Minggu, 01 Februari 2015

Saya Berjanji

Saya Berjanji

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 01 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Di suatu hari Minggu siang, saya duduk dengan raga penuh hikmat di dalam gereja, menyaksikan teman saya menikah, tetapi otak saya terus berputar seperti biasa, berpikir tentang kalimat perjanjian yang diucapkan kedua mempelai.

Mencoba tidak gagal

Keduanya berjanji seperti sejuta pasangan yang telah menikah bahwa mereka akan setia sampai maut memisahkan. Baik dalam keadaan duka maupun suka, pada saat matahari begitu menyengatnya dan hujan serta kegelapan menghadang. Sebuah ikrar yang diucapkan di hadapan Tuhan dan manusia.

Mata saya menyimak jalannya upacara, tetapi sejuta pertanyaan menyerang di dalam kepala. Begini bunyinya. Mengapa engkau berani berjanji sedang engkau hanya manusia yang mudah sekali mengingkari? Berapa banyak janji yang selama ini telah kamu ucapkan di hadapan Tuhanmu dan manusia? Apa yang tak kamu penuhi dari sejuta janji yang diucapkan itu?

Maka dalam perjalanan pulang saya mengingat kembali sejuta janji yang pernah saya ucapkan di hadapan Tuhan dan manusia dan saya lupa seberapa banyaknya janji itu.

Tetapi seingat saya, kegagalan terbesar dari pemenuhan sejuta janji itu adalah soal kesetiaan. Setelah saya berhasil dengan baik melakukan transplantasi ginjal sepuluh tahun yang lalu, saya berjanji bahwa saya akan menjaga kesehatan. Janji menjaga kesehatan itu merupakan ucapan terima kasih saya kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan untuk hidup lebih lama lagi.

Di samping itu, saya berjanji bahwa saya akan memberikan nasihat kepada sejuta manusia yang akan saya temui, bahwa menjaga kesehatan itu penting, bahwa tubuh itu merupakan rumah Tuhan yang harus dipelihara dan tak bisa disia-siakan.

Selain dua janji itu, saya masih menambah satu janji lagi, untuk selalu mengingatkan manusia yang saya jumpai agar melatih untuk berhubungan erat dengan Sang Khalik. Karena peristiwa yang saya alami, sesungguhnya adalah sebuah peristiwa yang tak bisa dijelaskan kepala.

Sepuluh tahun berlalu. Empat tahun pertama saya setia dengan tiga janji itu, tetapi memasuki tahun ke lima, saya mulai melanggar kesetiaan itu, saya lupa dengan apa yang pernah saya ucapkan.

Kemudian saya mulai mencari tahu alasan mengapa saya tak bisa setia dengan janji yang saya ucapkan baik itu di hadapan Tuhan maupun manusia? Setelah mencoba mencarinya, saya menemukan begitu banyak kemungkinan di balik kegagalan itu.

Gagal total

Mungkin karena saya terlalu tinggi memasang standar dan lupa akan keadaan diri sendiri. Saya ini orangnya tidak setia, suka dan mudah sekali nyeleweng. Dengan keadaan macam itu, saya berani berjanji untuk setia. Bayangkan, infrastruktur untuk
setia saja tidak ada, masih berani setia.

Mungkin, karena waktu saya berjanji, saya terlalu emosional menghadapi sebuah keadaan sehingga kepala yang selalu berhitung lupa dilibatkan. Waktu saya bisa mendapat ginjal baru, saya pernah berjanji dalam keadaan yang emosional, bahwa saya tak perlu memiliki pasangan hidup sejauh Tuhan selalu bersama saya. Tuhan tetap bersama saya sampai sekarang, tetapi saya kesepian, saya sangat membutuhkan pasangan hidup.

Mungkin bahwa janji di hadapan Tuhan itu seperti peraturan yang dibuat manusia. Dibuat untuk dilanggar. Mungkin janji itu tak terpenuhi, karena pada saat mulut berjanji, kepala lupa mengingatkan bahwa saya ini manusia yang bisa berubah kapan saja.

Mungkin kegagalan dari pemenuhan sejuta janji itu, karena saya melakukan hanya untuk mengikuti sebuah ritual yang telah dijalani sejuta manusia, dan yang sejujurnya tak saya setujui untuk dijalankan, tetapi saya tak bisa tidak harus menjalaninya, sehingga saya menjalaninya dengan setengah hati.

Atau mungkin berjanji itu sendiri menjadi bumerang dan membuat keder. Berjanji itu membuat saya tak bisa santai menjalani hidup. Berjanji itu mirip satpam atau polisi yang akan menghajar saya kalau saya salah. Sehingga seperti peraturan, maka makin dilarang makin berniat untuk dilanggar.

Mungkin saya ini sejujurnya memang manusia yang sukanya melanggar, ada saja alasan yang masuk akal untuk melakukan pelanggaran karena perjalanan hidup di masa lalu kurang mendapat perhatian yang cukup. Jadi saya mencari perhatian melalui pelanggaran.

Oh. Apakah mungkin dari semua perkiraan saya itu, sesungguhnya saya tak mengerti makna dari kesetiaan itu sendiri. Maka saya mencari tahu apa makna kesetiaan itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia supaya saya itu benar-benar tahu.

Begini. Kesetiaan itu mengandung makna keteguhan hati, ketaatan, dan kepatuhan. Teguh itu mengandung kekuatan untuk tetap tidak berubah. Taat itu bermakna senantiasa tunduk. Patuh itu mengandung makna suka menurut.

Tidak berubah, senantiasa tunduk, suka menurut. Ahh... kini saya tahu mengapa saya gagal total. Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar