WAWANCARA
Mendeteksi
Masifnya Korupsi di Indonesia
Muhammad Yusuf ; Kepala PPATK
|
KOMPAS,
20 Februari 2015
Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia
kini. Sejak didirikan pada 2003, PPATK telah berkontribusi nyata dengan
membantu penegak hukum dalam mengungkapkan banyak kasus korupsi dan pencucian
uang.
Hasil analisis dan pemeriksaan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap transaksi-transaksi mencurigakan
merupakan petunjuk dan indikasi awal praktik korupsi. Dari data dan riset
PPATK, bisa dideteksi pula seberapa masif korupsi di Indonesia, bagaimana
modus peredaran uang haram, dan siapa saja yang terindikasi melakukan
pencucian uang.
Dalam wawancara khusus di kantornya, Kamis (5/2), Kepala
PPATK Muhammad Yusuf mengungkapkan sejumlah hal yang menggambarkan betapa
dahsyatnya korupsi di Indonesia. Berikut petikannya.
Sesuai
analisis dan riset PPATK, seberapa masif korupsi di Indonesia, benarkah
mencapai ratusan triliun rupiah per tahun?
Tentu tidak bisa dipastikan karena tidak semua transaksi
mencurigakan terindikasi pidana. Namun, jika dilihat dari transaksi keuangan
tunai di atas Rp 500 juta yang dilaporkan ke PPATK selama 11 tahun ini, total
nilainya mencapai Rp 2 juta triliun oleh korporasi dan Rp 92.000 triliun oleh
perorangan. Transaksi itu dilakukan oleh 163.603 perusahaan dan 599.940
orang.
Apakah
uang senilai Rp 2 juta triliun dan Rp 92.000 triliun itu dapat dikatakan uang
haram yang terindikasi pidana?
Tidak bisa dipastikan seperti itu. Namun, tidak lazim
transaksi dalam jumlah besar, di atas Rp 500 juta, menggunakan tunai. Selain
merepotkan, itu akan rentan dirampok atau rentan uang palsu. Transaksi dalam
jumlah besar lazimnya pakai transfer.
Karena itu, transaksi tunai berjumlah besar selalu
mengindikasikan tiga hal, yakni praktik suap, gratifikasi, dan pemerasan. Tak
mungkin orang akan melakukan tiga hal itu menggunakan transfer, sebab akan
mudah terdeteksi aliran dananya.
Juga tidak lazim, perusahaan memakai transaksi tunai sebab
itu tidak sesuai tata kelola yang benar, kecuali perusahaan itu memang
sengaja dipakai untuk menyembunyikan hasil korupsi. Transaksi tunai yang
dilaporkan ke PPATK meliputi setoran tunai di atas Rp 500 juta dan penarikan
tunai Rp 500 juta lebih.
Transaksi tunai dalam jumlah besar juga mengindikasikan
tiga delik hukum yakni tindak pidana antara lain korupsi, pencucian uang, dan
penggelapan pajak.
Seberapa
banyak transaksi tunai di atas Rp 500 juta yang dilakukan penyelenggara
negara?
Tahun 2012, nilai transaksi tunai di atas Rp 500 juta yang
langsung melalui rekening penyelenggara negara mencapai Rp 8.270 triliun,
sementara yang melalui perusahaan cuma Rp 131 triliun. Namun, karena PPATK
makin gencar mengamati transaksi tunai, pola diubah.
Jadi uang tidak langsung masuk ke rekening penyelenggara
negara, tetapi diputar terlebih dahulu melalui korporasi agar seolah-olah itu
keuntungan dari perusahaan. Dampaknya, pada 2014, transaksi tunai yang
langsung ke rekening penyelenggara turun menjadi Rp 1.792 triliun, sementara
yang melalui korporasi naik menjadi Rp 2.859 triliun.
Ini artinya, sekarang banyak oknum kepala daerah dan
pejabat yang menggunakan konsultan profesional atau korporasi atau vehicle
lainnya untuk mengaburkan harta kekayaannya. Dalam beberapa kasus,
korporasinya sengaja didirikan hanya untuk menampung dana ilegal. Sebab,
ketika dilihat transaksi perusahaan bersangkutan, tidak ada transaksi jual
beli atau transaksi lainnya yang normal dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Di
daerah mana saja transaksi tunai dan transaksi mencurigakan banyak dilakukan?
Di Jakarta, Jawa Barat, Jateng, Jatim, Banten, Bali,
Sumut, Kaltim, dan Papua. Di daerah seperti Kaltim dan Papua itu terkait
dengan pembalakan liar (illegal logging),
juga penambangan liar (illegal mining),
dan penyelundupan uang tunai. Sementara di kota-kota besar itu terkait dengan
korupsi dan gratifikasi.
Selain laporan transaksi keuangan tunai (LTKT), PPATK,
kan, juga menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM).
Apa
bedanya LTKT dan LTKM?
Kalau LTKT, bank yang melapor tidak perlu melihat siapa
pelakunya. Pokoknya, ada transaksi tunai di atas Rp 500 juta, bank harus
lapor ke PPATK. Sementara LTKM justru harus melihat profil pelakunya.
Misalnya, seseorang gajinya 15 juta per bulan. Namun, transaksinya sekali
bisa mencapai Rp 100 juta.
Maka, ini bisa diindikasikan transaksi mencurigakan karena
tidak sesuai dengan profilnya. Atau, orang yang biasa digaji dalam bentuk
rupiah tiba-tiba banyak bertransaksi dalam dollar AS. Bank dan penyedia jasa
keuangan lainnya sudah memiliki sistem teknologi informasi untuk mendeteksi
transaksi mencurigakan. Jadi dalam LTKM, bank juga melakukan evaluasi awal.
Seberapa
besar dana ilegal yang terindikasi dari LTKM?
Kita tidak menghitung berapa nominal LTKM yang terindikasi
pidana. Namun, itu bisa diketahui setelah kita melakukan analisis. PPATK
memprioritaskan LTKM yang bernilai miliaran, melibatkan pejabat atau
penyelenggara negara, dan terjadi di kawasan yang dianggap rawan untuk
dianalisis. Untuk hasil analisis yang sulit dicari tindak pidananya, maka
kami menyerahkannya kepada Ditjen Pajak.
Sekurang-kurangnya, jika tidak dapat dipidanakan, dana
ilegal tersebut dapat ditarik pajaknya. Kami sudah menyerahkan 72 laporan
hasil analisis (LHA) ke Ditjen Pajak. Dari jumlah itu, 33 LHA sudah keluar
surat ketetapan pajaknya, mencapai Rp 2,1 triliun. Pajak yang ditarik adalah
pajak penghasilan
Bagaimana
modus-modus oknum menyembunyikan transaksinya agar tidak terlacak PPATK?
Ada yang memecah transaksi. Misalnya, pukul 10 pagi masuk
transaksi tunai sebesar Rp 250 juta. Kemudian Pukul 12 siang masuk Rp 250
juta. Pukul dua siang masuk lagi Rp 250 juta.
Bank awalnya memang tidak melapor karena transaksi
tunainya di bawah Rp 500 juta. Namun, akhirnya ketahuan juga bahwa ada 3 kali
transaksi tunai senilai total Rp 750 juta sehingga kemudian juga dilaporkan
bank sebagai LTKT.
Ada juga penyelenggara negara yang memiliki banyak rekening
di bank berbeda. Hari ini masuk sekian di bank X, besoknya masuk sekian di
bank Y, dan seterusnya. Sistem PPATK juga sudah bisa mendeteksi modus-modus
seperti ini
Dengan
kondisi seperti ini, Bagaimana caranya untuk mengurangi korupsi di Indonesia?
Transaksi tunai adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk korupsi dan pencucian uang. Karena itu, transaksi tunai harus dibatasi.
Ini akan signifikan mengurangi korupsi. Karena itu pula, pemerintah dan DPR
harus memprioritaskan pembahasan RUU Pembatasan penggunaan uang kartal. (M Fajar Marta) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar