Minggu, 01 Februari 2015

SF, KPI, dan Komisi I DPR

SF, KPI, dan Komisi I DPR

Kemala Atmojo  ;  Pengamat Perfilman
KOMPAS, 01 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Di bawah permukaan kini ramai diperbincangkan intensitas ”komunikasi” antara Komisi I DPR dan Lembaga Sensor Film. Hal ini diawali dengan pemanggilan Komisi I pada awal Desember terhadap Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengadakan rapat kerja bersama-sama.

Kita tahu, Komisi I DPR sebenarnya membidangi sektor keamanan, luar negeri, dan informasi. Sementara Lembaga Sensor Film (LSF), sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, seharusnya menjadi mitra kerja Komisi X yang membidangi kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan pemuda.

Sebenarnya boleh saja komisi di DPR memanggil siapa saja untuk mencari masukan meski bukan mitra kerja tetapnya. Namun, orang terkejut ketika Komisi I memanggil Tim Seleksi calon anggota LSF periode 2014-2018 di DPR pada Selasa, 20 Januari 2015. Apalagi, ketika tahu bahwa dalam program legislasi Komisi I tertulis adanya rencana revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Apa yang bisa dibaca dari rentetan peristiwa itu? Pertama, masih ada yang kurang paham bahwa LSF dan KPI dilahirkan dari dua undang-undang dan sejarah yang berbeda. KPI lahir karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan LSF ada dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Kedua lembaga ini memiliki sejarah dan tujuan yang berbeda.

Kedua, memang ada niat secara terstruktur agar film berada ”di bawah” Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan demikian akan menjadi mitra kerja tetap Komisi I. Sebab, film, mungkin, dianggap sebagai media yang penting dalam konteks ketahanan nasional. Film is not merely culture. Atau, ketiga, barangkali kerja KPI dianggap sama dengan kerja LSF sehingga masuk akal jika kedua lembaga itu disatukan dalam satu kementerian.

Sejarah dan perbedaannya

Sensor film punya sejarah panjang di negeri ini. Sejak zaman Hindia Belanda, lembaga ini menjadi salah satu sarana ampuh bagi pemerintah kolonial untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh ditonton masyarakat. Intinya, kebijakan sensor di zaman Hindia Belanda dimaksudkan untuk meredam citra miring perilaku orang Barat di mata penduduk lokal. Kekhawatiran ini kemudian dibungkus dengan aturan halus yang menyatakan bahwa komisi sensor berhak menggunting ”film-film yang dianggap merusak kesusilaan umum, ketentuan umum, atau menjadi sebab dari munculnya gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan”. Sementara di zaman penjajahan Jepang, film diposisikan tak lebih dari alat propaganda.

Ketika Indonesia merdeka, kebijakan sensor ini diterima begitu saja dan diteruskan dengan nama Komisi Pemeriksa Film dan berada di bawah Kementerian Pertahanan. Komisi ini berhak menggunting film dengan kriteria yang sangat umum, yakni melanggar kesusilaan, mengganggu ketenteraman umum, dan memberi pengaruh buruk kepada masyarakat.

Pada 1950, Komisi berubah nama menjadi Badan Sensor Film (BSF) dan berada di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, lalu pada 1964 berada di bawah Departemen Penerangan. Selanjutnya, pada 1999 berganti menjadi LSF di bawah lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sejak Reformasi, LSF terasa lebih lunak dibandingkan dengan sebelumnya. Sekarang, LSF tak lagi boleh memenggal seenaknya tanpa dialog dengan pemilik film. Pilihan lain: tidak menerbitkan surat tanda lolos sensor (STLS) bagi film-film yang nyata-nyata dianggap tidak patut untuk dipertontonkan kepada publik.

Sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lahir dari sejarah politik yang relatif baru. Di zaman Orde Baru (Orba), kita tahu bahwa lembaga penyiaran di bawah kontrol penuh penguasa. Dalam era Reformasi, penyiaran didasarkan atas prinsip keberagaman isi dan kepemilikan yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali ranah penyiaran.

Lalu, karena spektrum frekuensi radio merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas, haruslah digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, lembaga penyiaran diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat dalam arti seluas-luasnya. Untuk menjaga tujuan itulah dibentuk KPI.

Tak sekadar problem legalitas

Intinya, KPI adalah ”frekuensi milik publik dan terbatas”. Maka, fokus KPI adalah lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik. Sementara bioskop adalah usaha swasta murni yang tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Menonton bioskop pun tidak gratis. Bahwa ketika sebuah film yang telah lolos sensor dan kemudian ditayangkan oleh televisi lalu diawasi oleh KPI, hal itu boleh-boleh saja. KPI berurusan ketika film—dan acara lain—dipancarkan dengan menggunakan frekuensi publik.

Apa yang mengkhawatirkan jika LSF—dan perfilman—pindah ke Kominfo dan menjadi mitra tetap Komisi I. Persoalannya tentu bukan sekadar masalah legalitasnya, melainkan pada bayangan menakutkan tentang segala hal yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Alasannya, pertama, dengan pindah ke Kominfo, posisi film sebagai produk seni budaya (seperti yang ada dalam undang-undang) akan tereduksi menjadi ”sekadar” produk komunikasi massa.

Kedua, secara politis, situasi itu akan dirasa setback ke era Orde Lama atau Orde Baru ketika pemerintah memegang kontrol utama dalam hal seni dan informasi. Ketiga, khusus mengenai LSF, dikhawatirkan DPR akan terlalu jauh terlibat dalam seleksi anggotanya.

Film, memang, bukan semata budaya. Namun, produk-produk seni dan ekonomi kreatif lainnya, mestinya, tetaplah harus dipandang—atau penekannya—sebagai produk seni budaya. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Inggris, dan beberapa negara lain, film—khususnya sensor—tidak dilihat dengan pendekatan keamanan. Di AS, misalnya, dikenal apa yang disebut rating system yang dibuat Motion Picture Association of America (MPAA). Tujuannya adalah membantu orangtua dan penonton lain untuk menentukan film apa yang cocok bagi anaknya atau mereka sendiri.

Kategorisasi (G, PG, PG-13, R, dan NC-17) ini dibuat asosiasi produser dan pelaksanaan administrasi serta pengawasannya oleh lembaga independen yang bernama The Classification and Ratings Administration (CARA). Jadi bukan oleh negara. Demikian juga di Australia, Selandia Baru, Inggris, dan negara demokratis lain. Melalui system rating ini, film-film dengan karakteristik tertentu hanya akan dipertunjukkan kepada penonton tertentu pula.

Hal itu berbeda dengan situasi di negara-negara komunis dan otoriter. Peran negara masih sangat kuat dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan, termasuk dalam film.

Bagaimana dengan LSF? Apakah akan melakukan reorientasi dengan menerapkan rating system atau tetap seperti sekarang? Apakah LSF di bawah Kemdikbud yang mulai melunak ini akan kembali diperketat di bawah Kominfo? DPR bisa saja nekat menempatkan film berada di bawah Kominfo. Namun, dugaan saya, reaksi orang film lebih banyak negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar