Rigiditas
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 19 Februari 2015
Kita yang membaca berita ini tentu gemas. Menjelang
pertengahan Desember 2014, Provinsi DKI Jakarta mendapat lima bus tingkat
dari seorang pengusaha. Busnya bagus, buatan perusahaan automotif asal
Jerman.
Rencananya bus itu bakal digunakan sebagai angkutan
gratis. Anda tahu bukan, sejak 17 Januari 2015 berlaku larangan bagi
pengendara sepeda motor untuk melintas mulai Bundaran Hotel Indonesia (HI)
sampai Jalan Medan Merdeka Barat. Pengendara yang melintas akan kena tilang.
Peraturan itu menuai pro dan kontra. Mereka yang kontra jelas geram.
”Buat larangan memang mudah. Sekarang apa solusinya bagi
para pengendara sepeda motor?” Di antaranya lima bus tingkat tadi. Kelak,
berbarengan dengan lima bus tingkat lainnya yang sudah dioperasikan, bus
tingkat itu akan hilir mudik sepanjang Bundaran HI hingga Medan Merdeka
Barat. Pengendara sepeda motor dipersilakan naik bus tingkat tersebut.
Gratis.
Tapi, apa yang terjadi? Lima bus sumbangan tadi tak bisa
beroperasi lantaran tak sesuai dengan PP No 55/2012 tentang Kendaraan. Bus
itu memakai kerangka yang lebih kecil, bukan kerangka bus tingkat. Akibatnya
bus menjadi lebih ringan. Maklumlah, perusahaan pembuatnya kelas dunia yang
mempunyai tradisi inovasi. Jadi selalu ada pembaruan yang didasarkan riset.
Maka, kendaraan ini beratnya hanya 18 ton.
Padahal, sesuai PP tersebut, bus boleh beroperasi kalau
beratnya 21- 24 ton. Kita sebagai masyarakat awam tentu bertanya-tanya.
Bukankah kalau lebih ringan, usia pakai jalan-jalan di Jakarta bisa lebih
lama. Lalu, bus gandeng Transjakarta buatan Tiongkok beratnya lebih dari itu,
sekitar 31 ton. Mengapa Transjakarta boleh beroperasi?
Kacamata Kuda
Bus tingkat tadi adalah satu dari sejumlah kasus yang
menggambarkan betapa tingginya rigiditas birokrasi di negara kita. Tapi,
sesungguhnya di banyak negara, birokrasi memang terkenal rigid. Saya melihat
hal-hal semacam ini tidak dikomunikasikan secara jelas oleh para penegak
hukum. Mungkin karena mereka merasa itu bukan urusan kejaksaan atau
kepolisian.
Urusan mereka hanya sebatas bagaimana mengembalikan Labora
ke penjara. Titik. Kalau cara pandang ala kacamata kuda seperti ini terus
dipertahankan, saya khawatir upaya paksa kejaksaan dan kepolisian bakal terus
menghadapi perlawanan dari masyarakat. Di dunia bisnis, kasus rigiditas juga
berlimpah. Misalnya menyangkut ketenagakerjaan kita.
Para pengusaha menilai pasar tenaga kerja kita terkenal
sangat rigid. Masih banyak tenaga kerja kita yang under qualified.
Produktivitasnya rendah, banyak menuntut, dan sukanya bikin ribut sampai
kampus-kampus yang dikuasai pembuat aturan yang lebih suka membuat lulusannya
menjadi ribet dan kompleks ketimbang agile dan dinamis. Namun, coba Anda cek
betapa sulitnya perusahaan kalau mau mem-PHK karyawan yang semacam itu.
Sudah harus menghadapi serikat pekerja, perusahaan masih
harus berurusan dengan dinas-dinas ketenagakerjaan yang ada di kotanya.
Selain itu, prosesnya juga memakan waktu yang sangat lama. Itu sebabnya,
menurut survei Bank Dunia, biaya PHK di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan
Asia Tenggara, bahkan di Asia Timur.
Di sini biaya yang saya maksud bukan hanya soal pesangon,
melainkan juga biaya lain-lain yang mesti dikeluarkan untuk memenuhi prosedur
PHK. Kondisi semacam ini pada gilirannya membuat kita kesulitan sendiri. Banyak
investor enggan menanamkan modalnya. Bahkan, mereka yang sudah membuka usaha
di sini pun ada yang memilih angkat kaki, memindahkan pabriknya ke luar
Indonesia.
Kita semua sudah merasakan kesulitan ini. Lapangan kerja
baru kian terbatas, dan anakanak kita kesulitan mencari pekerjaan.
Pengangguran terus meningkat, dan kriminalitas kian menjadi-jadi. Dampak
negatifnya sudah kita rasakan. Tapi betapa sulitnya kita untuk mendobrak
rigiditas di pasar tenaga kerja.
Comfort Zone
Jangan salah, rigiditas bukan hanya monopoli instansi
pemerintah atau penegak hukum. Di BUMN atau perusahaan swasta, rigiditas pun
terjadi. Saya mendengar langsung ceritanya. Ada sebuah BUMN yang ingin
menerapkan solusi yang berbasis teknologi informasi (TI). Dialog pun terjadi
antara vendor dan para penggunanya, yakni bagian-bagian yang ada di
perusahaan tersebut.
Masing-masing menganggap perlu memiliki aplikasi yang
khusus untuk mereka, karena merasa bagiannya berbeda dengan bagian yang lain.
Celakanya, sang vendor tak punya keberanian untuk menolak beragam permintaan
tersebut. Alhasil, setiap bagian memiliki sistem TI yang berbedabeda. Data
dari bagian pengadaan tak bisa langsung dipakai oleh bagian distribusi.
Data bagian sales & marketing tak bisa langsung
dipakai oleh bagian keuangan. Sinkronisasi data menjadi pekerjaan yang
melelahkan. Setiap rapat soal ini isinya pertengkaran. Masing-masing merasa
bagiannya lebih penting ketimbang bagian yang lain. Mereka lalu tidak saling
bicara. Dan, terciptalah silosilo tadi. Apakah rigiditas di swasta hanya
terjadi karena silo antarunit? Ternyata juga tidak.
Sikap mental passenger yang hanya menunggu dan tak mau
susah banyak ditemui di semua lini. Kita makin banyak menemui orang yang
harus selalu diingatkan, diperintah, diawasi, ditagih, bahkan diberi
peringatan kendati pakaiannya selama bekerja mirip eksekutif hebat dan
pendidikannya tinggi. Kata seorang CEO, ilmu kebatinan banyak dipakai: banyak
masalah hanya disimpan di dalam batin karena mereka tak mau susah.
Rigiditas semacam ini punya dampak yang sangat serius.
Kinerja babak belur. Negara menjadi tidak bisa melayani dengan baik,
kesejahteraan bangsa tidak meningkat. Perusahaan merugi, bahkan terancam
ditutup. Beruntung kalau pemimpin berani melakukan mutasi dan menunjuk
pejabat baru.
Oleh pejabat atau CEO baru itu, silo-silo tadi dibongkar
habis. Setiap bagian dipaksa untuk berbicara dengan bagian lainnya. Upaya
mendobrak rigiditas semacam ini memakan waktu yang tidak sedikit.
Berbulanbulan, namun hasilnya kelihatan. Kerugian terus berkurang, bahkan
akhirnya perusahaan mulai membukukan keuntungan.
Baiklah, kita sudah punya sejumlah kasus soal rigiditas
yang punya dampak negatif. Saya ingin memberi catatan akhir. Sejatinya
rigiditas hanya selangkah sebelum kita masuk dalam perangkap comfort zone. Dan, hidup kita akan
berakhir begitu kita masuk perangkap tersebut. Maka saya setuju dengan kata
Neale Donald Walsch, penulis buku Conversations
with God, ”Life begins at the end of your comfort zone.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar