Jumat, 20 Februari 2015

What’s Next Pasca Pengumuman Kapolri

What’s Next Pasca Pengumuman Kapolri

Kardono Setyorakhmadi  ;  Wartawan Jawa Pos, Alumnus Fakultas Filsafat UGM
JAWA POS, 19 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PENGUMUMAN pembatalan pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi memang patut diapresiasi. Namun, mencalonkan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri juga tak bisa disambut dengan napas lega, tetap dengan napas tertahan.

Sebab, masalah masih tetap kompleks pasca pengumuman tersebut. Yang pertama soal internal Polri sendiri. Baik mengenai latar belakang Badrodin Haiti, seberapa jauh mampu mengendalikan anak buahnya, maupun soal Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso. Dan, yang kedua adalah pertarungan lebih besar antara Jokowi (yang lemah) dengan sejumlah orang-orang di sekelilingnya. Di mana masalah KPK vs Polri menjadi medan laganya. Sebab, inilah yang menjadi titik perlawanan gerakan sipil. Yakni, melawan oligarki politik dan penguasaan hal-hal vital negara.

Internal Polri

Sejak ada wacana penggantian Sutarman dari jabatan Kapolri, muncul nama Badrodin Haiti. Adalah Surya Paloh yang mengusulkan namanya. Keduanya memang dikenal dekat. Hanya, karena sudah ’’dapat’’ jaksa agung, dan Megawati memilih Komjen Budi Gunawan, nama Badrodin Haiti terpental.

Cerita terus berlanjut. Pilihan Megawati ternyata menimbulkan resistansi yang luar biasa dan berkembang menjadi masalah nasional, merembet ke pelemahan KPK. Ujung dari goro-goro ini akhirnya membuat Badrodin Haiti ketiban pulung. Meski belum dilantik, pencalonan Badrodin Haiti sebagai Kapolri dianggap sebagai jalan tengah.

Namun, tetap saja muncul pertanyaan terkait mantan Kapolda Jatim tersebut. Selain dikenal dekat dengan Surya Paloh dan pernah punya track record rekening gendut, kompetensi Badrodin Haiti diragukan. Sebab, menjadi Wakapolri yang melaksanakan tugas sebagai Kapolri, Badrodin Haiti kerap dilangkahi anak buahnya.

Banyak contoh untuk itu. Misalnya, kasus penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Kemudian, munculnya banyak tim khusus yang bertujuan satu: mengkriminalisasi para personel KPK. Baik dari pimpinan maupun bawahannya. Masyarakat awam pun tahu bahwa motivasi Bareskrim Polri menangkap Bambang Widjojanto serta upaya kriminalisasi terhadap Novel Baswedan dan 21 penyidik KPK bukan menegakkan keadilan, melainkan balas dendam.

Belum lagi terkait upaya-upaya teror terhadap sejumlah penyidik. Termasuk di antaranya Direktur Penyidikan KPK Kombespol Endang Tarsa. Berlangsungnya aksi-aksi tak terpuji korps berbaju cokelat tersebut mengindikasikan Badrodin Haiti sulit mengontrol anak buahnya.

Selain itu, yang masih menjadi ganjalan bagi aktivis antikorupsi dan masyarakat adalah sosok Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso. Seorang jenderal polisi yang tak mau disebut namanya menyatakan bahwa Budi Waseso tak pantas berada di posisi tersebut. ’’Pertama soal background. Dia sebenarnya polisi lalu lintas dan baru berdinas di reserse kali ini,’’ katanya. Artinya, tidak berpengalaman di reserse bisa membuat blunder fatal dalam penyelidikan dan penyidikan.

Yang kedua adalah sosok Budi Waseso yang begitu politis. Persis seperti patronnya yang baru saja terpental dari pencalonan Kapolri, Komjen Pol Budi Gunawan. Artinya, dia bisa membawa-bawa institusi Polri untuk kepentingan politis. Sebuah garis yang tak boleh dilanggar. Kita semua baru saja (atau tengah) merasakannya. Bagaimana kengototan Bareskrim Mabes Polri menyelidiki 21 penyidik KPK dengan effort luar biasa justru membuat kita, masyarakat, tidak aman. Siapa pun yang punya pandangan politik berbeda bisa dikriminalisasi begitu saja. Salah satu pertanyaan paling sederhana: bagaimana bisa polisi menetapkan Abraham Samad sebagai tersangka, sementara Budi Gunawan, yang juga terindikasi memalsukan KTP, tidak ditetapkan sebagai tersangka?

Karena itu, menjadi tugas berat bagi Badrodin Haiti untuk meluruskan citra Polri yang sekarang ini dicap tak lebih dari alat politik belaka. Bukan pengayom dan pelindung masyarakat seperti semboyannya.

Jokowi

Orang nomor satu di Republik Indonesia ini sekarang bisa jadi orang yang paling tersudut sekaligus kesepian di Indonesia. Posisi Jokowi di parpol pendukungnya sendiri lemah. (Dia bukan pengurus struktural partai dan tak punya basis massa). Sementara itu, tokoh-tokoh di sekelilingnya adalah pemain lama yang sangat canggih. Sebut saja nama Hendropriyono yang disebut-sebut ’’menjebak’’ presiden di acara penandatanganan MoU Proton sebagai mobnas.

Sebenarnya, banyak harapan yang disematkan ke pria kerempeng asal Solo tersebut. Kelompok gerakan sipil menjadikannya sebagai benteng terakhir agar kekuasaan tidak jatuh lagi ke kelompok mafia itu-itu saja agar tidak ada lagi oligarki politik yang bisa mengatur dan menguasai negara ini seenaknya. Inilah yang sebenarnya menjadi pemicu gerakan #Save KPK.

Sebab, ada banyak kekhawatiran orang-orang di lingkarannya yang menggabungkan kekuatannya menjadi oligarki politik dan penguasaan sumber daya. Inilah yang harus diterangkan Jokowi. Dia harus bisa menjawab sejumlah isu yang berkembang. Misalnya, benarkah dia tidak leluasa, bahkan di Istana Negara sendiri? Benarkah isu yang menyebutkan bahwa Dan Paspampres Mayjen TNI Andika Perkasa lebih banyak meng-intel-i presiden ketimbang mengawalnya, sehingga rapat-rapat yang digelar di Istana Negara bisa langsung diketahui sang mertua Hendropriyono atau Teuku Umar?

Hal-hal seperti ini harus dijawab Jokowi dengan tindakan-tindakan yang nyata. Yakni, tegas dan cepat. Tidak ragu-ragu seperti selama ini. Sebab, inti kekuatan Jokowi ada pada dukungan rakyat sipil. Namun, dengan terlalu berkompromi dan terlihat ragu-ragu, dukungan terhadap Jokowi akan terus menurun. Banyak pendukung Jokowi yang menyatakan kekecewaannya.

Semua sudah paham bahwa posisi Jokowi memang sedang terjepit. Di dalam koalisi, dia mendapat tekanan sangat berat. Dari luar, banyak cercaan. Semua sebenarnya sudah paham. Tapi, jangan sampai masyarakat disuruh memahami terus posisinya. Sebab, yang menjadi presiden adalah Anda, Bapak Jokowi. Maka, sekali lagi, bertindaklah sebagai presiden. Jelaskan tindakan-tindakan tegas Anda segamblang-gamblangnya sehingga masyarakat sipil akan menjadi benteng Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar