Minggu, 06 Desember 2015

Agama dan Kekerasan : Mengurai Fikih Toleransi

Agama dan Kekerasan : Mengurai Fikih Toleransi

A Helmy Faishal Zaini  ;  Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
                                                      KOMPAS, 04 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Maraknya radikalisme dan juga terorisme akhir-akhir ini, termasuk tragedi Paris beberapa waktu lampau, membuat kita semakin waswas. Meminjam istilah jurnalis senior Bre Redana (2015), ”kiamat” bisa terjadi kapan saja sebab rasa waswas masyarakat hari ini sudah sedemikian akut. Bom bisa meledak kapan pun dan diledakkan oleh siapa pun.

Sesungguhnya sejarah radikalisme sudah sangat mengakar jauh pada masa sahabat-sahabat Nabi masih hidup. Kita mengenalnya dengan sebutan kaum Khawarij. Istilah Khawarij muncul dan berkembang pertama kali dalam sejarah Islam tepatnya pada abad pertama Hijriah (sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi), yang sejatinya dilatarbelakangi konflik politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Ihwal keberadaan kaum Khawarij ini, Ikhwanul Kiram Masyhuri (2014) memberikan beberapa ciri utama. Pertama, selalu berpegang teguh pada hukum Allah serta tidak mengakui adanya pemerintah. Kedua, selalu memosisikan pihak yang berbeda dan berseberangan dengannya sebagai kelompok liyan ataupun the others. Dua ciri ini jika kita tarik dalam konteks kekinian memang masih sangat kental menyelimuti pola beragama kaum ekstremis.

Keadaan yang demikian itu, menurut saya, sungguh merupakan keadaan yang sangat mengerikan. Pertanyaan otentiknya kemudian, sikap apa yang harus kita ambil dalam menghadapi situasi yang demikian? Jawabannya, menurut hemat saya, terletak pada pendidikan.

Urgensi fikih toleransi

Saya sepakat dengan Malala Yosafzai (2015). Perempuan peraih Nobel Perdamaian 2014 itu dengan sangat jernih pernah berujar, ”With guns you can kill terrorist, with education you can kill terrorism.” Melawan terorisme dengan cara mengangkat senjata bukanlah jalan terbaik. Sebab, terorisme hanya bisa diatasi dengan pendidikan. Dengan pendidikan kita bisa memerangi atau bahkan memberangus terorisme.

Lalu, pendidikan yang bagaimana yang harus kita laksanakan? Tentu saja pendidikan yang mengajarkan pentingnya semangat menghargai perbedaan serta menjunjung tinggi toleransi atas nama penghargaan pada kebinekaan. Toleransi adalah kata kunci dalam memerangi terorisme saat ini. Toleransi berarti bukan sekadar tersedianya ruang dialog dalam diri seseorang untuk mencoba membicarakan perbedaan-perbedaan. Lebih dari itu, toleransi adalah sikap respect terhadap hal-hal yang berseberangan dengan diri kita.

Dalam Islam, pendidikan toleransi itu sangat kental diajarkan dalam disiplin ilmu fikih. Fikih yang merupakan kerangka pijakan ”perilaku” sehari-hari sesungguhnya sangat tegas mengajarkan kepada umat Islam agar berperilaku toleran. Semangat toleransi dan menghargai bukan saja diajarkan untuk menghormati sesama manusia. Lebih dari itu, semangat toleransi juga ditempatkan sebagai framework untuk menghargai semua makhluk di dunia, mulai dari binatang, benda mati, sampai tumbuh-tumbuhan.

Dalam sebuah diktum fikih dikatakan bahwa terlarang untuk buang air kecil (kencing) di lubang-lubang tanah sebab dikhawatirkan di sana, di lubang-lubang kecil di tanah itu, sedang bersemayam binatang-binatang yang kita tidak bisa melihatnya dengan kasatmata karena terlampau kecil. Hal ini adalah contoh kecil sekaligus bukti sahih fikih selalu berusaha mengusung dimensi toleransi dan penghargaan kepada siapa pun.

Ajaran fikih yang toleran dan inklusif ini juga tecermin dari sikap Nabi Muhammad SAW pasca peristiwa penaklukan kota Mekkah. Kala itu, Nabi tidak memperlakukan orang-orang kafir Quraisy yang sudah berhasil ditaklukkan sebagai tawanan perang. Justru sebaliknya, Nabi Muhammad berpidato, ”Hadza laisa yaumul malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah (Hari ini bukanlah hari pembantaian dan pembalasan, tetapi hari ini adalah hari kasih sayang).”

Membayangkan adegan itu, kita bisa menyaksikan betapa lapang dan matang mental dan psikologi Nabi Muhammad SAW. Terhadap orang-orang yang selama ini memperlakukannya semena-mena dan selalu memusuhinya, tatkala mereka berhasil ditaklukkan, Nabi tak membalas dendam. Justru sebaliknya, ia mendeklarasikan yaumul marhamah (hari kasih sayang) yang artinya kaum kafir Quraisy bisa bebas dan hidup damai berdampingan dengan orang Islam.

Dalam konteks keindonesiaan, sesungguhnya kita memiliki modal yang sangat berharga untuk mencapai tatanan masyarakat yang maju. Meminjam analisis Mohammed Arkoun (1990), masyarakat Indonesia memiliki peluang yang sangat besar. Sebab, masyarakat Indonesia memiliki watak yang toleran dan terbuka. Dalam bahasa Arkoun, pemeluk-pemeluk agama di Indonesia sangat menghargai dan menghormati pemeluk agama lain.

Modal sosial masyarakat Indonesia yang dalam pandangan Arkoun sangat toleran tersebut harus benar-benar bisa kita manfaatkan demi membangun tatanan sosial yang lebih berbudaya dan bermartabat. Pada konteks inilah peran ormas-ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sangat dibutuhkan. Hal itu setidaknya dibuktikan dengan rilis Kompas beberapa waktu lampau yang menyatakan bahwa 41 persen NU berperan mewujudkan iklim toleransi beragama di Indonesia.

Islam Nusantara sebagai solusi

Narasi Islam Nusantara yang dibangun NU sesungguhnya tak lain adalah upaya konkret dalam rangka membangun, salah satunya, fikih yang toleran, terbuka, dan inklusif. Islam Nusantara hadir sebagai bagian untuk mengompromikan ajaran agama dengan kearifan lokal-kearifan lokal yang sudah mengakar jauh sebelum Islam datang dan masuk ke Nusantara itu sendiri.

Corak berfikih ala Islam Nusantara adalah corak berfikih yang tidak monolitik. Ia berwatak pluralistik dan selalu membuka ruang dialog serta menghargai perbedaan. Itu sebabnya, dalam memaknai jihad, misalnya, NU lebih berpedoman bahwa terma jihad harus direlevansikan sekaligus dikontekstualisasikan dengan latar sosial kemasyarakatan. Bagi NU, jihad bukanlah berperang mengangkat senjata semata. Jihad kekinian adalah berperang melawan kebodohan dan kemiskinan.

Peran negara, dalam hal ini pemerintah, dengan mengajak semua elemen masyarakat untuk melakukan upaya-upaya deradikalisasi, baik melalui sarana pendidikan maupun pelbagai kebijakan lain, juga penerapan penegakan hukum (law enforcement) terhadap gerakan-gerakan teroris, radikal, dan separatis, adalah keniscayaan. Ala kulli hal, yang kita butuhkan hari ini adalah edukasi soal bagaimana berfikih yang inklusif dan toleran sebagai kerangka dan acuan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang kian kemari kian kompleks dan pluralistik. Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar