Stop Perdagangkan Manusia ke Mesir!
Dody Harendro ; Staf KBRI di Kairo, Mesir
|
KORAN
SINDO, 15 Desember 2015
Maryani, TKI Indonesia di Mesir
asal NTB, jatuh dari lantai lima dalam upayanya melarikan diri dari rumah
majikan hanya setelah dua hari bekerja. Lengan kiri patah, pinggul retak, dan
kondisi mental tidak stabil. Ngadiyem, asal Bantul, meninggal pada usia 57
tahun setelah selalu berpindah majikan hingga stroke dan lumpuh sebagian.
Wahyuni dan Rita bekerja selama tiga bulan dengan beban terlalu berat, waktu
istirahat minim, dan hanya diberikan makanan sisa.
Melarikan diri ke KBRI Kairo,
namun kemudian diketahui bahwa telah terdapat laporan kepolisian atas kasus
pencurian dan telah divonis pengadilan dengan hukuman tiga tahun penjara.
Sarah Mariam, TKI di Kuwait yang kemudian menikah dengan WN Mesir, menjadi
korban KDRT dengan tiga anaknya. Proses cerai dan perebutan hak asuh serta
sekolah anak telah dibantu Perwakilan RI.
Namun, suami melakukan teror, baik
kepada yang bersangkutan juga kepada para pegawai KBRI. Iis Sophia Junaedi
ditelantarkan di depan Kantor Konsuler dalam kondisi sekarat. Sebelum dilarikan
ke Unit Gawat Darurat, dia terlebih dahulu meninggal di klinik. Almarhumah
ternyata baru menginjak Mesir selama dua minggu, bagaimana seseorang dalam
keadaan sakit keras bisa berangkat dari Indonesia dan diterima di Mesir
dengan hanya visa wisata?
Serial kemalangan demikian
tampaknya tidak terlalu seksi untuk dibahas atau mungkin tidak sebanding
dengan keberuntungan para TKI ilegal lainnya maupun besarnya jumlah remitansi
para pahlawan devisa. Persis seperti yang dijelaskan oleh Menaker Hanif
Dhakiri bahwa kawasan Timur Tengah sangat berisiko terhadap para TKI
informal, baik dari sisi struktur hukum, kultur, maupun adat istiadat serta
kondisi masyarakatnya secara umum saat ini.
Dalam hal ini, Mesir tak jauh
berbeda dengan negara Timur Tengah lainnya. Dari sisi aturan, Mesir memiliki
sejumlah aturan yang tidak menguntungkan bagi penata laksana rumah tangga
(PLRT) dari Indonesia, apalagi yang datang secara ilegal. Kondisi Mesir saat
ini pun tidak kondusif dari sisi keamanan, terutama terhadap pekerja informal
pada sektor domestik. Terkait kultur, sejumlah nilai yang perlu dipahami
terkait relasi antara pekerja dan majikan adalah bangsa Mesir memiliki
karakter asertif dan sangat bangga terhadap peradabannya.
Mesir sangat ekspresif dan mudah
memperlihatkan emosinya, baik dalam hal positif maupun sebaliknya.
Solidaritas nasionalisme jika berhadapan dengan bangsa asing pun tinggi.
Logis kiranya bahwa selain tercipta kasta dalam hubungan majikan dan pekerja,
tidak jarang juga para PLRT yang berhasil melarikan diri dianggap telah
mencuri dan diperlakukan sebagai satu-satunya pihak yang salah karena bekerja
dan tinggal di Mesir secara ilegal.
Dari sisi adat istiadat, terdapat
sistem kafalah atau sponsor, di mana employer berkuasa penuh atas pergerakan
dan aktivitas pekerjanya, termasuk menahan paspor (identitas) sebagai jaminan
atas sejumlah uang yang telah dibayar kepada penyalur (sponsor)-nya. Pekerja
tidak akan dapat berpindahpindah majikan untuk mencari kondisi kerja maupun
gaji yang lebih baik karena tersandera oleh sponsor.
Faktor lain adalah keberpihakan
sejumlah LSM Mesir bidang perlindungan buruh migran dan kelompok rentan
ternyata terdistorsi oleh nasionalisme sebagai bangsa Mesir. Dalam sejumlah
kasus, beberapa LSM belum akan menanggapi serius kasus yang dialami warga
asing jika tidak terdapat penganiayaan atau bukti fisik lainnya yang
dilakukan oleh WN Mesir. Terjemahan eksploitasi menjadi kabur dan para PLRT
hanya dianggap sebagai economic migrants yang menyalahi aturan imigrasi dan
memanfaatkan celah izin bekerja di Mesir.
Selain itu, menumpuknya beban
finansial penanganan kasus ini, baik kebutuhan keseharian maupun layanan
advokasi pengacara, juga membuat sejumlah LSM menutup shelter penampungannya.
Persaingan dalam kompetisi pasar
PLRT di Mesir juga tidak sederhana. Pertama, rakyat Mesir sendiri. Dengan
populasi terbesar di Timur Tengah (90 juta jiwa), secara tradisional WN Mesir
mencari lapangan kerja di berbagai negara di kawasan karena tingkat
pengangguran yang tinggi di dalam negeri yaitu 12,8% (Juni 2015). Sebesar 26%
rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan dan persentase yang sama juga
ditunjukkan pada tingkat buta huruf.
Walaupun pendapatan per kapita
tidak jauh dengan Indonesia (USD3400/tahun), angka ini semakin menunjukkan
disparitas kemakmuran yang tinggi antara golongan kaya dan miskin. Kedua,
para pengungsi (refugee ) dari wilayah konflik baik dari Arab maupun Afrika
Utara. Sejumlah 70.000 pengungsi Palestina, 12.600 asal Somalia, 30.000
Sudan, dan 5.000 dari Ethiopia (UNHCR 2015) adalah komposisi terbesar
pengungsi di Mesir.
Dalam praktiknya, walaupun
terdapat program dan tunjangan, baik dari Komisaris Tinggi Urusan Pengungsi
PBB maupun IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi) dan LSM internasional
lainnya, para pengungsi tidak jarang juga bekerja pada sektor-sektor
domestik. Ketiga , mahasiswa asing. Mesir merupakan salah satu negara tujuan
mahasiswa, khususnya pendalaman Islam pada Universitas Al-Azhar.
Proses masuk secara prosedural
tidak sulit bagi yang memiliki latar belakang pendidikan agama sebelumnya dan
dari sisi finansial, Al-Azhar juga sangat “bersahabat”. Pemerintah Mesir pun
memberikan kemudahan (dan pengertian), baik dalam hal izin tinggal maupun
kesempatan bekerja maupun berbisnis. Dari sekitar 50.000 mahasiswa tersebut,
sebagiannya berasal dari keluarga dengan ekonomi sederhana yang kemudian
mencari pengalaman hidup di samping aktivitas akademisnya.
Tidak jarang juga di antara mereka
menjadi domestic worker pada rumah WN Mesir sehingga menjadi kompetitor
tambahan bagi TKI PLRT. Grand Syeikh Al- Azhar sangat tidak menganjurkan para
mahasiswa untuk bekerja, bahkan dalam beberapa kesempatan telah memanggil dan
memperingati keras untuk mengeluarkan dan mendeportasi mahasiswa yang
kedapatan bekerja pada WN Mesir.
Dengan komposisi sedemikian, para
penyalur berada pada posisi di mana demand yang jauh lebih besar daripada
supply . Namun, tingginya permintaan ini berbanding terbalik dengan daya tawar
PLRT yang justru semakin rendah mengingat berbagai segi di atas dimulai dari
sisi hukum, kultur, dan adat-istiadat yang memang tidak pernah kondusif
sedari awal.
Fakta bahwa masih saja terdapat
pihak yang mengambil keuntungan dari kemalangan bangsa sendiri dan bahkan
bersembunyi di balik alibi berbuat kebaikan mencerminkan kualitas bangsa yang
rendah. Ketika pemerintah tengah berusaha mengubah image sebagai bangsa
pengirim PLRT, namun tetap bergelut dengan dilema kurangnya lapangan kerja
dan berharganya devisa dari TKI, para pihak yang telanjur mencari keuntungan
dari bisnis ini seharusnya dapat berhenti berpurapura bahwa yang mereka
dapatkan selama ini berasal dari sumber yang halal.
Program pembukaan shelter pada
perwakilan juga kebijakan pemulangan pun menjadi siasia. Shelter hanya
dijadikan safe haven bagi PLRT yang telah bosan bekerja dan ingin pulang ke
Tanah Air secara gratis, namun beberapa waktu kemudian kembali untuk
pekerjaan yang sama. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus mengoptimalkan upaya
penyadaran. Program pemberdayaan dan peningkatan ekonomi telah berjalan,
namun kesadaran untuk lebih peduli terhadap diri sendiri menjadi tertutupi
dengan iming-iming “bekerja di luar negeri”.
Kemudian para TKI juga harus
diberi pemahaman bahwa dengan mengedepankan logika sendiri secara tidak
langsung mereka juga menjadi bagian dari para pembujuk dan perayu dan secara
tidak langsung ikut berperan dalam penganiayaan, penelantaran, pemerkosaan,
bahkan meninggalnya rekan-rekan mereka lainnya.
Motor utama permasalahan TKI PLRT
adalah para penyalur dan sebelum melebar pada tuntutan untuk menghentikan
“penyalur internasional”, para penyalur dari bangsa sendiri yang sampai hati
untuk menjadikan saudaranya sebagai “budak” di negeri orang harus dihentikan.
Tidak ada kebaikan dalam mengirim
saudara sendiri dalam keadaan sehat ke luar negeri dan kembali dengan “tidak
utuh”, baik gangguan psikologis, kerusakan fisik, atau bahkan hilangnya
nyawa. Stop perdagangkan bangsa sendiri ke Mesir! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar