Minggu, 06 Desember 2015

Agama dan Aktivitas Ekonomi

Agama dan Aktivitas Ekonomi

Ali Rama  ;  Dosen Fakultas Ekonomidan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah;
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
                                                      KOMPAS, 05 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Studi tentang agama dan aktivitas ekonomi, menurut Iannaccone (1998), setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, studi yang menafsirkan perilaku keberagamaan berdasarkan perspektif ekonomi; menggunakan teori dan teknik ekonomi untuk menjelaskan pola perilaku keberagamaan di antara individu, kelompok, dan budaya. Kedua, studi dampak agama terhadap ekonomi. Ketiga, penggunaan perspektif teologi untuk mendorong atau mengkritisi kebijakan ekonomi.

Di dunia Barat, kajian hubungan antara agama dengan ekonomi dikaji dalam ”economic of religion”. Kajian ini memandang agama sebagai sebuah ”variabel” yang memiliki hubungan kausalitas dengan berbagai variabel, di antaranya variabel ekonomi. Agama dapat diteliti dan diukur melalui ”perilaku keberagamaan”. Pola penelitian pun, menurut Rehman dan Askari (2010), memiliki dua pola, yaitu agama ditempatkan sebagai variabel dependen (yang dipengaruhi) dan sebagai variabel independen (yang memengaruhi).

Indeks keislaman ekonomi

Sebagai sebuah faktor yang memengaruhi dalam konteks ekonomi syariah, misalnya, Beik (2009) menemukan bahwa zakat secara empiris dapat mengurangi kemiskinan. Begitu pula dengan Rama (2013), yang menemukan bahwa institusi ekonomi Islam, seperti perbankan syariah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks paradigma ini, Rehman dan Askari (2010) mengembangkan sebuah model economic Islamic index yang berusaha mengukur bagaimana pencapaian tujuan-tujuan Islam dalam bidang ekonomi pada negara-negara Muslim dan non-Muslim di dunia. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian sebelumnya dengan judul ”How Islamic are Islamic Countries”?

Hasil penelitian tersebut yang dianggap kontroversi adalah ditemukan bahwa negara Selandia Baru menempati peringkat pertama sebagai negara yang paling ”Islami”. Sementara pada bidang ekonomi, Irlandia memiliki peringkat indeks tertinggi dalam pencapaian tujuan dari sistem ekonomi Islam. Hanya Malaysia sebagai negara penduduk Muslim mayoritas yang berada pada posisi ke-33, sementara lainnya lebih rendah lagi. Indonesia berada pada urutan ke-104 dari 208 negara di dunia yang diteliti.

Model indeks keislaman ekonomi sebenarnya merupakan model indeks yang diturunkan dari tiga tujuan utama yang ingin dicapai oleh sistem ekonomi Islam. Pertama, tercapainya keadilan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Kedua, kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja. Ketiga, implementasi sistem keuangan syariah. Ketiga tujuan utama ini selanjutnya diturunkan menjadi beberapa prinsip ekonomi Islam. Beberapa indikator ekonomi yang terukur dan relevan selanjutnya dijadikan representasi dari prinisip-prinsip tersebut.

Dengan mengadaptasi model indeks tersebut, penulis melakukan pengukuran kinerja indeks keislaman provinsi-provinsi di Indonesia dengan menggunakan basis data tahun 2014 untuk semua indikator-indikator ekonomi yang digunakan sebagai proksi dari prinsip-prinsip ekonomi Islam. Penelitian menemukan bahwa Provinsi Kalimantan Selatan (58 poin) menempati posisi teratas pada indeks keislaman ekonomi. Urutan selanjutnya Kalimantan Tengah (54 poin), Kalimantan Timur (53 poin), dan Jambi (53 poin). Sebaliknya, Provinsi Papua (32 poin) dan Maluku (35 poin) memiliki kinerja indeks yang paling rendah. DKI Jakarta sendiri sebagai ibu kota negara dan pusat perekonomian Indonesia hanya memiliki skor indeks 51 poin.

Kalimantan Selatan memiliki kinerja yang baik pada aspek stabilitas ekonomi (inflasi, pengangguran, dan tingkat kriminalitas) serta distribusi pendapatan dan kekayaan (rasio gini). Kinerja yang baik juga terlihat pada aspek pengembangan pendidikan dan pengurangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Rasio aset bank syariah juga relatif tinggi di provinsi ini. Namun, sebaliknya, kinerja indeks yang rendah terlihat pada aspek tabungan dan investasi, serta infrastruktur dan layanan sosial.

Provinsi Papua yang menempati peringkat terendah memiliki kinerja ekonomi yang buruk pada aspek pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan sosial, serta kesejahteraan ekonomi. Persoalan serius yang juga dihadapi oleh Papua adalah pada dimensi keadilan ekonomi dan distribusi pendapatan, terutama pada aspek distribusi kekayaan dan pendapatan yang ditunjukkan dengan nilai gini rasio yang sangat tinggi. Sementara Maluku memiliki persoalan pada tingkat tabungan dan investasi dan tingkat perdagangan. Namun, bedanya, Maluku relatif lebih baik pada aspek pendidikan, kemiskinan, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi dibandingkan Papua.

Berkinerja rendah

Secara umum penelitian ini menemukan bahwa dari 33 provinsi yang diteliti dalam penelitian ini hanya terdapat 11 provinsi yang memiliki kinerja indeks di atas 50 poin. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata wilayah/provinsi di Indonesia memiliki kinerja indeks pada pencapaian tujuan sistem ekonomi Islam yang relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa faktor jumlah mayoritas populasi Muslim di hampir seluruh provinsi di Indonesia tidak menjadi faktor penting dalam mendorong pencapaian tujuan ekonomi.

Kinerja berdasarkan wilayah, Kepulauan Sumatera dan Kalimantan secara rata-rata memiliki kinerja indeks keislaman ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal tersebut berbeda dengan wilayah Jawa, Sulawesi serta Maluku, dan Papua yang justru indeks kinerja ekonominya (indeks keislaman ekonomi) relatif rendah, yaitu rata-rata nilai komposit indeksnya di bawah 50 poin. Wilayah Papua dan Maluku, misalnya, memiliki kinerja ekonomi yang buruk hampir di semua aspek (elemen) indeks, yang selanjutnya menjadi faktor penyebab rendahnya komposit indeks.

Selanjutnya, dari tiga dimensi yang dikembangkan, rata-rata wilayah di Indonesia memiliki kinerja yang rendah pada dimensi kesejahteraan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan (hanya empat provinsi yang memiliki skor indeks di atas 50 poin). Kinerja rendah lainnya terlihat pada implementasi sistem keuangan syariah yang diindikasikan oleh jumlah aset bank syariah di masing-masing provinsi yang relatif rendah. Hal ini tecermin secara nasional yang jumlah pangsa pasar bank syariah tidak lebih dari 5 persen dari total aset perbankan nasional.

Di atas dari semua temuan tersebut, penelitian ini menyadari bahwa indikator-indikator yang dijadikan proksi dalam penelitian ini belum sepenuhnya merepresentasikan dari ”keislaman” yang dimaksud, tetapi setidaknya ini langkah awal untuk mengukur kinerja ekonomi berdasarkan pendekatan keagamaan. Sebagaimana dikatakan Rehman dan Askari (2010), mengukur keislaman atau tingkat keislaman bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat tingkat keislaman tak selalu berhubungan dengan sesuatu yang tampak (tangible) dan dapat ukur (measurable). Kalaupun tampak dan terukur, belum tentu data yang tersedia dapat merepresentasikan ”keislaman” yang dimaksud, sehingga perlu membuat pengukuran dan metode tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar