Pekerja Seks atau Budak Seks?
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik, The University
of Melbourne
|
KORAN
SINDO, 15 Desember 2015
Publik terperangah
ketika pihak kepolisian menyatakan bahwa artis yang ditangkap dan diduga
menjadi pelacur online adalah korban, bukan tersangka.
Polisi mendasarkan penetapan itu
pada Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Masyarakat
membatin, bagaimana mungkin selebritas yang selama ini dinilai tidak
bertabiat baik dan bekerja sebagai manusia tunasusila justru seakan dibela di
hadapan hukum. Di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UU TPPO, pelacuran
dianggap sebagai bentuk perdagangan orang.
Posisi UU tersebut kentara dijiwai
oleh Konvensi PBB Tahun 1949 untuk Pemberantasan Perdagangan Orang dan
Eksploitasi Prostitusi. Benang merahnya adalah eksploitasi; perdagangan orang
merupakan bentuk eksploitasi, prostitusi pun diyakini mengandung praktik
serupa. Dengan asumsi bahwa keduanya sama, secara logis berlakulah
dekriminalisasi prostitusi. Indonesia termasuk negara yang memberlakukan
pendekatan dekriminalisasi parsial (sebagian) terhadap praktik prostitusi.
Wujudnya, mirip dengan Swedish
Model, muncikari dan konsumen si pelacur menjadi sasaran sanksi hukum,
sementara si pelacur sendiri dilindungi dan diberikan bantuan agar dapat keluar
dari kondisi tereksploitasi. Penerapan dekriminalisasi pula yang, berdasarkan
kajian, melatarbelakangi tidak terprioritaskannya prostitusi sebagai kerja
penegakan hukum.
Boleh jadi, itulah jawaban atas
kerisauan khalayak luas saban kali melihat tidak tuntasnya pengungkapan
kasus-kasus pelacuran—termasuk prostitusi online —pada waktu-waktu terdahulu.
Kerja hukum seolah berhenti hanya pada persidangan muncikari. Ringkasnya,
Indonesia memberlakukan dekriminalisasi pelacur, namun tetap tidak melegalisasi
prostitusi.
Hampir sembilan tahun sejak
disahkan pada 2007, UU TPPO kini sudah terengahengah mengejar perkembangan
dunia pelacuran yang kian kompleks. Penyamarataan antara pelacuran dan
perdagangan orang abai terhadap realita ada orang-orang yang memang memilih
bekerja sebagai pelacur seperti mengemuka pada kasus prostitusi online yang
melibatkan artis sebagai pelacurnya.
Orang-orang tersebut bertolak
belakang dengan pandangan konvensional, masuk ke dunia pelacuran bukan karena
ada paksaan dari situasi maupun pihak lain. Ada dua tipe pelacur sedemikian
rupa, bukan pengklasifikasian yang mengada-ada. Sebutan forced (involuntary) prostitution sebagai pembeda dengan voluntary prostitution untuk pertama
kalinya diangkat dalam The 1995
Platform of Action from the Beijing World Conference on Women.
Pembedaan tersebut semestinya
berimplikasi pada didesainnya formula penanganan yang berbeda satu sama lain,
bergantung pada jenis pelacuran yang tengah dipersoalkan. Pelacur yang
menggeluti bidang tersebut berdasarkan keinginannya sendiri dapat disetarakan
sebagai pekerja seks. Ini pula yang, pada gilirannya, mendasari perlunya
pelurusan terhadap sebutan pekerja seks komersial (PSK). Sesungguhnya tidak
semua pelacur tepat disebut sebagai PSK.
Pelacur yang bermula dari kondisi
tereksploitasi seharusnya disebut sebagai budak seks, bukan pekerja seks. PSK
alias pelacur yang berinisiatif dari dirinya sendiri aktif mencari konsumen,
bahkan menjadikannya sebagai bisnis profesional yang melibatkan agen.
Pelacur-pelacur swakehendak secara rasional melihat fleksibilitas kerja dan
penghasilan yang signifikan sebagai sisi positif PSK. Ada pula pelacur tipe
tersebut yang memersepsikan dunia tersebut sebagai petualangan yang memikat
hati.
Pelacur yang termasuk dalam
golongan PSK senyatanya mematahkan asumsi UU TPPO bahwa pelacuran adalah
identik dengan perdagangan orang. Unsur eksploitasi tidak ada di dalam
praktik pelacuran seperti itu. Pelacur semacam itu secara sengaja dan
sukarela tidak memfungsikan keberdayaannya— baik secara fisik, psikis,
ekonomi, maupun sosial—untuk keluar dari situasi prostitusi.
Karena para pelacur tersebut bukan
pihak yang tereksploitasi, muncikari dan konsumen mereka pun tidak lagi bisa
diposisikan sebagai pihak yang mengeksploitasi. Di situlah berlaku
dekriminalisasi total: tidak ada satu pihak pun dalam situasi pelacuran yang
dikenakan sanksi. Nah, bagaimana hukum Indonesia memperlakukan para PSK
(pelacur swakehendak)? Sekali lagi, ada kesimpangsiuran di sini: pelacuran
tidak dibenarkan, tetapi penindakan juga tidak bisa diselenggarakan secara
menyeluruh akibat asumsi bahwa pelacuran adalah perdagangan orang.
Kekacauan itu, dalam kasus
prostitusi online, terbukti memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Ini
berimbas terhadap kepolisian. Betapa pun polisi mendasarkan sikap
positivistiknya pada UU TPPO saat memberikan status korban kepada artis yang
tertangkap basah sebagai pelacur online , namun sikap kepolisian tersebut terasa
laksana menerabas sendi-sendi moral bahkan akal sehat.
Sinisme itu melipatgandakan
keraguan publik akan tuntas sempurnanya pengungkapan kasus prostitusi online
hingga ke para buaya darat yang telah memakai layanan si artispelacur. Atas
dasar itu, sudah sepatutnya dirumuskan ulang rumusan pasal-pasal—khususnya—
UU TPPO dan UU KUHP terkait ihwal prostitusi. Revisi terhadap dua peranti
hukum itu bertitik tolak dari basis filosofis dan nalar hukum sebagai
berikut.
Pertama , seksualitas harus
kembali diletakkan pada kedudukan luhurnya yakni seks bukan sematamata
sebagai hak, pilihan, apalagi kesenangan, melainkan sebagai dimensi sakral
yang melekat padanya unsur tanggung jawab berupa kewajiban, larangan, dan
jaminan perlindungan. Kedua, pelacur tidak bisa dipaksa harus berstatus
korban. Dengan kata lain, prostitusi tidak bisa serta-merta disejajarkan
dengan perdagangan orang.
Status tunggal bahwa pelacur pasti
merupakan korban eksploitasi sama artinya dengan menginfantilkan atau
menihilkan kapasitas para pelacur selaku individu dewasa. Ke depan penindakan
terhadap masing-masing pelacur patut menelisik kemampuan yang bersangkutan
dalam membuat keputusan atas pilihan hidupnya serta relasi sosialnya dengan
lingkungan.
Dari situlah akan dapat ditentukan
tipe si pelacur: pekerja seks ataukah budak seks. Ketiga, seiring dengan
penentuan klasifikasi pelacur, diberlakukan pula kriminalisasi terhadap
prostitusi. Pelacur yang bertipe pekerja seks juga harus dikenai hukuman pidana,
sebagaimana muncikari dan pihak pengguna jasa pelacuran. Keempat,
kriminalisasi terhadap pekerja seks ditegakkan sebagai cara untuk menyumbat
peluang dijadikannya pelacuran sebagai bidang profesi.
Tanpa kriminalisasi, orangorang
yang secara sukarela menjadi pelacur akan terus memanfaatkan celah dalam UU
TPPO yang berlaku saat ini sebagai tameng sembari terus mengembangkan bisnis
mesum mereka. Kelima, penetapan sembarang pelacur sebagai korban niscaya
berdampak lebih lanjut pada rusaknya tatanan keadilan bagi korban yang
sesungguhnya.
Ini tidak terlepas dari UU TPPO
yang memberikan hak kepada korban perdagangan orang untuk memperoleh
restitusi. Perlu dibangun demarkasi tegas bahwa korban sejati dalam fenomena
pelacuran adalah pelacur yang tereksploitasi serta anak dan suami maupun
istri dari konsumen yang telah menggunakan jasa pelacur.
Para korban tersebut berhak atas
restitusi sebagai bentuk pemulihan kemanusiaan mereka. Sedangkan orang-orang,
termasuk artis, yang memilih dengan sadar untuk melacurkan diri mereka
sendiri tidak pantas sama sekali mendapat hak restitusi. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar