Minggu, 01 Februari 2015

Wayan Sadha : Suara Rakyat Kini Tiada

Wayan Sadha : Suara Rakyat Kini Tiada

Jean Couteau  ;  Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
KOMPAS, 01 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tahun 1993. Brodoh-brodoh-brodoh… Dari jauh bunyi khas sepeda motornya sudah mengisyaratkan kedatangannya. Tinggal menanti kumisnya yang tebal, kulitnya yang hitam gelap, senyumnya yang lebar dan akhirnya perawakannya yang berjalan gembelengan itu. Baru saja saya mau meninggalkan komputer untuk menyambutnya, sepeda motornya sudah masuk—brodoh-brodoh—di halaman rumahku dan segeralah dia memanggil: ”Kenken Bli... (bagaimana Mas).” Potongan pipa diambilnya, dikeluarkanlah buku gambar cap grafika itu, dan segera dia menghilang ke serambi muka.

Sebentar lagi dia ngorok terlentang di lantai. Pasti di dalam mimpinya dia ketibaan Sompret, sang anjing kesayangan kartunnya, siap ”menrompet” entah siapa dengan ceplas-ceplosnya. Kupikir ia benar-benar ngorok, nyatanya dia bangun. Dan, keluarlah wujud-wujud dan kata-kata khas tokoh-tokohnya: Kocong, Eblong, dan yang lain tak bernama itu, yang semuanya merupakan suara jelata Bali, mereka yang terbiasa bungkam di tengah gemerlap pariwisata: Pak Tani polos di dukun; cewek matre diboyong bule tua; intelektual desa ngomongkan politik; pemuda mabuk yang sibuk dengan HP-nya dan situasi ”biasa” lainnya. Gamblang, seadananya, tanpa tafsir politik atau moral apa pun. Cermin kehidupan rakyat.

Ketika keesokan harinya surat kabar lokal jatuh di meja-meja, apa yang pertama-tama dipikirkan oleh para guru, kabag kantor pemerintah daerah, dan supervisor hotel berbintang: ”Bagaimana dengan kartun Sompret?” Setelah puas dengan Sompret, baru mereka membaca halaman politik dan ruang kriminalitas daerah!

Maka menjadi populer, itulah nasib si Sadha (1948-2015), anak nelayan dari Jimbaran, mantan drop-out sekolah rakyat kelas dua, yang pernah menjadi pedagang rokok di Pasar Denpasar, kernet bemo dan jongos pejabat Deplu sebelum menjadi seniman. Ya! Seniman dan bukan ”cendekiawan”, oleh karena tidak mengenal ”jarak” antara dirinya dan rakyat. Di dalam kartun Sadha, seperti kemudian dalam cerpennya, rakyat yang sering ”diatasnamakan” itu mengangkat suara dengan gamblang dan merdeka.

Bagaimana dia menjadi kartunis? Pada tahun 1971 dihadiahi sebuah alat foto, ia mulai melanglang. Dari borongan KTP, pasangan pengantin, buruh-buruh bangunan Nusa Dua, dan wanita penghuni ”kompleks”, semua dijepret hidung lensanya. Pada tahun 1980, dia berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi dan Gerson Poyk, mereka yang kala itu di Bali disebut seniman dan hidup dalam dunia kata, di mana makna selalu dicarikan wujud dan wujud makna. Melalui mereka, istilah-istilah abstrak yang untuk Sadha masih baru, seperti ”moderat”, ”apresiasi”, dan serupa, keluar dari remang-remang untuk mengambil arti. Pada tahun 1980, dia menulis cerpen pertama: ”Derita tak Bermata”….

Di dunia seniman zaman itu, sepeda motor saya kerap bertemu dengan sepeda motornya. Kita menjadi sahabat, bukan karena ”kelainan” antara yang Bali dan yang asing itu, melainkan karena suatu kesamaan di dalam menghadapi ratapan dunia. Pada suatu saat, ada peluang bekerja di majalah Archipelago sebagai juru foto dan ilustrator. Penuh semangat, saya memberanikan diri berkata kepadanya: ”Sadha, Anda akan bisa menjadi orang bila Anda mampu menjadikan kemiskinan dan ketidaktahuan Anda sebagai kekuatan.” Dia pura-pura tersinggung, lari ke goa favoritnya di Bukit (Jimbaran) untuk bersemedi. Tetapi dia mengerti: dua hari kemudian dia sudah kembali dengan ilustrasi dari wanita perokok kretek, yang tidak lagi diindahkan, seperti pada karyanya sebelumnya, tetapi yang benar, nyata dan sekaligus lucu. Si pengelana telah menjadi seniman.

Lalu gayung bersambung. Sukses yang dikisahkan di atas. Lalu penutupan halaman kartunnya (1994) karena tuduhan SARA terhadap dia, sang humanis rakyat. Tahun 2000-an, dia mulai menulis cerpen dalam bahasa Bali. Nadanya tetap seperti kartunnya: nyeplos, lugu, realitas sang jelata. Pada tahun 2010, dia mendapat penghargaan bahasa daerah Rancage untuk karya ”Leak Pemoroan”. Awal dari pengakuan resmi.

Kini Sadha telah tiada. Ia meninggal, Rabu (28/1) lalu. Dia tinggalkan kesaksian visual dan tertulis yang tak ada duanya tentang kehidupan rakyat Bali. Yang bakal hadir kekal.

Sadha sudah meramalkan tubuhnya bakal menjadi abu. Dia pernah menulis ”pengalaman” arwahnya ketika bakal menuju Tanah Tuanya:

Segala tingkah kusaksi dari luar ragaku

Aku tak marah dendam sangsi juga tak puas

Tidak puas tidak susah tidak hasrat jua tidak malu

Sampai berjumpa, Bli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar