Minggu, 01 Februari 2015

Urgensi Revisi UU Kepailitan

Urgensi Revisi UU Kepailitan

Aco Nur  ;  Doktor Hukum Bisnis Lulusan Universitas Jayabaya, Penulis buku “Hukum Kepailitan Perbuatan Melawan Hukum oleh Debitor”
MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM laporannya pada 2012, McKinsey Global Institute yang bermarkas di Amerika Serikat meramalkan pada 2030 kekuatan perekonomian Indonesia akan berada di posisi ketujuh dunia. Jumlah kelas menengah kita akan meningkat dua kali lipat dari 45 juta menjadi 90 juta orang. Yang juga sudah di depan mata, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai berlaku akhir tahun ini.Tentu, dalam menghadapi MEA dan ramalan Kinsey, perusahaan swasta nasional ataupun asing juga akan kian pesat pertumbuhannya.Untuk itu, problem hukum antarperusahaan dan para pihak, misalnya problem kepailitan, juga akan kian tak bisa dihindari. Dalam menghadapi kemungkinan itu, tentu perlu produk hukum yang memadai.

Sementara itu, jika kita cermati, tidak semua perbuatan-melawan-hukum yang dilakukan debitor diatur dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan). Yang diatur hanya perbuatan satu tahun sebelum putusan kepailitan diucapkan. Adapun yang lebih dari satu tahun ataupun setelah putusan kepailitan diucapkan tidak diatur dalam UU tersebut.

Itu salah satu kendala dalam penerapan UU Kepailitan. Selain itu, tentu masih banyak kendala lain. Ada beraneka ragam perbuatan debitor yang tergolong perbuatan-melawan-hukum. Setiap perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor dapat dianggap sebagai perbuatan-melawanhukum. Itu sebabnya, sebelum kita menghadapi kian banyak persoalan menyangkut sengketa kepailitan, revisi UU tersebut jadi amat mendesak.

Beda tafsir

Masalah pertama mengenai UU Kepailitan timbul karena perbedaan penafsiran di antara para hakim pengadilan niaga (tingkat pertama) dan para hakim tingkat kasasi.Berdasarkan analisis putusan pengadilan niaga dan putusan tingkat kasasi MA, tampak perbedaan penafsiran dan penerapan UU No 37 Tahun 2004, khususnya Pasal 2 ayat (1) tentang pengajuan permohonan pailit, yang mempersyaratkan 2 (dua) atau lebih dari kreditor, yang salah satunya telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Selain itu, ada perbedaan penafsiran antara MA dan pengadilan niaga menyangkut Pasal 8 ayat (3) tentang pembuktian sumir (sederhana). Di satu sisi dikatakan, suatu kasus dapat dibuktikan secara sederhana karena telah ada fakta dua kreditor yang salah satu utangnya telah jatuh tempo tidak dibayar; jadi, permohonan pailit dapat dikabulkan.

Akan tetapi, hakim tingkat kasasi menganggap kasusnya tidak dapat dibuktikan secara sumir. Alasannya berbagai macam, antara lain karena utangnya disangkal debitor atau masih harus dibuktikan lebih lanjut. Ada pula yang beralasan karena utang-piutangnya belum pasti dan harus diselesaikan lebih dulu di pengadilan negeri, untuk membuktikan bahwa utang debitor benar adanya.

Terlihat jelas bahwa MA dan pengadilan niaga belum mempunyai persepsi yang sama dalam rangka implementasi UU Kepailitan tersebut. Contohnya dalam kasus perkara No 12/Pailit/2009/PN Niaga Surabaya, yaitu perkara antara PT Daya Guna Mandiri dan CV Perdana Teknik. Pengadilan Niaga Surabaya mengabulkan permohonan pailit karena kasusnya dapat dibuktikan secara sumir, tetapi kemudian MA dengan putusannya No 835 K/PDT-SUS/2009 membatalkan putusan Pengadilan Niaga Surabaya itu dengan alasan kasus tersebut tidak dapat dibuktikan secara sumir.

Contoh lain, dalam perkara No 03/ Pailit/2009 di Pengadilan Niaga Medan antara Citibank dan Wijayanto dan Seli Kustamin, PN Medan menganggap perkara itu tidak dapat dibuktikan secara sumir, maka ditolak. Akan tetapi, kemudian MA, dengan putusannya No 762 K/PDTSUS/2010, mengabulkan permohonan pailit karena dapat dibuktikan secara sumir.

Jejak warisan Belanda

UU Kepailitan yang ada sekarang bersumber pada undang-undang kepailitan Belanda, yaitu Faillissementsverordening, Staatsblad 1905 No 217 dan 1906 No 348. Betapa terbatasnya Faillissementsverordening mudah terlihat dari cakupannya tentang perbuatan-melawan-hukum yang dilakukan debitor. Yang dapat dibatalkan kurator hanya perbuatan-melawan-hukum yang dilakukan debitor 40 hari sebelum putusan pailit diucapkan.

Dengan pembatasan seperti itu, jelas tidak cukup waktu untuk menjangkau segala bentuk perbuatan-melawan-hukum yang mungkin dilakukan debitor. Itu sebabnya, atas inisiatif pemerintah dalam perumusan Perppu No 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi UU No 4 Tahun 1998 jo UU No 37 Tahun 2004, jangka waktunya ditambah menjadi satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan. Yaitu, perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitor satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan dapat digugat lewat apa yang dinamakan Actio Pauliana. Namun, itu pun belum memadai untuk perlindungan hukum maksimal kepada para kreditor.

Sanksi yang dapat diterapkan terhadap debitor yang melakukan perbuatan melawan-hukum lebih dari 1 (satu) tahun ataupun setelah putusan pailit diucapkan pengadilan niaga didasarkan pada KUH Perdata Pasal 1365 dan 1366, `Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut'.Adapun debitor yang melanggar perjanjian (wanprestasi) berdasarkan Pasal 1248 dapat juga dituntut pemenuhan perjanjian/pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi dan atau ganti rugi saja yang dapat berupa ongkos-ongkos yang dikeluarkan, kerugian nyata akibat wanprestasi, keuntungan yang diharapkan dan bunga dapat digugat kurator melalui pengadilan negeri.

Adapun lembaga gijzeling yang diatur dalam Peraturan MA No 1 Tahun 2000 tidak dapat diterapkan dalam kasus kepailitan karena pengaturannya bukan merupakan pelaksana UU Kepailitan.

Urgensi Revisi UU Kepailitan 2004 sudah tidak lagi sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Untuk itu, perlu ditinjau kembali. Dalam revisi UU Kepailitan itu, pembatalan bagi debitor yang melakukan perbuatan-melawan-hukum sebaiknya tidak dibatasi jangka waktu tertentu. Lembaga Actio Pauliana perlu diberi kewenangan untuk dapat membatalkan perbuatan-melawanhukum sebelum atau setelah kepailitan diucapkan pengadilan niaga, tanpa dibatasi jangka waktu tertentu karena perbuatan debitor tersebut ialah suatu persangkaan UU (wettlijk vermoeden) yang dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan melalui proses pengadilan.

Lebih dari itu, hendaknya UU Kepailitan mencantumkan sanksi perdata ataupun sanksi pidana. Ini untuk memberikan efek jera kepada debitor yang melakukan perbuatan-melawan-hukum.

MA telah diberi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut tentang ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam UU, berdasarkan Pasal 79 UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 jo UU No 3 Tahun 2009 sehingga MA diharapkan segera menerbitkan Peraturan MA tentang lembaga gijzeling sebagai pelaksana UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar