasarkan kajian, melatarbelakangi tidak terprioritaskannya prostitusi sebagai kerja penegakan hukum.

Boleh jadi, itulah jawaban atas kerisauan khalayak luas saban kali melihat tidak tuntasnya pengungkapan kasus-kasus pelacuran—termasuk prostitusi online —pada waktu-waktu terdahulu. Kerja hukum seolah berhenti hanya pada persidangan muncikari. Ringkasnya, Indonesia memberlakukan dekriminalisasi pelacur, namun tetap tidak melegalisasi prostitusi.

Hampir sembilan tahun sejak disahkan pada 2007, UU TPPO kini sudah terengahengah mengejar perkembangan dunia pelacuran yang kian kompleks. Penyamarataan antara pelacuran dan perdagangan orang abai terhadap realita ada orang-orang yang memang memilih bekerja sebagai pelacur seperti mengemuka pada kasus prostitusi online yang melibatkan artis sebagai pelacurnya.

Orang-orang tersebut bertolak belakang dengan pandangan konvensional, masuk ke dunia pelacuran bukan karena ada paksaan dari situasi maupun pihak lain. Ada dua tipe pelacur sedemikian rupa, bukan pengklasifikasian yang mengada-ada. Sebutan forced (involuntary) prostitution sebagai pembeda dengan voluntary prostitution untuk pertama kalinya diangkat dalam The 1995 Platform of Action from the Beijing World Conference on Women.

Pembedaan tersebut semestinya berimplikasi pada didesainnya formula penanganan yang berbeda satu sama lain, bergantung pada jenis pelacuran yang tengah dipersoalkan. Pelacur yang menggeluti bidang tersebut berdasarkan keinginannya sendiri dapat disetarakan sebagai pekerja seks. Ini pula yang, pada gilirannya, mendasari perlunya pelurusan terhadap sebutan pekerja seks komersial (PSK). Sesungguhnya tidak semua pelacur tepat disebut sebagai PSK.

Pelacur yang bermula dari kondisi tereksploitasi seharusnya disebut sebagai budak seks, bukan pekerja seks. PSK alias pelacur yang berinisiatif dari dirinya sendiri aktif mencari konsumen, bahkan menjadikannya sebagai bisnis profesional yang melibatkan agen. Pelacur-pelacur swakehendak secara rasional melihat fleksibilitas kerja dan penghasilan yang signifikan sebagai sisi positif PSK. Ada pula pelacur tipe tersebut yang memersepsikan dunia tersebut sebagai petualangan yang memikat hati.

Pelacur yang termasuk dalam golongan PSK senyatanya mematahkan asumsi UU TPPO bahwa pelacuran adalah identik dengan perdagangan orang. Unsur eksploitasi tidak ada di dalam praktik pelacuran seperti itu. Pelacur semacam itu secara sengaja dan sukarela tidak memfungsikan keberdayaannya— baik secara fisik, psikis, ekonomi, maupun sosial—untuk keluar dari situasi prostitusi.

Karena para pelacur tersebut bukan pihak yang tereksploitasi, muncikari dan konsumen mereka pun tidak lagi bisa diposisikan sebagai pihak yang mengeksploitasi. Di situlah berlaku dekriminalisasi total: tidak ada satu pihak pun dalam situasi pelacuran yang dikenakan sanksi. Nah, bagaimana hukum Indonesia memperlakukan para PSK (pelacur swakehendak)? Sekali lagi, ada kesimpangsiuran di sini: pelacuran tidak dibenarkan, tetapi penindakan juga tidak bisa diselenggarakan secara menyeluruh akibat asumsi bahwa pelacuran adalah perdagangan orang.

Kekacauan itu, dalam kasus prostitusi online, terbukti memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Ini berimbas terhadap kepolisian. Betapa pun polisi mendasarkan sikap positivistiknya pada UU TPPO saat memberikan status korban kepada artis yang tertangkap basah sebagai pelacur online , namun sikap kepolisian tersebut terasa laksana menerabas sendi-sendi moral bahkan akal sehat.

Sinisme itu melipatgandakan keraguan publik akan tuntas sempurnanya pengungkapan kasus prostitusi online hingga ke para buaya darat yang telah memakai layanan si artispelacur. Atas dasar itu, sudah sepatutnya dirumuskan ulang rumusan pasal-pasal—khususnya— UU TPPO dan UU KUHP terkait ihwal prostitusi. Revisi terhadap dua peranti hukum itu bertitik tolak dari basis filosofis dan nalar hukum sebagai berikut.

Pertama , seksualitas harus kembali diletakkan pada kedudukan luhurnya yakni seks bukan sematamata sebagai hak, pilihan, apalagi kesenangan, melainkan sebagai dimensi sakral yang melekat padanya unsur tanggung jawab berupa kewajiban, larangan, dan jaminan perlindungan. Kedua, pelacur tidak bisa dipaksa harus berstatus korban. Dengan kata lain, prostitusi tidak bisa serta-merta disejajarkan dengan perdagangan orang.

Status tunggal bahwa pelacur pasti merupakan korban eksploitasi sama artinya dengan menginfantilkan atau menihilkan kapasitas para pelacur selaku individu dewasa. Ke depan penindakan terhadap masing-masing pelacur patut menelisik kemampuan yang bersangkutan dalam membuat keputusan atas pilihan hidupnya serta relasi sosialnya dengan lingkungan.

Dari situlah akan dapat ditentukan tipe si pelacur: pekerja seks ataukah budak seks. Ketiga, seiring dengan penentuan klasifikasi pelacur, diberlakukan pula kriminalisasi terhadap prostitusi. Pelacur yang bertipe pekerja seks juga harus dikenai hukuman pidana, sebagaimana muncikari dan pihak pengguna jasa pelacuran. Keempat, kriminalisasi terhadap pekerja seks ditegakkan sebagai cara untuk menyumbat peluang dijadikannya pelacuran sebagai bidang profesi.

Tanpa kriminalisasi, orangorang yang secara sukarela menjadi pelacur akan terus memanfaatkan celah dalam UU TPPO yang berlaku saat ini sebagai tameng sembari terus mengembangkan bisnis mesum mereka. Kelima, penetapan sembarang pelacur sebagai korban niscaya berdampak lebih lanjut pada rusaknya tatanan keadilan bagi korban yang sesungguhnya.

Ini tidak terlepas dari UU TPPO yang memberikan hak kepada korban perdagangan orang untuk memperoleh restitusi. Perlu dibangun demarkasi tegas bahwa korban sejati dalam fenomena pelacuran adalah pelacur yang tereksploitasi serta anak dan suami maupun istri dari konsumen yang telah menggunakan jasa pelacur.

Para korban tersebut berhak atas restitusi sebagai bentuk pemulihan kemanusiaan mereka. Sedangkan orang-orang, termasuk artis, yang memilih dengan sadar untuk melacurkan diri mereka sendiri tidak pantas sama sekali mendapat hak restitusi. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar