Minggu, 01 Februari 2015

Orang Susah, Keadilan, dan Peradilan Sesat

Orang Susah, Keadilan, dan Peradilan Sesat

Haris Azhar  ;  Koordinator Kontras
MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SEJUMLAH kasus yang menimpa orang-orang kecil belakangan ini menunjukkan persoalan hukum dan keadilan di Indonesia masih memprihatinkan. Hukum dan keadilan masyarakat telah menjadi seperti dua kutub yang bertentangan. Ada tulisan yang menarik di salah satu media yang fokus pada isu hukum berjudul `Orang Kecil Dilarang Mencari Keadilan'. Isi tulisan itu antara lain menceritakan nasib seorang anak yang mencuri sandal seorang polisi lalu dibawa ke pengadilan dan kasus Khoe Seng Seng, pembeli ruko yang divonis melakukan pencemaran nama baik setelah menulis surat pembaca karena kecewa terhadap pengembang ruko yang dibelinya. Namun, kasus-kasus orang-orang tidak berdaya (miskin) yang diperkarakan dan diadili semacam itu terus terjadi dan semakin banyak.

Di Jakarta, mahasiswi korban pemerkosaan justru ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena menolak berdamai dengan tersangka pemerkosanya. Zulfikar Arif Ardil, pemuda asal Makassar yang datang ke Jakarta untuk menjalani tes wawancara sebagai wartawan, ditangkap polisi karena dituduh sebagai pencuri. Polisi bukan saja merampas uang Rp10 juta miliknya, melainkan juga menyiksa Zulfikar.

Kasus yang hampir sama menimpa Kuswanto di Kudus, Jawa Tengah, yang dituduh melakukan perampokan toko es krim. Padahal, perbuatan itu tak pernah dilakukannya dan kemudian terbukti polisi menangkap perampok yang sebenarnya. Kuswanto dilepaskan tapi selama di kantor polisi dia mengaku matanya diplester, wajahnya dipopor senjata, dan tubuhnya disiram bensin. Dan ini yang mengusik keadilan; para polisi yang menyiksanya hanya mendapat hukuman disiplin.

Akhir tahun lalu, ramai diberitakan tentang kematian Azwar, seorang petugas kebersihan dari PT ISS yang bekerja di Jakarta International School (JIS). Dia dituduh melakukan sodomi terhadap salah satu murid JIS berusia enam tahun. Polisi menangkapnya Sabtu dini hari (26 April 2014) dan beberapa jam kemudian Azwar dikabarkan meninggal di tahanan Polda Metro Jaya. Menurut polisi, Azwar bunuh diri dengan meminum cairan pembersih yang ada di sel tahanan. Namun, polisi tidak menjelaskan mengapa di sel terdapat benda-benda yang berpotensi digunakan para tahanan untuk melakukan bunuh diri.

Tidak ada juga keterangan, mengapa mulut Azwar tidak mengeluarkan busa (seperti pada kasus-kasus bunuh diri yang sama), sedangkan mukanya malah penuh dengan lebam dan berdarah. Pihak keluarga menduga Azwar telah disiksa polisi dan autopsi terhadapnya tidak pernah dilakukan.

Lima teman Azwar yang juga ditangkap, terus diproses hingga menerima vonis akhir tahun lalu. Kelimanya divonis masing-masing tujuh dan delapan tahun setelah hakim menganggap mereka terbukti bersalah melakukan kekerasan seksual (sodomi).

Jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain, kasus JIS menarik sejak awal karena melibatkan nama sekolah internasional dan kasusnya sodomi terhadap anak. Proses hukumnya juga menunjukkan banyak kejanggalan. Kelima pekerja kebersihan PT ISS itu sebetulnya juga telah mencabut BAP. Mereka mengaku polisi telah menyiksa mereka sedemikian rupa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Namun, hakim menolak kesaksian yang diberikan ahli dan tetap memercayai kesaksian korban yang berusia enam tahun.

Kasus itu semakin menarik karena juga mendapat perhatian dari dunia internasional. Salah satunya Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake. Dia meminta pemerintah Indonesia menyelidiki dugaan penyiksaan terhadap para petugas kebersihan PT ISS yang terungkap di persidangan. Menurut Blake, penyelidikan itu penting karena hasil dari kasus tersebut akan mengungkapkan aturan hukum di Indonesia dan dampaknya yang signifikan terhadap reputasi Indonesia di luar negeri.Apalagi Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Antipenyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.

Benarkah aturan hukum di Indonesia memang buruk? Apakah orang-orang kecil selalu menjadi korban dalam proses hukum?

Tiga hambatan

Di buku Akses terhadap Keadilan, dosen senior Universitas Leiden Belanda Adrian Bedner yang banyak melakukan riset tentang akses terhadap keadilan di Indonesia menyebutkan, dalam konteks sistem peradilan yang relatif sulit diakses dan penuh penyelewengan, ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat kemudian mudah sekali diterjemahkan sebagai ketidaksetaraan kapasitas untuk mengklaim hak-hak seseorang.

Benar menurut hukum, lanjut Bedner, tidaklah cukup. Masih diperlukan kapasitas dan faktor lainnya, antara lain, koneksi yang baik (backing), uang, kesadaran hukum, pengetahuan tentang prosedur di kepolisian, dan pengadilan dan kapasitas untuk memobilisasi orang.

Menurut Bedner, setidaknya ada tiga jenis hambatan yang kerap terjadi dalam upaya memperjuangkan akses terhadap keadilan. Pertama, berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran yang relatif terbatas atas hak-hak mereka yang dijamin hukum.
Hambatan kedua dalam memperjuangkan akses terhadap keadilan muncul dari relasi kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan dapat dengan mudah menghambat pengaduan atau tuntutan dari pencari keadilan. Bahkan mereka ini juga sangat mungkin melakukan pembangkangan hukum.

Terakhir, isu yang menjadi penghambat akses terhadap keadilan ialah ketidakpastian hukum itu sendiri. Menurut Bedner, ketidakpastian hukum yang diciptakan sifat kabur dan kontradiktif dari sejumlah undang-undang penting atau perbedaan penafsiran antara pemerintah atau pengadilan dengan kepentingan masyarakat umum.

Dari penjelasan Bedner itu, kini menjadi jelas mengapa orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang prosedur di kepolisian, tidak mempunyai koneksi, uang, dan relasi kekuasaan, selalu menjadi pihak yang paling menderita dan tidak mendapatkan keadilan ketika mereka berurusan dengan hukum. 
Temuan Bedner sangat mirip dengan pengalaman Kontras dalam menangani sejumlah kasus peradilan sesat. Bukti dan prosedur hukum sangat meragukan, ada kecenderungan `harus ada yang dipersalahkan' atas sebuah peristiwa pidana. Dan yang dipersalahkan ialah orang-orang yang berasal dari ekonomi lemah, inferior, dan miskin koneksi politik. UU Bantuan Hukum belum efektif berlaku dan tidak dipahami atau tidak diakui penerapannya.

Dengan kata lain, sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia kini dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat menjadi seperti dua kutub yang bertentangan. Sebuah kondisi yang bertentangan dengan dasar filosofis hukum, yang menuntut hukum tidak sekadar untuk membuat tertib sosial, tetapi yang lebih penting dari itu bisa memberi rasa keadilan bagi masyarakat.

Selain ada pelanggaran hak asasi terhadap orang-orang yang dikriminalkan, terdapat implikasi buruk lainnya dari peradilan sesat. Jika kasus-kasus pidana yang dijadikan dasar utama benar adanya, lalu pelakunya dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran di luar tanpa kontrol koreksi negara.

Situasi juga merupakan gambaran dari diskriminasi dalam penegakan hukum. Mahasiswi korban pemerkosaan yang dijadikan tersangka, Zulfikar si calon wartawan yang ditangkap karena dituduh mencuri, dan penyiksaan terhadap Kuswanto hanyalah sedikit contoh dari kasus-kasus yang bisa menimbulkan kesan bahwa keadilan hanyalah milik orang bermodal dan punya koneksi di aparat hukum. Perkara yang menimpa lima pekerja kebersihan dari PT ISS bahkan telah menutup kemungkinan bahwa mereka sebetulnya ialah korban yang sebenarnya dari kasus sodomi. Kasus-kasus seperti ini makin banyak, tetapi mekanisme kontrol tidak jelas jalannya. Entah sampai kapan ini akan terjadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar